Pastinya saya lupa kapan pertama kali bertemu dengan Mas Untung (panggilan saya pada A. Untung Basuki). Sesudah bersusah payah menggali memory di sela-sela ribuan ingatan yang tersimpan di benak kepala, saya sekilas teringat.
Pertemuan saya dengan Mas Untung pada penghujung dekade 80-an. Di mana pada waktu itu, Mas Untung beserta kelompok SABU (Sanggar Bambu) tengah bermusik puisi di panggung Purnabudaya dalam acara pertunjukan sastra.
Sejak pertemuan itu, kehendak saya untuk bertandang ke rumah Mas Untung tidak dapat terbendung lagi. Hati senang, karena vespa biru telornya parkir di depan rumah. Itu pertanda Mas Untung sedang tidak bepergian. Benar. Lelaki berambut gondrong sepundak yang bukan sekadar menekuni seni musik, namun pula teater dan seni rupa itu sedang berada di rumah.
Di ruang tamu yang beralas tikar, Mas Untung menyambut kedatangan saya sehangat teh di dalam gelas. Dalam perbincangan, hampir tidak terasa sekat senior-yunior. Di mana senior harus banyak bicara, dan yunior harus diam mendengarkan. Sehingga perbincangan di antara kami seputar sastra dan kesenian menjadi akrab dan terbuka.
Sambil berbincang, pandangan saya liar merayap ke empat sisi tembok ruangan tamu yang penuh dengan lukisan, tumpukan buku dan naskah-naskah. Dari situ, saya tahu bahwa Mas Untung adalah seorang perupa. Menurut Mas Tri (panggilan saya pada sahabat sepuh Yos Tri Atmodjo), "Untung, adik kelasku sewaktu menjadi mahasiswa Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Yogyakarta."
Menurut cerita, Mas Untung pernah bergabung dengan Bengkel Teaternya W.S. Rendra. Karenanya, saya yang waktu itu masih aktif di teater, mengundang Mas Untung untuk menjadi supervisor salah satu produksi Teater Siter yang akan pentas di Purnabudaya. Aneh! Sewaktu bendahara produksi akan memberikan amplop berisi uang transportasi, Mas Untung menolaknya. Katanya, "Kalau kalian memberikan ini pada saya, besok saya tidak akan datang lagi." Dari sini, saya menangkap bahwa Mas Untung tidak memandang uang sebagai tujuan berkesenian. Entah apa? Hanya Mas Untung yang tahu.
Jiwa ngemong, sert sifat lila lelagawa, andhap asor, dan prasaja dari Mas Untung memang tidak diragukan lagi. Karenanya, Kereta Kencana karya sadur W.S. Rendra yang penah dipentaskannya sungguh mengantarkan Mas Untung pada suatu tempat terindah yang dicapai sesudah bertahun-tahun melakukan pengabdian dalam dunia kesenian. Tulus dan tanpa pamrih. Semoga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H