[caption caption="Mana yang lebih penting? Atau harus mengorbankan salah satunya?"][/caption]
Suatu malam beberapa minggu yang lalu, saya bermimpin aneh sampai-sampai begitu bangun saya langsung bercermin memastikan ini bukan perbuatan jin. Mimpi itu adalah saya melihat kantin-kantin kecil atau kantin kecil langganan saya dan teman-teman seangkatan berubah menjadi bangunan restoran cepat saji yang maskotnya badut berambut merah, kedai kopi asal kota Seattle yang terkenal kemahalan, dan (yang paling absurd) saya melihat badut berambut merah maskot salah satu restoran cepat saji duduk santai di taman sambil membaca buku “Das Kapital”-nya Karl Marx. Saya rasa Tuhan memang menegur saya yang sering melupakan-Nya dengan mimpi seperti ini.
Mungkin ini efek dari pembicaraan saya malam sebelumnya dengan salah satu teman mengenai plus dan minus dari kebijakan Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (selanjutnya disingkat PTN-BH). Diskusi tersebut bisa membuka pemikiran saya mengenai apa dampak secara sosial yang bisa ditimbulkan dari PTN-BH ini, dan rasa-rasanya agak naif jika penjelasan mengenai PTN-BH ini kita dapatkan dari satu pihak saja (yaitu pihak birokrat) tanpa sedikit pun mempertimbangkan nasib orang-orang yang akan terkena langsung imbas PTN-BH ini. Dan lagi-lagi, orang-orang malang tersebut adalah mereka golongan kelas menengah ke bawah.
Saya yakin teman-teman sekalian sudah banyak tahu mengenai darimana PTN-BH ini berasal, sejarahnya dalam GATS hingga akhirnya diratifikasi oleh Indonesia sebagai salah satu anggota WTO pada Juli 2012 melalui Undang-Undang Perguruan Tinggi. Namun disini saya hanya mencoba membangkitkan kesadaran bahwa PTN-BH adalah ancaman terhadap hak untuk mendapatkan pendidikan yang harusnya bisa diakses oleh semua orang.
Secara umum, PTN-BH berarti perguruan tinggi negeri yang dimaksud bisa mencari dana tambahan dalam menjalankan aktivitas kampus – pembangunan infrastruktur, pembayaran listrik, iuran air, membayar gaji dosen dan pegawai, dan lain-lain – dari pihak-pihak luar kampus (dalam hal ini adalah korporasi) sebab dana subsidi dari pemerintah secara perlahan dikurangi. Diversifikasi sumber pendanaan ini mengawali keterlibatan institusi swasta untuk memenuhi permintaan masyarakat dan pendidikan tinggi yang meningkat dari tahun ke tahun.
Aktor swasta yang berperan disini semakin menambah dinamika di antara perguruan tinggi, maka yang terjadi adalah semua perguruan tinggi beramai-ramai melakukan branding dan berusaha memperoleh akreditasi terbaik dengan memperbaharui seluruh infrastrukur kampus. Sayangnya, pemenuhan kualitas tersebut (sering dikatakan sebagai world class university, selanjutnya disingkat WCU) tidaklah mudah sebab memerlukan sumber daya dan dana yang tak sedikit. Proses menuju WCU tersebut malah semakin memperkecil peran pemerintah karena syarat keunggulan manejerial dan asal pendanaan. Jelas saja hal ini membuat akses masyarakat kelas menengah dan kelas bawah ke perguruan tinggi menjadi terancam.
Dalam jurnal berjudul “The Liberalization of Education Under the WTO Services Agreement (GATS): A Threat to Public Educational Policy?”, dijelaskan bahwa pendidikan (yang merupakan hak setiap manusia) harusnya bisa diakses secara optimal oleh semua orang. Lebih lanjut, pendidikan yang berkualitas tinggi secara positif bisa mempengaruhi kondisi tenaga kerja terutama dalam bidang ekonomi. Selain itu, pendidikan lebih dari sekedar mencari ilmu pengetahun : akses merata untuk setiap lapisan masyarakat dalam menempuh pendidikan, kesempatan untuk mendapatkan hidup yang lebih baik, jaminan kompetensi mahasiswa untuk terjun mengabdi ke masyarakat, dan banyak lagi.
Kampus PTN-BH punya kewenangan lebih dalam mengelola keuangannya, apalagi dengan adanya aktor swasta dengan bantuan finansial yang sangat menjanjikan. Tapi, ujung-ujungnya (sebagai feedback) kita harus rela melihat kampus dimasuki oleh korporasi, mendirikan bangunan yang tak seharusnya ada. Anggaplah seperti bangunan restoran cepat saji atau kedai kopi kemahalan seperti yang saya mimpikan itu. Bagi mahasiswa berkantong tebal, makan di tempat seperti itu tentu saja tak masalah. Tapi bagaimana dengan mahasiswa yang berkantong cekak dan keuangan pas-pasan? Kantin-kantin kecil yang biasanya ada dengan harga makanan yang sangat terjangkau (dan mengutang jika tak punya uang) dan para penjual yang menggantungkan hidupnya pada kantin ini harus berganti menjadi tempat makan dengan harga yang selangit.
Oke, itu efek masuknya korporasi ke kampus yang bisa dirasakan secara langsung terutama oleh mahasiswa (itu juga merupakan kekhawatiran saya). Tapi bagaimana dengan pengaruh ke jajaran stakeholder pengambil keputusan? Aktor swasta yang masuk ke kampus bisa mempengaruhi keputusan atau peraturan yang dkeluarkan oleh pihak kampus. Sebab mereka adalah “para pemegang saham”, punya modal cukup besar yang ditanamkan di kampus, punya uang untuk membiayai kehidupan kampus. Jadi, tidak menyertakan perwakilan mereka di jajaran petinggi itu menjadi tidak etis, jika menengok “peran” mereka dalam hal finansial. Efeknya, mereka bisa mengusulkan dan mempengaruhi keputusan/peraturan yang dikeluarkan oleh petinggi kampus, tentunya harus sejalan dengan motif ekonomi mereka.
Efek sosialnya? Karena menuju WCU memerlukan maintenance yang tidak sedikit, maka tentunya ini berakibat pada peningkatan jumlah uang kuliah persemester yang harus dibayar oleh mahasiswa. Atau lebih ekstrim lagi : mengurangi jumlah mahasiswa yang lulus melalui jalur undangan/ujian tertulis (yang biaya kuliahnya ditentukan oleh pemerintah dan “murah”) dan menambah alokasi mahasiswa yang lulus lewat jalur mandiri. Ya, biaya kuliah yang dibebankan untuk mahasiswa yang lulus lewat jalur mandiri menjadi otoritas penuh kampus. Uang menjadi hal penting di sini. Kita bahkan belum berbicara mengenai uang kuliah di Perguruan Tinggi Swasta yang tanpa subsidi pemerintah.
Menjadi kampus dengan infrastruktur tenaga dosen, dan kurikulum mengajar yang memadai menjadi dambaan setiap PTN maupun PTS, apalagi jika lulusan SMA yang mendaftar tiap tahunnya terus mengalami peningkatan. Namun, mengabaikan mereka dari kelas menengah ke bawah yang ingin mengakses bangku kuliah bukanlah keputusan yang bijak. Kita tentu tak ingin melihat potensi orang-orang jenius harus pupus di tengah jalan karena alasan biaya kuliah selangit. Sebagai warga negara yang baik, saya ingin mengingatkan bahwa dalam Pasal 31 ayat 1 UUD 1945 dijabarkan dengan sangat jelas bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.”