Air tuhan turun lagi, kebahagiaan terpancar dari aspal-aspal politisasi. Tidak dengan wajah itu, muram tak enak untuk dinikmati. Sama-sama kepala keras, tidak ada jalan tengah untuk harmonisasi. Menjauh mungkin menjadi sedikit bentuk solusi.
Tidak bisa saling menyalahkan yang sama-sama capek, toh setidaknya ada komunikasi hangat di antara cangkir keduanya. Kiranya dipikir yang satu lepas tanggungjawab, ongkang kaki seenak jidat, tidak tahu otak kerja juga pikirkan yang sama-sama maslahat.
Menjadi tumpuan memanglah berat, apa-apa harus sigap. Memang zaman telah berubah, fisik memang menangkan bukti segala, tapi siapa tahu isi hati dan pikiran yang juga kerahkan segala tenaga. Dijelaskan baik-baik juga rasanya tidak baik, malah menjadi bumerang untuk yang satu dengan yang lain.
Rasanya ingin putus dari aliran keduanya, hidup merdeka di belantara. Tinggalkan yang sama-sama baik, demi kebebasan yang kiranya tanpa ada rasa hutang budi ketika menjalani makna. Bukankah itu yang selama kita-kita ini damba? Hidup merdeka semerdeka-dekanya?
Ahsudahlah. Cakap angin.