Mohon tunggu...
Achmad T
Achmad T Mohon Tunggu... -

hehehe...

Selanjutnya

Tutup

Politik

NKRI..!!! Serius Gak Segh...?!

13 Agustus 2010   18:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:03 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Flash back, Sebelum Negara Republik Indonesia ada, Sabang sampai Merauke hanyalah pulau-pulau bagi 300 lebih suku, dimana masing-masingnya memiliki culture yang relatif berbeda. Bandingkan saja Adat Aceh dengan Adat Ambon. Jelas ini merupakan sample Adat yang berbeda. Yang sama dari Nusantara tempo hari hanyalah-berada dalam keadaan terjajah- oleh negara-negara yang berasal dari eropa sana. Ditambah lagi dengan pendudukan Jepang. Thats it. Itu saja yang sama.

Kemudian perjalanan sejarah membuat suku-suku tersebut membuat "Deal" untuk bergerak bersama  mencapai satu tujuan waktu itu yaitu MERDEKA (tahun 1928). Setelah itu (1945), Deal yang lain pun kita sepakati. Kita sepakat 'jalan bareng' dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kenapa ini terwujud, kalau boleh disederhanakan, karena nilai-nilai yang mengatur hubungan kita waktu itu cocok, klop, dan mewakili semua keadaan kita. Semua di tuang dalam Pancasila dan UUD 1945.

Deal nenek moyang kita waktu itu, meliputi persamaan hak dan kewajiban, serta sepakat untuk sama-sama mengelola tanah air bagi kesejahteraan bersama. Bhineka Tunggal Ika pun di lable bagi kita dari Sabang hingga Merauke. Simplenya sejarah bergulir demikian. Akhirnya kita sama-sama hidup di sebuah Republik yang kita cintai ini.

Kalau saja konsep yang di tawarkan waktu itu bukan demikian, mungkin kita tidak akan mencapai Deal untuk 'Jalan Bareng'. Dan mungkin sejak lama kita sudah 'bubaran.' Lihat waktu bangsa kita selingkuh dengan paham "Komunis". Lihat waktu Republik ini diplintir dengan ide Preseden seumur hidup (emang kerajaan?!), atau saat Republik ini hanyut dalam konsep sebuah rezim, yang kesemuanya tidak menempatkan Kesejahteraan Bersama sebagai tujuannya lagi, banyak riak-riak No Deal muncul. Dan kita menebusnya dengan harga yang sangat mahal. Perpecahan, chaos yang berarah-darah, serta ketidak stabilan yang memberi dampak kemunduran bagi peradaban bangsa kita.

Hari ini rupiah bernilai 8.000,- hingga 9.000,-an. Mungkin ini lah peredam dari segala keadaan yang terlihat aneh di sana-sini seolah kita kembali sedang menjauh dari Deal awal negara republik ini. Kegelisahan yang mulai muncul ini bukan lah sebuah ilusi. Sebab yang merasakan sudah semakin variatif. Dari cendikiawan, hingga rakyat kecil.

Seolah kehiupan berbangsa kita saat ini sedang diakal-akali dengan kecurangan di berbagai bidang. Bidang pendidikan kita di akal-akali dengan ide Otonomi Kampus yang diketahui komersil itu. Bidang Keamanan kita di akal-akali oleh Teroris yang aneh ngebom sana-sini sampai ke Bali segala. Padahal di dekatnya, Pekerja Seks Komersil masih antri 'diproduksi' oleh kebodohan. Bidang Hukum, kita di akal-akali dengan pola kongkalikong yang sudah jadi rahasia umum, hukum itu bisa di beli. Tangkap yang kecil, lindungi yang besar. Heran bukan sebaliknya. Bidang Politik, kita terus disuguhi dengan pertunjukan sandiwara amatiran. Belum lagi ada ide brilian dari ranah politik lahir, tapi request para cukong politik itu terus saja berkumandang, mintak di akomodir oleh uang rakyat.  dsb.

Sejengkal demi sejengkal kita beranjak pantas untuk menyandang gelar pengkhianat. Sebab Deal nenek moyang kita dahulu lagi-lagi tidak kita indahkan. Mumpung situasinya belum kembali kendor ke titik nadir, masih ada waktu untuk kembali jujur, mewujudkan deal yang dulu itu, bagi semua yang hidup di seantero Sabang sampai Merauke. Berhenti mengemas bangsa kita dengan dusta meskipun itu tentang Mie.

Deal itu yang perlu di proteksi keras, bukan kepentingan orang kaya di negeri ini. Hormat pada deal itu yang paling penting, bukan pada partai atau golongan yang belum tentu abadi itu. Saya yakin semua masih menyimpan niat untuk tidak mau di kenang dalam sejarah sebagai generasi pendusta yang menghianati setiap deal pendiri negara ini. Pokoknya jangan sampai bubaran satu-satu kita. Tapi jika sebaliknya, mari kita sama-sama menunggu, saat sejarah kemunduran bagi peradaban bangsa ini, kembali terulang.

Rakyat paham dan mengerti koq arti sebuah proses, tapi kelalaian yang membahayakan negara di saat kita sadar, sudah pasti tidak akan mendapat porsi untuk di tolelir. "So deal or no deal kita..? dan bisa serius gak segh ni NKRI...?!!! Merdeka..!!! Merdeka..!!! Merdeka..!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun