Tertangkap tangannya Ketua Mahkamah Konstitusi oleh KPK karena kasus suap sengketa Pilkada membuat semakin terang dan nyata, bahwa di negeri ini kejujuran adalah barang langka. Bisa jadi kelangkaan ini benar-benar menuju kepada titik nadir kepunahan atau bahkan memang telah dengan secara sengaja dipunahkan secara perlahan dan pasti, digiring oleh suatu sistem yang menggurita, yang memiliki kekuatan masif atas nama nafsu kuasa dan harta.
Jujur itu hebat! Sebuah slogan yang bila direnungkan seolah-olah mengandung keputusasaan, sekaligus harapan. Betapa telah sulitnya saat ini untuk menemukan kejujuran di negeri ini. Menemukan kejujuran seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami.
Slogan jujur itu hebat, dapatlah dipersamakan dengan kalimat menjadi juara itu hebat, dan yang bisa menjadi juara itu hanyalah satu, dua, atau tiga dari sekian banyak peserta lomba. Tidak mudah untuk menjadi juara. Yang lainnya lebih banyak terlempar menjadi pecundang. Pecundang jauh lebih banyak daripada sang juara. Namun, pecundang dalam lomba memiliki kehormatan, bila disertai dengan perjuangan, sportifitas dan kejujuran.
Ketidakjujuran berarti kebohongan, kepalsuan, tidak selarasnya kata dengan perbuatan. Berkata tidak, padahal ya! Berkata ya, padahal tidak! Lain di mulut, lain di hati. Ketidakjujuran adalah pecundang. Sedangkan kejujuran adalah juara, dan itu hebat! Kenyataannya lebih banyak pecundang daripada sang juara.Pecundang-pecundang yang sejatinya telah hilang kehormatannya, dan telah hilang pula rasa malunya. Oleh karena itu, menjadi pecundang bukan sesuatu yang memalukan. Menjadi pecundang bisa jadi telah menjadi sebuah kewajaran di negeri ini. Bisa dibayangkan, mencari hakim yang jujur itu sulit! Demikian pula mencari pemimpin, politikus, aparat, karyawan, bahkan guru yang jujur. Sebaliknya mencari pecundang tanpa kehormatan tidaklah perlu bersusah payah.
Pecundang tanpa kehormatan ada dimana-mana, dari ujung negeri sampai pusat negeri, bahkan di sebuah benteng terakhir keadilan, yang semestinya dipenuhi banyak juara. Mengawal keadilan dan kejujuran. Namun, apalah artinya banyak juara, bila nakhoda kapal dipegang pecundang tanpa kehormatan. Benteng terakhir keadilan pun runtuh. Semoga saja nakhoda kapal negeri ini bukan pecundang tanpa kehormatan. Kalau tidak, maka celakalah negeri ini!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H