[caption id="" align="aligncenter" width="487" caption="Line-up klasik Megadeth (1990-2000): Dave Mustaine (vokalis, gitar), Nick Menza (drummer), David Ellefson (bass), Marty Friedman (gitar). (TrueMetal)"][/caption]
(Tulisan ini adalah sebuah bentuk apresiasi penulis terhadap karya-karya Megadeth.)
Masyarakat, kumpulan individu yang berkumpul hingga membentuk sebuah identitas yang bersifat permanen. Mereka kemudian menerapkan norma, adat-istiadat, hukum, peraturan, yang kesemuanya dibuat untuk mengatur kehidupan mereka menjadi lebih aman dan tertib. Namun, masyarakat sosial yang terdiri atas kumpulan berbagai individu dengan isi otak yang saling berbeda membuat mereka punya cara sendiri menginterpretasikan hidup yang dijalaninya. Dan tentu saja hal tersebut bisa berupa kritik terhadap apa yang dilihat dan dirasakannya dalam menjalani aktivitas sosialnya sebagai makhluk sosial.
Segala hal mengenai kritik-mengkritik ini dimulai sejak sudah lama sekali, mungkin sejak manusia sudah mengenal bahasa dan kosakata untuk menyindir atau menyinggung hal-hal yang dianggapnya tak pantas dan tak sesuai. Di ilmu sosial dikenal “Mahzhab Frankfurt” dengan Juergen Habermas sebagai pentolannya. kehidupan sosialnya tanpa adanya campur tangan negara sebagai pihak pengatur tertinggi. Adinegoro (1949) mengatakan bahwa kritikadalah sebuah pertukaran pikiran yang dilakukan secara jujur. Dan Megadeth juga tak ketinggalan mengkritik masyarakat.
Ya, Megadeth. Band yang terbentuk tahun 1983 di Los Angeles ini punya lirik-lirik lagu yang mengkritisi sosial-politik (selain yang bertema perang) yang dibungkus dalam musik thrash metal yang keras. Sebab mengkritik bukan cuma milik sastrawan ataupun novelis, melainkan juga musisi. Megadeth seringkali mengkritik sosial-masyarakat dalam hampir semua lagu-lagunya. Lagu “Peace Sells” dari album “Peace Sells…But Who’s Buying?” (1986) mengkritik mengenai kehiduan masyarakat yang sudah terkungkung oleh berbagai pola yang (ironisnya) diciptakan sendiri oleh masyarakat. Secara singkat, disebut terinstitusi.
[caption id="" align="aligncenter" width="534" caption="Sampul album "Peace Sells...but Who's Buying?". (Megadeth.com)"]
What do you mean, “I don’t believe God”?’. I talk to Him everyday.
What do you mean, “I don’t support your system”? I go to court when I have to.
What do you mean, “I can’t get to work on time”? I got nothing better to do.
And what do you mean “I don’t pay my bills”? Why do you think I’m broke?
If there’s a new way, I’ll be first in line. But it better work this time. – Peace Sells
Juergen Habermas mengkritik kemampuan masyarakat untuk membangun dan mengatur sendiri kehidupan sosialnya tanpa adanya campur tangan negara sebagai pihak pengatur tertinggi. Dalam hal ini, mereka dituntut untuk membuat aturan sendiri yang dirumuskan secara bersama-sama. Senada dengan yang dikemukakan oleh Herbert Marcuse, masyarakat menurutnya sekarang ini adalah sebuah bentuk dari masyarakat industri modern yang hidupnya tak bisa lepas dari berbagai tekanan dan tak bisa lepas dari penguasaan, penindasan, dan pengaturan secara menyeluruh.
Herbert Marcuse beranggapan, masyarakat saat ini digerakkan hanya untuk menjaga keberlangsungan dan peningkatan sistem yang telah ada dan cenderung tak menginginkan lagi perubahan. Menjadi pasif dan represif. Manusia tak menyadari keadaannya telah teralienasi. Masyarakat yang berubah menjadi terlalu nyaman dengan sistem yang ada itulah yang menjadi sasaran kritik Dave Mustaine (vokalis/rhythm gitar Megadeth). Tercermin dari lirik lagunya yang menggambarkan sebuah keadaan dimana manusia punya berbagai tolak ukur untuk berbagai hal yang harus ditaati manusia. Mulai dari apakah dia beragama, mendukung sistem yang ada, menaati hukum, rutinitas bekerja, membayar tagihan, dan lain-lain. Itu semua menurut Herbert Marcuse sebelumnya adalah contoh masyarakat yang terinstitusi, masyarakat yang terlanjur nyaman dengan apa yang dia miliki dan mereka ciptakan sendiri sehingga takut untuk memulai sesuatu yang baru. Atau menentang orang yang tak sejalan pemikirannya dengan sistem yang telah ada sebelumnya.
[caption id="" align="aligncenter" width="478" caption="Sampul album "Rust In Peace". (Pixgood)"]
Brother will kill brother, spilling blood across the land.
Killing for religion, something I don’t understand.
Fools like me, who cross the sea and come to foreign land.
Ask the sheep for their beliefs, do you kill on God’s command?
– Holy Wars…the Punishment Due
Dalam sebuah lagu lain, “Holy Wars…the Punishment Due” dari album “Rust In Peace” (1990), lirik lagunya menceritakan mengenai keraguan akan sebuah perang yang bersentimen atau berdasarkan pada agama. Seperti yang kita tahu, perang adalah bentrokan fisik atau non-fisik antara suatu pihak dengan pihak lain yang bertujuan untuk menancapkan dominasi. Niccolo Machiavelli, seorang pemikir zaman Renaissance asal Italia, mengatakan bahwa perang merupakan suatu dasar yang alamiah dalam penyelesaian masalah dan juga hal yang penting untuk dilakukan. Dia mencontohkan bila suatu negara gagal melakukan diplomasi untuk menyelesaikan konflik atau mencapai kepentingannya, maka perang menjadi jalan yang penting untuk ditempuh satu pihak tersebut, tentunya dengan berbagai pertimbangan.
Namun, belakangan ini kita mendapati perang atau kekerasan atas nama agama. Orang-orang kini dengan gampang mengangkat senjata, menghunus parang, memenggal kepala, dan melempar batu didasari atas pendirian bahwa mereka adalah patriot penegak hukum Tuhan. Saya disini tak berargumen tentang siapa mereka, tapi mengapa mereka melakukan hal tersebut. Mungkin sama dengan apa yang ada dibenak Dave Mustaine saat dia menulis lirik lagu “Holy Wars…the Punishment Due” tersebut. Semua agama melarang pertumpahan darah yang sia-sia, karena pada dasarnya manusia haruslah saling menyayangi. Agama yang mengajarkan saling menghargai dan kedamaian ironisnya justru menjadi tameng bagi sebagian orang untuk melakukan perbuatan tidak beradab. Mahatma Gandhi pernah berkata: “Saya menolak kekerasan karena saat terlihat menghasilkan kebaikan, kebaikan itu hanyalah sementara dan keburukan yang dihasilkannya adalah kekal.”
[caption id="" align="aligncenter" width="379" caption="Sampul album "Countdown to Extinction". (Wikipedia)"]
You take a mortal man, and put him in control.
Watch him become a god, watch people heads a’roll.
Just like the Pied Piper, led rats through the streets.
We dance like marionettes, swaying to the symphony of destruction.
– Symphony of Destruction
Dari lirik lagu diatas, kita bisa menangkap satu hal mengenai kepemimpinan yang bisa mendorong rakyat pada kehancuran. Lirik lagu dari album "Countdown to Extinction" (1992) ini menceritakan tentang kemampuan para pengikut politikus untuk mengikuti perintahnya tanpa berpikir, sama seperti legenda “Pied Piper of Hamelin”. Warren Gamaliel Bennis dalam buku “Leadership Theory and Administrative Behavior” (1959) mengatakan bahwa kepemimpinan adalah proses dengan apa dan bagaimana pemimpin mendorong, mempengaruhi bawahan untuk berperilaku dan bertindak seperti yang dia kehendaki. Ada juga pendapat dari Stephen J. Carrol & Henry L. Tosj (1977) mengatakan bahwa kepemimpinan adalah proses mempengaruhi orang-orang lain untuk melakukan apa yang Anda inginkan dari mereka untuk mengerjakannya. Secara umum, kita bisa mengambil satu kata inti: mempengaruhi.
Namun, beberapa pemimpin malah menggunakan kekuasaannya secara salah dengan melakukan hal-hal yang tak dikehendaki oleh pemilihnya. Bahkan banyak para pemimpin yang mampu membuat pendukungnya menuruti perintahnya tanpa harus banyak berpikir dan menimbang dampak dari perintah si pimpinan. Pemimpin yang punya kemampuan seperti inilah yang harusnya mempunyai kekuatan dalam hal kharisma dan ketegasan, namun hal ini seringkali menjadi disalahgunakan. Mungkin belakangan ini kita mendapati sebuah peristiwa dimana pimpinan sebuah organisasi menyuruh anak buahnya untuk melakukan hal-hal yang tak jarang berbenturan dengan hukum, seperti membuat keonaran. Dengan berbagai alasan yang meluncur dari mulut si pemimpin, pengikut yang terlanjur mencintai dan mengikuti apapun kemauan si pemimpin tak lagi mengindahkan dampak buruk yang mengikutinya.
Musik sebagai hal yang tak mungkin lepas dari hidup manusia di zaman modern ini telah mempunyai peran ganda: sebagai penghibur dan sebagai kritik sosial. Musik pada hakikatnya tentu sebagai sarana mengeluarkan curahan hati, pendapat, dan, kritik sebagai musik juga merupakan hasil dari cipta-rasa-karsa manusia sebagai makhluk yang perasa. Megadeth adalah sebagian dari banyak musisi yang menyampaikan apa yang ingin mereka sampaikan lewat raungan gitar dan gebukan drum penuh energi, namun hal itu tak mengurangi inti dari hal-hal yang ingin mereka sampaikan, bahkan semakin menguatkannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H