Almarhum Luki (Ngelem)
JIKA Anda berada di perempatan jalan, di kota mana pun, coba perhatikan gerak-gerik anak-anak jalanan (anjal). Adakah anjal yang asyik menutup lobang hidungnya dengan kaos yang dikenakannya? Jika ada, coba terka sedang apakah dia? Sedang menutup hidungnya karena ada bau tak sedap? Sedang menutup hidungnya karena berdarah atau mimisan? Jawabnya, bukan. Mereka sedangasyik dengan “dunia”-nya dan masa bodoh dengan keadaan sekitarnya. Lho, apa bisa? Ya, bisa. Itulah namanya ”ngelem”. Istilah ini berbeda dengan ”ngelem” manakala bagian sepatu Anda copot. Ngelem adalah perilaku menghirup terus-menerus lem karet merek tertentu yang biasanya terdapat dalam kaleng berukuran kecil. Karena, lem karet itu wadahnya kecil, maka harganya pun murah. Karena, murahlah maka mereka bisa membelinya.
Apa efek yang diperolehnya tatkala ngelem? Penulis pernah beberapa kali memerhatikan dan ngobrol dengan sejumlah anjal. Mereka memberikan tips ngelem yang ”baik dan benar”—begitu tutur mereka sambil tertawa—yakni dimulai dengan memejamkan mata atau konsentrasi. Lalu, dihiruplah kuat-kuat uap lem karet seraya mengkhayal tentang sesuatu. Ya, misalnya, berkhayal makan enak di restoran atau membangun imajinasi ”berhubungan intim” dengan beberapa artis. Dengan cara mengelem, ungkap mereka, rasa lapar di perutpun bisa lenyap. Efek halusinasi atau sensasi ngelem, katanya, bisa merasakan nikmatnya punya rumah mewah dan naik mobil termahal sebagaimana yang dilakukan para koruptor.
Lalu, apa efek buruknya bagi kesehatan anjal yang ngelem? Secara bertahap sakit, lalu tak lama kemudian mati. Ya, itu realita yang penulis sering temui di kalangan anjal. Kabar aktual terjadi di kawasan Cimahi. Ceritanya, ada seorang anjal yang biasa dipanggil dengan nama Luki. Dia meninggal dunia hari Sabtu (17/12) setelah tubuhnya semakin kurus kering, akibat terlalu sering ngelem. Karena, pejabat instansi pemerintah terkait—tampaknya terlalu ”sibuk” dengan urusan duit dan posisi—maka Luki dan juga ratusan Luki-Luki lainnya pun tak terurus. Identitasnya tidak jelas, sehingga ketika Luki (Cimahi) ini wafat menjadi problem bagi para sukarelawan. Ustadz Abdul Hadi danUstadz Farid—sukarelawan yang bergabung dalam Sahaja (Sahabat Anak Jalanan)—yang mengurus almarhum Luki pun ambil inisiatif memakamkan jasad Luki tanpa harus mencari anggota keluarganya.
Itu sekadar potret anjal bernama Luki,yang semestinya—jika para pejabat terkait konsekuen dan konsisten melaksanakan UUD 45—akan mengurusnya lantaran tergolong sebagai orang terlantar yang wajib dipelihara negara. Sayangnya, hingga tulisan ini dibuat masih ada ratusan Luki-Luki lain di perempatan lampu merah atau di pinggir jalan. Kalau pun ada Dinas Sosial yang tergerak untuk ”menyentuh” mereka, maka yang sering terjadi adalah perlakukan semena-mena. Mereka ditangkapi dan disimpan di asrama tertentu,tanpa ada bimbingan yang optimal sehingga tidak keluyuran kembali. Tindakan penangkapan itu pun ”Senin-Kamis” alias bergantung dengan jadwal kedatangan tamu tertentu di sebuah kota.
Ya, setiap akan ada pejabat tinggi—seperti Presiden atau Wapres---berkunjung ke suatu daerah atau kota, maka acapkali anjal semacam Luki digaruk oleh Dinas Sosial yang dibantu aparat Satpol PP dan instansi keamanan lainnya. Ya, buruk muka pejabat setempatkerapkali ditumpahkan kepada anjal. Padahal mereka adalah rakyat kita juga, yang harus diurus sesuai amanat UUD ’45. Ironisnya, ”mata dan hati” birokrat terkait sudah terlalu lama ”tertutup”. Mereka hanya diingat keberadaannya tatkala ”yang terhormat” akan melintas atau saat kota akan berbenah demi penilaian lomba kebersihan lingkungan. Sungguh memprihatinkan, bukan untuk diurus, tapi digaruk dan disikapi sewenang-wenang lalu dilepas begitu saja tanpa diiringi ”pembekalan”. (Achmad Setiyaji/”PR”) ***
[caption id="attachment_157492" align="alignnone" width="333" caption="Anak jalanan (Anjal) pada awalnya anak titipan-Nya yg lucu. Karena orangtuanyalah, mereka menjadi anjal. Di sisi lain, negara ternyata tidak sepenuhnya melaksanakan amanah UUD 45. Mereka tidak diurus sehingga hidupnya terlantar di pinggir jalan.."][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H