Film, selain menjadi representasi budaya dan realitas sosial yang sedang terjadi, juga merupakan cerminan pemikiran sineas yang ada di baliknya; bagaimana mereka melihat dunia dan memiliki perspektif untuk diterjemahkan ke dalam karya audio visual yang bisa dinikmati secara massal. Namun, seringkali sineas masih dibenturkan dengan kepentingan rumah produksi untuk membuat film yang sesuai dengan keinginan perusahaan. Sebab, rumah produksi seringkali membatasi karya seperti apa yang bisa dikeluarkan oleh mereka dengan mempertimbangkan selera pasar, ideologi perusahaan media, dan anggaran yang diperlukan.Â
Film produksi Amerika Serikat atau film Hollywood memproduksi banyak film setiap tahunnya. Di tahun lalu, ada 403 film yang dirilis Hollywood (Film produksi Amerika Serikat dan Kanada) bahkan ada 792 film pada tahun 2019 ketika pandemi belum merebak dan membuat rumah-rumah produksi film berpuasa. Persaingan ketat industri film mengharuskan rumah produksi untuk menyesuaikan dengan selera pasar, genre dan konsep film seperti apa yang disukai oleh publik. Namun, kondisi ini menimbulkan permasalahan pada pembatasan kreativitas dan kebebasan sineas untuk membuat film. Â
Marvel Studio dapat dijadikan sebagai contoh rumah produksi yang mengorbankan kebebasan para sineas untuk melahirkan film-film mereka. Film-film adaptasi komik Marvel seringkali "dipoles" agar bisa dinikmati oleh jangkauan mata yang lebih besar; film dengan rating remaja atau semua umur. Akibatnya, Marvel mengebiri kualitas film suntingan mereka agar lebih ramah dinikmati oleh umur yang lebih muda. Padahal, alur cerita Marvel memiliki babak-babak yang menunjukkan elemen yang dapat menguatkan karakter tokoh, tetapi dipangkas karena alasan tidak disukai oleh jangkauan penonton yang lebih luas, meskipun bisa dikatakan juga karena alasan kurasi dan pemadatan alur.Â
Industri perfilman–dilihat dari perspektif kesenian–memerlukan sebuah gebrakan yang dapat memfasilitasi independensi sineas untuk menghasilkan karya-karya yang lebih bebas. Sebuah rumah produksi kelahiran New York yang memberi kebebasan bagi para sineas untuk merealisasikan imajinasinya. A24 Studio, rumah produksi yang baru saja menginjak satu dasawarsa di industri film, tetapi telah mendapat perhatian yang besar.Â
A24 Studio memberikan angin segar kepada para sineas untuk mentransformasikan kreativitasnya menjadi sebuah film yang tidak terbatas oleh ideologi studio atau rumah produksi. A24 memiliki keunikan tersendiri di antara studio-studio film arus utama lainnya, A24 membuat film yang memiliki genre dan konsep yang ragam, sesuai dengan kebebasan yang diberikan kepada sineas: sutradara, penulis, juru kamera, dan lainnya.Â
Salah satu film yang menarik adalah The Lighthouse. Film monokrom hitam putih yang terlihat sangat minimalis dari segi produksi, tetapi memiliki alur yang sangat menarik dan pengambilan kamera yang sama menariknya. Film ini memiliki konsep yang sama dengan 12 Angry Men karya Lumet yang memanfaatkan ruang minimalis dengan penekanan karakter yang kental. Sama seperti 12 Angry Men, The Lighthouse bahkan hanya memiliki dua karakter utama.Â
Rumah produksi A24 Studio juga membawa gelombang baru dalam beberapa genre film, seperti Hereditary dan Midsommar memberikan warna baru dalam genre psychology horror. Itu disebabkan oleh rumah produksi yang tidak memberikan batasan-batasan kepada para sineasnya untuk berkarya, sehingga mereka dapat memaksimalkan usahanya pada aspek kesenian film.Â
Keunikan ini juga berdampak pada munculnya basis penggemar A24 Studio yang selalu menunggu rilisan film terbaru dari studio ini. Segmentasi pasar penggemar film baru muncul akibat independensi A24 Studio dalam membuat film: pasar penggemar A24.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H