Seperti kucing yang tak diacuhkan manusia, tangan si tua Terus menggapai-gapai sesuatu di bawah meja. Ketika ia telah berhasil mendapatkan sesuatu itu, barulah bisa saya lihat, ternyata ia sedang berusaha mengambil beberapa gelas pelastik, bekas kemasan air mineral yang tergeletak di bawah meja.
Berulang hal itu ia kerjakan di meja-meja selanjutnya. Ia sama sekali tak bicara. Tak ada kata-kata permisi, atau sekedar meminta izin pada tamu-tamu kedai yang juga tidak mengacuhkannya. Si tua itu seperti berada di ruang lain yang tidak bersentuhan dengan tamu-tamu kedai. Sekali lagi, bagi tamu kedai, seolah si tua ini seperti kucing yang sedang mengais sisa makanan di bawah meja saja. Tak perlu dihiraukan. Tak perlu dilihat. Apalagi diperlakukan dengan standar tatakrama anak muda pada orang yang jauh lebih tua.
Kondisi itu makin sempurna karena si tua pun hanya khusyu' dengan misinya; mengumpulkan sampah gelas pelastik sisa dari para penikmat sarapan pagi, sebanyak-banyaknya.
Otak saya tanpa sadar mulai bekerja. Berapa harga sampah pelastik itu? Sudah dari jam berapa ibu tua ini bekerja? Dengan onggok badannya yang sudah renta, berapa yang sanggup ia kumpulkan? Cukup kah buat makan? Kemana keluarga si tua ini? Kalau dia punya anak, sungguh kurang ajar membiarkan orang tua merayap-rayap seperti Kucing di kedai-kedai sarapan sepeti ini.
Dalam pengamatan saya, si tua ini sudah berhasil mengisi setengah dari dua kantong kreseknya. Otak saya juga sempat bertanya-tanya, berapa kira-kira beratnya? Sudah berapa nilai sampah yang ia kumpulkan jika diuangkan? Cukupkah buat makan? Cukupkah untuk sarapan? Pertanyaan-pertanyaan percuma, yang kala itu jawabannya tidak mungkin saya dapatkan.
Sarapan saya masih tersisa. Saya buru-buru membayar ke kasir dengan uang lembar Rp.50.000,-, satu-satunya uang yang saya punya. Lontong Rp. 8.000,- ditambah teh hangat Rp.2000,-. Bersisa uang saya Rp.40.000,-. Lembar Rp.20.000,- saya tukarkan dengan empat lembar uang 5000-an.
Buru-buru saya kembali kemeja sarapan saya, karena saya perhatikan, si tua sudah hampir sampai ke meja saya. Ketika ia lewat, saya letakkan uang Rp.15.000,- di atas meja. "Buk..!" kata saya pada si tua, Sambil menunjuk ke arah uang yang ada di atas meja.
Pelan-pelan ibu itu mengambilnya, persis seperti kucing yang pelan-pelan memakan sisa makanan. Seolah-olah, ibu ini ingin memastikan, apa benar uang yang hanya Rp.15.000,- itu sekarang jadi miliknya.
Si tua itu tak mengucapkan terimakasih, dia tersenyum sembari mengambil uang Rp.15.000,- di atas meja. Saya pun membalas dengan senyum kecil lalu kembali meneruskan sarapan saya. Saat ia berlalu, tak lagi saya perhatikan. Namun ketika sarapan saya habis, saya sempat melihatnya sedang berdiri di pinggir jalan. Ia menoleh pelan, ke kiri dan ke kanan. Dari belakangnya, saya sempatkan memotret si ibu tua dengan hand phone.
Tak terasa, ternyata sudah hampir 20 menit saya di kedai. Tinggal menghabiskan teh hangat yang mulai dingin. Satu persatu pengunjung kedai mulai pergi.
Ketika teh saya hampir habis, seorang pengemis laki-laki yang mungkin sebaya denga si Ibu tua tadi, datang menghampiri meja-meja yang masih berisi orang. Termasuk ke meja saya.