Dalam dapur organisasi, percikan-percikan kecil pasti kerap dialami. Mula-mulanya gara-gara hal sepele, lama-lama membesar menjadi sesuatu yang serius. Kebencian menjalar, saling menjatuhkan nama di belakang sudah bukan menjadi rahasia. Sebenarnya apa yang hendak kita cari dalam organisasi? Jabatan? Kehormatan?
Mengapa pada awalnya kita dipertemukan dan terdidik sebagai manusia idealis yang sama-sama bermimpi besar untuk sekitar, lantas mengapa semua impian itu meredup gara-gara hal remeh sebuah jabatan? Di manakah kehormatan kita sebagai organisatoris, mana yang katanya kita mahasiswa aktivis, jika sesama kawan sejalan saja kita tidak pernah harmonis!
Bayangkanlah organisasi adalah sebuah kapal laut, di dalamnya dihuni banyak anggota, tujuan menuju pulau A, tapi masing-masing di dalamnya masih sibuk dengan kepentingannya sendiri-sendiri. Kamu golongan sana, aku golongan sini. Kamu duduk sana, kamu tak boleh duduk sini. Runyam. Visi-misi tiada nilai. Egoisme diberi makan habis-habisan. Arah jalan kapal laut tak terkendali entah hendak menuju ke mana, hilang sudah cita-cita menuju pulau A, yang notabene adalah mimpi besar idealisme seorang mahasiswa.
Memang, kita lebih nyaman berorganisasi dengan orang yang kita juga nyaman dengan mereka. Namun tak bisa dipungkiri jika memang ada beberapa orang yang satu sama lain memang tidak cocok, entah dari segi apa, tetap saja ada alasan untuk tidak dekat-dekat dengannya. Harusnya sih sama-sama evaluasi apa sih sebenarnya yang membuat kita ini saling tidak cocok, kalau hanya masalah pribadi dan receh sebenarnya masih bisa dirembukkan demi berlangsungnya sebuah roda organisasi. Sama-sama gotong royong menuju satu jiwa satu tujuan, pinggirkan dulu ego, kedepankan cita dan cinta.
Masih bisa kita lihat, ketika ada seorang pemimpin baru di sebuah organisasi, bergegas yang dicari untuk mengisi kursi di kepengurusan hanya terbatas kepada teman-teman yang masih sealiran dan segolongan dengan sang pemimpin. Secara lahiriah, memang lebih mudah saja merekrut orang yang sejalan dengan visi-misinya, bahasa lebih halusnya adalah politik balas budi karena telah mendukung ketika dalam masa pencalonannya. Kalau secara dalam dunia pertemanan sih, saya sepertinya lebih condong kepada yang model begini, di mana saya lebih suka berteman dengan orang-orang yang mana kita merasa nyaman dan diterima tanpa embel-embel apa pun. Itu rasanya kita dihargai sebagai manusia.
Tapi masalahnya adalah kita sedang membicarakan sebuah organisasi, di mana hal ini lebih luas dibanding sekadar pertemanan. Sebab organisasi adalah tentang milik kebersamaan, bukan milik pribadi seorang. Wajar saja semisal saya berteman dengan siapa yang saya inginkan, karena ini adalah hak pribadi saya, orang lain tidak wajib mengatur.
Berbeda dengan organisasi yang notabene milik orang-orang dengan latar belakang dan pemikiran beragam namun disatukan oleh satu tujuan. Maka karena satu tujuan inilah perlunya sebagai para pemimpin yang ada di organisasi lebih bijak dalam memilih dan memilah kandidat dalam kepengurusannya, bukan hanya berdasarkan sentimental semata, melainkan paling tidak setiap masing-masing dari anggota memiliki hak yang sama dalam menerima ajakan untuk menjadi pengurusnya kalaupun harus lewat tes atau apapun misalnya.
Sekurang-kurangnya hal ini menunjukkan keterbukaan pemimpin sebagai kepala organisasi tanpa intimidasi terhadap siapapun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H