kamu berhak sombong. Tidak menggubris perkataan merendahkan orang-orang. Tidak sekali pun membiarkan omongan-omongan negatif memadamkan api semangatmu dalam menggapai mimpi. Biarkan ucapan-ucapan itu mengatakanmu sombong, aku yakin kamu tidak sesombong itu, mereka hanya sirik melihatmu lebih hebat dari mereka. Untuk itu mereka ingin menjatuhkanmu dengan menuduhmu sebagai orang yang sombong.
Tidak. Tapi kamu tetap teguh, tidak menjadikan tuduhan itu menghentikanmu tumbuh. Kamu selalu ingat dengan nasihat guru-gurumu, yang mengatakan, "Nak, jangan biarkan telingamu kau masuki dengan semua omongan orang lain, itu hanya membuat pikiranmu sesak dan gelap. Jika itu baik, kau dengarkan. Jika tidak baik, kau anggap saja tidak dengar." Kalimat itu selalu terngiang ketika kau merasa ada omongan-omongan jelek yang mulai mendoktrin pikiranmu. Kau pun tersadar, saat itu juga kau anggap telingamu sedang tidak mendengarkan perkataan itu. Tidak kau tanggapi, tidak membuatmu marah, yang justru menjadikan orang yang berbicara seperti itu terbungkam. Kesal. Sudah lelah merendahkanmu, tapi kau tetap tak terpengaruh dengan omongan itu. Jadilah orang itu diam, tidak lagi melontarkan kalimat-kalimat menjatuhkanmu itu. Bahkan dalam kasus yang lebih serius, ia sudah tidak suka lagi berteman denganmu. Sebab kau dianggap sombong.
Tentunya hal semacam itu tidak mudah kaulakukan, butuh latihan terus menerus. Karena suatu ucapan terkadang lebih menyakitkan dibanding sebuah pukulan tangan. Pukulan tangan memang membuat kita sakit, tapi sembuhnya tidak membutuhkan waktu yang lama. Namun perkataan yang menyakitkan sangat sulit sekali untuk membuat hati sembuh. Maka tidak heran jika permusuhan seringkali terjadi gara-gara sebuah ucapan. Tapi tidak selalu begitu, juga betapa banyak ucapan yang mampu menyatukan perbedaan. Tergantung ucapan yang keluar dari lisan. Jika baik, maka yang timbul juga baik. Jika tidak baik, maka yang timbul juga tidak baik. Sama halnya dengan pisau, ia punya potensi baik juga tidak baik. Menjadi baik kalau dibuat untuk keperluan iris-mengiris di dapur. Menjadi tidak baik kalau dibuat untuk menyembelih ayam tetangga. Benar juga kataku. Itu kata guruku dulu ketika menerangkan tentang bahaya lisan.
Kita sebagai manusia yang merupakan makhluk berotak pintar, tetap saja tidak bisa mengontrol apa omongan orang lain kepada kita, tidak bisa. Yang bisa kita lakukan hanyalah bagaimana kita bisa mengendalikan diri kita terhadap omongan yang kita terima. Biar pun seribu omongan caci-maki datang menyerbumu, selagi kamu tidak terpancing dengan omongan itu, kau justru akan tumbuh menjadi orang yang lebih kuat. Kau menang, Kawan. Mereka berpikir, 'Bagaimana mungkin ia kuat seperti itu, padahal omonganku sangat pedas menyakitkan?' Mereka tidak tahu, Kawan, bahwa kau sudah tebal telinga dengan komentar-komentar menjatuhkan. Apa kata kawanmu ketika ngopi di trotoar itu, "Jika kau ingin sukses, dalam hal apa pun, maka jangan mudah baperan. Dikit-dikit merasa tersindir. Dikit-dikit mengambek karena dimaki-maki. Kalau mental kita seperti itu, kapan kesuksesan akan menjemput kita? Orang kita mudah tersinggung." Kalimat kawanmu itu terpaku kuat dalam hatimu.
Ketika kau mau marah dengan suatu sikap yang tidak mengenakkanmu, kau pun selalu ingat dengan kalimat itu. Ketika hendak mulai terpancing dengan omongan-omongan menyakitkan hati, kau pun juga ingat pesan kawanmu itu. Tidak lagi mudah baperan. Tidak lagi marah hanya karena hal remeh-temeh. Bagimu hidup adalah sebuah petualangan menyenangkan, penuh dengan hal-hal menakjubkan, lalu haruskah dirusak dengan sesuatu yang sama sekali tidak penting? Tidak. Kau tidak lagi peduli pada rapor versi kacamata orang lain. Selagi yang kau lakukan baik, mengapa harus takut dinilai tidak baik oleh orang lain? Mengapa harus cemas dengan dugaan-dugaan orang lain, bukan? Lagian yang menjalani hidupmu adalah dirimu sendiri, bukan orang lain. Lalu untuk apa mereka berhak menilai bahwa yang kaulakukan itu kurang baik, tidak etis, jika menurut kata hatimu itu baik? Alah, itu hanya alasan mereka karena tidak ingin melihatmu berkembang. Mereka bisanya hanya bisa komentar, tapi tidak memberi solusi, lebih banyak yang menakut-nakuti.
Kau mau terjun menjadi youtuber misalnya, maka komentar-komentar itu pun muncul. 'Sudahlah, untuk apa kamu membuat kanal youtube', 'Mau jadi youtuber? Memang siapa yang mau menonton kontenmu?', 'Menjadi youtuber itu tidak semudah itu, Bro'. Dan komentar-komentar sejenisnya. Lihat, kan komentar mereka? Jika mental kita lemah, telinga mudah menerima komentar, maka yang terjadi itu benar. Kita jadi mengiyakan perkataan mereka, bilang, 'benar juga kata mereka, ya?'. Menyetujui. Tidak lagi percaya lagi pada apa yang telah kita ingini.
Tapi menjadi berbeda sekali jika kita tidak menanggapi komentar-komentar sampah tersebut. Kita anggap saja itu apresiasi dari mereka untuk kita terus melanjutkan langkah. Kita mulai tambah yakin dan percaya, jika yang akan kita gapai itu akan benar-benar terjadi. Man jadda wajada, kata guru ngajimu dulu. Kau selalu yakin dengan kalimat hebat itu. Tidak terbilang, beberapa hal kamu berhasil karena menerapkan kalimat hebat itu dalam hidupmu. Bagaimana tidak yakin lagi kalau sudah sering kejadian seperti itu, bukan?
Tapi tidak semua komentar itu jelek, ada beberapa yang memang baik untuk direnung-kerjakan. Biasanya memberi masukan terhadap apa yang kita kerjakan. Kita buat konten video musikalisasi puisi di youtube misalnya, maka ada seorang kawan yang memberi masukan, 'Bro, puisi kamu itu sudah bagus. Hanya saja penekanan pada pengucapannya itu kurang gereget', atau 'Bro, video kamu itu sudah bagus. Hanya saja durasinya itu kurang panjang sedikit, kurang puas yang nonton'. Maka komentar-komentar seperti ini sangat baik untuk kita dengarkan. Kalau seperti ini sifatnya membangun, bukan menjatuhkan. Justru dengan begini kau merasa dihargai, membuatmu tambah semangat untuk membenahi. Saling menegur dengan baik seperti inilah yang membuat orang-orang cepat sukses, bukan malah omongan-omongan negatif yang malah membuat kita sama-sama jatuh ke bawah. Kita saling menghargai usaha satu sama lain.Â
Lihat orang lain sukses, senang. Teman berhasil, gembira. Bahkan lihat musuh sedang bahagia pun kita turut ikut bahagia. Bukan malah kita menjadi benci sekali ketika melihat teman sendiri sukses, sirik, iri, "Kenapa bukan aku yang seperti itu?"
Maka penyakit inilah yang amat berbahaya dibanding penyakit fisik. Penyakit fisik terlihat jelas, sangat mungkin untuk disembuhkan. Tapi penyakit jiwa, yang tidak terlihat, sangat sulit untuk disembuhkan. Butuh latihan yang ekstra dan istikamah.