Ahmed Salman Rushdie, atau yang kita kenal sebagai Salman Rushdie, seorang novelis kelahiran kota Mumbai, India, yang berkebangsaan Inggris, sempat membuat media massa penuh dengan berita mengenai dirinya pada tahun 1988. Namun bukan tentang bagaimana karyanya mendapat pujian, melainkan tentang pro-kontra yang mengiringi terbitnya novel “The Satanic Verses” (Ayat-Ayat Setan) yang dianggap melecehkan agama Islam dan Nabi Muhammad SAW.
Para kritikus menilai ini adalah sebuah kewajaran, sebab kesenian pada hakikatnya terlepas dari nilai-nilai yang dianggap sebagai pengekangan dalam berekspresi. Sementara para penganut Islam sudah jelas menilai bahwa ini adalah sebuah hal yang tidak dapat ditolerir atau dimaklumi. Bahkan pemimpin tertinggi Iran saat itu, Ayatollah Ruhollah Khomeini, memfatwakan hukuman mati terhadap Salman Rushdie dan menjanjikan uang yang sangat banyak kepada orang yang mau mengeksekusinya. Hal itu membuat Salman menjalani hidup sembunyi-sembunyi hingga sekarang sebab fatwa itu belum dicabut.
Dua tahun setelah buku itu terbit, yaitu pada 1990, Salman Rushdie merilis sebuah novel anak-anak yang berjudul “Haroun and the Sea of Stories”, sebuah novel anak-anak yang oleh banyak kalangan disetarakan dengan “The Wizard of Oz” namun dalam versi Timur dan jauh lebih berat.Novel ini menceritakan tentang Harun Khalifa, seorang putra dari pasangan Rasyid Khalifa yang berprofesi sebagai pendongeng dan Soraya yang menjadi seorang ibu penyayang.
Suatu hari Rasyid kehilangan kemampuan mendongengnya karena Soraya minggat dari rumah, hal yang membuat Harun bersedih. Lalu Harun bertemu dengan Jikka si Jin Air pemasok dongeng dan memaksanya untuk mengembalikan kemampuan mendongeng ayahnya.Hal itu membawanya bertualang ke Lautan Dongeng dan ke negeri tempat dongeng berasal. Premis cerita yang sangat anak-anak, bukan?
Namun, menelisik lebih jauh mengenai novel ini, Salman Rushdie menyisipkan sedikit bumbu dewasa. Mulai dari perginya Soraya, ibu Haroun, dengan Sengupta yang merupakan tetangga mereka. Dan juga tentang bagaimana Rasyid yang selalu menjadi “juru kampanye” para politisi saat musim pemilihan umum tiba. Rasyid disewa para politisi karena namanya sudah terkenal dan orang-orang selalu mendatangi tempat dimana dia mendongeng. Dalam sebuah dialog, si tokoh utama Rasyid bahkan mengatakan “Orang-orang ini menyewaku untuk mendongeng, sebab mereka tak ingin menceritakan kebenaran”.
Ini menarik, bagaimana Salman Rushdie seolah-olah menyindir kebiasaan para politisi atau juru kampanye dalam mengumbar janji, dan menyamakan mereka dengan “tukang dongeng” atau “pembual” dalam bahasa kasarnya. Sebuah hal yang menarik mengingat novel ini ditujukan untuk anak-anak dan tidak secara terang-terangan menonjolkan sisi dewasa. Sebuah pembelajaran kedewasaan yang tidak secara eksplisit? Bisa jadi. Itu lebih baik daripada memperlihatkan gambar organ genital di buku teks pelajaran sekolah dan belajar tentang organ reproduksi di saat usia dan pikiran masih belum cukup untuk mencerna hal-hal seperti itu.
Sebenarnya, Salman Rushdie adalah seorang novelis (untuk pengakuan Muslim, cuma dia dan Tuhan yang tahu) yang selalu mengedepankan kualitas karya-karyanya. Ini terbukti dengan novelnya yang berjudul “Midnight’s Children” (rilis tahun 1981) yang berlatar belakang saat kemerdekaan India dari kolonialisme Britania Raya diganjar penghargaan Booker Prize, sebuah penghargaan bergengsi untuk para novelis yang menggunakan bahasa Inggris dalam karyanya.
Dan pada bulan Juni 2007, Ratu Elizabeth II menganugerahkan gelar kebangsawanan “Sir” kepada dirinya atas pengabdiannya dan kontribusinya terhadap dunia literatur. Gelar bangsawan di Britania Raya tentu saja diberikan kepada orang-orang yang dianggap berhak dan layak menyandang gelar tersebut. Masih banyak lagi sederet penghargaan yang diberikan padanya dari berbagai negara.
Pelarangan penerbitan novel “The Satanic Verses” itu wajar sebab tentu saja buku itu tidak bisa diterima semua kalangan. Namun anggapan bahwa Salman Rushdie adalah seorang novelis yang karya-karyanya harus dilarang cuma karena satu buku yang membawa isu sensitive tentu sangat tidak adil. Menilai kualitas karya seni seorang seniman tentu saja tidak cuma dari satu karya, karya-karya yang lain milik sang seniman juga harus menjadi tolak ukur. Penilaian yang adil harusnya dilakukan dengan cara seperti itu, tidak langsung menjatuhkan vonis.
Dari segi cerita, novel ini menawarkan sebuah cerita ala negeri 1001 malam yang melibatkan jin. Namun tokoh-tokohnya yang "nyentrik" dan unik mempermanis jalan cerita yang mengalir dengan sangat lembut. Apalagi di tengah cerita kita disuguhi konflik antara dua kerajaan (baik dan jahat) yang seolah-olah harus selalu ada dalam semua dongeng. Dongeng yang sangat "dongeng" namun bisa dibaca oleh semua umur. Dan juga, Salman Rushdie masih menyelipkan humor-humor yang juga cocok untuk segala usia.
Walau karena nila setitik rusak susu sebelanga, Salman Rushdie masih punya beberapa gelas susu lagi. Berkelanalah ke alam buatan Salman Rushdie, dan lihatlah betapa imajinasi manusia tak bisa dikekang oleh apapun.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI