Kehidupan kita kadang tak lebih baik dari orang lain. Itu perasaan yang sudah saya bawa-bawa sejak pagi jelang singgah ke kedai, tempat dimana saya biasa menikmati sarapan. Hari ini, semua tagihan jatuh tempo. Sementara untuk membayarnya, sehelai uang masuk pun tak kelihatan. Bisa ditebak, tak lama lagi akan datang badai dalam kehidupan saya.
Dengan hanya Rp. 50.000,- di tangan, alhamdulillah tradisi sarapan masih bisa saya kerjakan. Satu gelas teh hangat, satu porsi lontong gulai, setidaknya masih bisa saya nikmati pagi ini.
Dalam benak saya, barangkali cuma ritual mengisi perut yang akan jadi momen paling berharga dalam hidup saya hari ini. Meski sadar, mengisi perut cuma satu pemenuhan kebutuhan primer, yang paling primitif dalam sejarah manusia. Dengan mengisi perut pagi hari, paling tidak saya sudah bisa sedikit menguatkan badan, bersiap menghadang hari yang bisa saja menggila dalam detak waktu yang tak lama lagi.
Denting kecil dari piring para penikmat lontong berbunyi bersahutan. Bak orkestra, orkestra khas ala kedai sarapan. Decak lidah pun sesekali terdengar, manakala mulut penikmat lontong gulai sedang Penuh dan sibuk mengolah kenikmatan sarapannnya.
Di tengah suasana itu, tiba-tiba ada yang lain masuk dari arah pintu kedai. Entah dari mana datangnya. Seorang bungkuk tua renta, berjalan pelan-pelan memasuki kedai.
Mukanya keriput kelam. Dibungkus jilbab kusam yang terlihat timpang kemana-mana. Orang-orang di kedai menyadari kehadirannya, namun tak ada yang mau memberi pandang. Sepertinya orang-orang di kedai sudah dengan enteng bisa menyimpulkan, cukup hanya dengan sudut mata.
"Seperti biasa, paling-paling ini hanya seorang pengemis," kata saya dalam hati. Anggapan itu bisa saja sama dengan anggapan pengunjung kedai lainnya.
Memalingkan muka memang sudah terbukti ampuh menegarkan hati saat harus mengatakan "tidak" pada pengemis. Kita tak terlalu takut terganggu dengan rasa iba yang bisa saja datang ketika jurus-jurus memelas dimainkan pengemis dengan lihainya.
Dan di sini, seluruh pelanggan kedai sudah terlatih untuk tidak acuh dengan pengemis. Apalagi kabarnya mereka sebenarnya berpenghasilan besar hanya dengan meminta-minta.
Namun, pagi itu sikap saya sedikit berbeda dari hari biasanya. Sambil menghabiskan sarapan, saya malah tertarik mengamati gerak-gerik si tua yang mirip pengemis itu.
Karna jalannya yang pelan, ia baru melewati tiga meja. Karena dari awal saya sudah memperhatikan, saya baru sadar, si tua itu tak singgah ke meja pertama, kedua dan tiga yang telah dilewatinya. Padahal biasanya pengemis akan menyinggahi setiap meja. Dan biasanya mereka akan mengangkat tangan. Memelas dan menghiba berbagai cara pada seluruh orang yang ada di kedai.
Tapi si tua ini tidak. Ia hanya berjalan pelan melewati meja-meja. Ia hanya memandang ke bawah seperti sedang menyapu lantai dengan matanya. Baru kemudian di meja ke lima, ia berhenti. Perlahan ia membungkuk, lalu tangannya dengan lambat dan hati-hati bergerak di antara sela-sela kaki pelanggan kedai.Terus saya amati gerakan tangan si ibu tua itu.