Mohon tunggu...
Achmad Hid. Alsair
Achmad Hid. Alsair Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa semester akhir, #GGMU @Man_Utd, ISFJ, hobi baca buku bertema sejarah, jatuh cinta dengan sastra dan gemar diskusi isu-isu internasional.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Asean Free Trade Area 2015: Siapkah Indonesia?

7 September 2014   11:52 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:23 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Tak lama lagi kita akan menyongsong sebuah era revolusioner ASEAN: ASEAN Free Trade Area, Wilayah Pedagangan Bebas ASEAN, dan ini resmi berlaku pada 1 Januari 2015. Hal ini adalah sebuah hal yang revolusioner, mengingat negara-negara ASEAN sebagian besarnya masih digolongkan sebagai “negara dunia ketiga” (kecuali Singapura, serta Brunei Darussalam yang digolongkan sebagai negara kaya). Dengan diberlakukannya daerah pasar bebas tersebut, diharapkan negara-negara ASEAN akan terpacu ekonominya dan tentu saja memajukan perekonomian dan taraf hidup warga negara-negara Asia Tenggara secara keseluruhan. ASEAN pun berharap bebasnya barang dan jasa “berkeliaran” tanpa halangan membuat terciptanya berbagai lapangan kerja yang menjanjikan untuk semua kalangan yang punya kompetensi memadai untuk ikut bersaing dalam area pasar bebas Asia Tenggara. Sangat ambisius, mengingat sebagian besar warga ASEAN masih banyak yang hidup di garis kemiskinan dan belum punya kompetensi memadai untuk bersaing di pasar bebas yang diperkirakan akan berlangsung “sangat keras” ini.

AFTA pertama kali dicetuskan oleh negara-negara anggota ASEAN saat itu (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand) untuk mengintergrasikan perekonomian nasionalnya ke sistem perdagangan bebas untuk menjawab tantangan dinamika hubungan perdagangan bebas internasional. Secara sederhana, tujuan AFTA antara lain:

  1. Menjadikan kawasan ASEAN sebagai tempat produksi yang kompetitif sehingga produk ASEAN memiliki daya saing kuat di pasar global.
  2. Menarik lebih banyak investasi langsung dari luar negeri.
  3. Meningkatkan perdagangan antar negara ASEAN.

Namun seiring bertambahnya anggota ASEAN dan banyaknya negara-negara di luar ASEAN yang ingin bergabung, maka kebijakan waktu penerapan yang awalnya adalah tahun 2007 berubah menjadi tahun 2015.

Namun, dibalik gegap gempita menyambut pasar bebas ASEAN yang akan tiba tepat di hari pertama tahun 2015, masih banyak hal-hal yang menjadi persoalan mendasar sehingga tentu saja membuat keraguan di benak sebagian besar kalangan. Ini adalah pasar bebas, semua diwajibkan ikut, dan apakah kita cukup siap untuk menyambut tantangan besar ini? Ada dua hal paling mendasar yang bisa menjadi halangan dalam mewujudkan zona pasar bebas Asia Tenggara ini, terutama yang ada di negara ini.

1.Pendidikan

Sebuah hal klasik yang menjadi persoalan negeri ini selama bertahun-tahun. Kita tentu sudah menyadari hal ini sejak lama dan bahkan berkali-kali mengganti standar pengajaran di sekolah-sekolah. Tentu saja kita tidak akan membandingkan sistem pendidikan kita dengan sistem yang ada di Singapura atau bahkan Malaysia. Menurut data yang dikeluarkan oleh UNESCO tahun 2011, data Education Development Index Indonesia berada di peringkat ke-69 dari 127 negara. Di atas Laos (109); Kamboja (102); dan Filipina (85), namun berada di bawah Malaysia (65), dan Brunei Darussalam (34). Belum lagi jika kita berbicara tentang data index pembangunan manusia yang dikeluarkan Maret 2013 dimana Indonesia menempati peringkat ke-121 dari 185 negara, tertinggal dari dua kompetitor paling kuat di ASEAN yaitu Malaysia (64) dan Singapura (18).

Hal ini tentu saja sangat mengkhawatirkan mengingat sistem pasar bebas yang mengutamakan pada Sumber Daya Manusia berkompeten di bidangnya untuk sementara belum bisa negara ini capai. Faktor-faktor penghalang antara lain tidak meratanya pembangunan infrastruktur pendidikan, mode pengajaran yang belum memenuhi standar, banyaknya rakyat Indonesia yang masih belum mengenyam pendidikan di bangku sekolah, serta banyaknya lulusan perguruan tinggi yang bekerja tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang dia pelajari saat di perguruan tinggi. AFTA adalah sebuah era dimana kualitas manusia menjadi modal untuk bisa bersaing dengan kompetitor dari negara-negara lain, dimana bisa dipastikan persaingan ini akan berjalan sangat keras. Di bidang jasa ini, ada kemungkinan akan banyak berdatangan pula orang-orang dari negara lain yang berkompeten di bidang tertentu. Bisa saja seorang dokter spesialis kandungan dari Thailand coba melamar pekerjaan di sebuah rumah sakit provinsi, atau malah bisa membuka praktek di sebuah kota. Hal ini tentu saja mengancam lapangan pekerjaan milik orang lokal, dan tentu saja opsi satu-satunya yang bisa diambil adalah meningkatkan kualitas atau malah mencari kerja di daerah lain, atau malah negara Asia Tenggara lain.

2.Perdagangan

Memasuki sebuah era pasar bebas, tentu saja menjadi hal penting untuk memperbaiki pasar dalam negeri kita sendiri agar mampu bersaing dengan pasar asing. Mengambil data dari Global Competitive Report 2011-2012, Indonesia berada di peringkat 44. Masih dibawah negara-negara kompetitor utama di kawasan ASEAN yaitu Thailand (38), Malaysia (26), dan Singapura (3). Tentu saja hal ini mengkhawatirkan sebab pasar dalam negeri akan dimasuki.oleh berbagai barang dan jasa yang datang dari negara lain tanpa halangan apa pun. Di sebuah wilayah perdagangan bebas, persaingan segala bidang usaha sudah menjadi hal yang diharuskan. Segala jenis usaha, mulai dari kecil; menengah; maupun besar tak luput “kecipratan” euforia ini. Euforia ini harusnya menjadi pemacu para pelaku usaha untuk berlomba-lomba meningkatkan kualitas produknya agar mampu bersaing dengan produk dari negara lain. Semakin bagus kualitasnya, maka semakin terbuka peluang untuk bersaing. Alangkah bagusnya jika upaya peningkatan kualitas berbagai hasil produksi juga diikuti oleh regulasi-regulasi pemerintah yang turut mendukung terciptanya hal ini.

Lagi-lagi, regulasi pemerintah menjadi hal yang mempengaruhi ini. Pemerintah harus bisa menjamin keamanan produksi, distribusi, dan konsumsi produk semua produsen. Regulasi-regulasi tersebut harusnya mempermudah, bukan mempersulit. Perdagangan yang bagus menuntut keseimbangan dan keterjaminan ketiga hal mendasar dalam kehidupan ekonomi tersebut. Namun dalam sistem pasar bebas yang akan kita jelang, peran pemerintah hanya sebagai pihak yang mengeluarkan regulasi-regulasi yang bertujuan untuk memberikan jaminan untuk para pelaku pasar dan menyerahkan kepada pelaku pasar untuk mengatur kehidupan ekonominya sendiri. Maka, sudah jelas pemerintah yang punya wewenang untuk menjaga para pelaku pasar di negerinya sendiri. Pemerintah, entah itu di pusat atau di daerah, sudah seharusnya mulai dari sekarang mengeluarkan regulasi agar pelaku ekonomi lokal tidak kaget atau bahkan kalah bersaing dalam pasar bebas ASEAN ini. Kita tentu tak ingin pasar kita sendiri dikuasai oleh asing bukan?

3.Perhubungan

Seperti yang berkali-kali disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, konektivitas antar wilayah sangat diperlukan jika kita ingin perekonomian negara ini maju. Jika konektivitas menjadi masalah utama dalam membangun perekonomian lokal, apalagi jika perhubungan tersebut dikaitkan dengan pasar bebas dengan cakupan wilayah yang sangat luas yang bahkan melewati batas negara. Hubungan antar wilayah menjadi salah satu masalah vital, dan seringkali pemerataan pembangunan dan ekonomi terbentur masalah klasik ini. AFTA yang bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan yang merata di seluruh wilayah Asia Tenggara tentu tidak akan tercapai jika hal ini tidak diperhatikan. Sebagai contoh, EEC (Komunitas Ekonomi Eropa) yang terbentuk dekade 1970-an tidak langsung asal direncanakan, disetujui lalu dilaksanakan. Sebelum memulainya, mereka mereka-reka berbagai halangan yang kira-kira menjadi batu sandungan pelaksaan EEC. Dan masalah paling berat adalah perhubungan. Penyebaran barang dan jasa di pasar bebas tentu saja harus merata sehingga semua orang bisa merasakan dampaknya tanpaterkecuali. Maka beramai-ramailah mereka membangun berbagai infrastuktur perhubungan, mulai dari jalan, bandara, rel kereta api, hingga pelabuhan. Dan kini, EEC sudah menjadikan seluruh negara-negara Eropa yang terbentang dari Iberia, Balkan, hingga Siberia bagaikan bersatu dalam satu wilayah yang sangat luas karena begitu mudahnya konektivitas antar kota bahkan antar negara.

Kembali ke ASEAN, konektivitas seolah menjadi hal mutlak yang harus dibangun sebuah negara jika ingin efek pasar bebas yang membawa kemajuan dirasakan semua kalangan tanpa terkecuali. Bayangkan jika masalah ini belum mampu diatasi oleh pemerintah, berapa banyak barang dan jasa yang tidak akan sampai ke tempat tujuan hanya karena infrastruktur penghubung yang rusak atau bahkan tidak ada. Konektivitas adalah cara pemerintah untuk mengalirkan pembangunan dari kota ke daerah-daerah tertinggal. Konektivitas adalah cara bagaimana orang-orang yang berkompeten mencari pasar dimanapun pasar itu berada. Konektivitas adalah cara bagaimana barang dan jasa mampu mengalir di pasar manapun. Konektivitas adalah bagaimana keuntungan dari pasar bebas dirasakan oleh orang dimanapun.

Kini, AFTA sudah didepan mata. Sebuah era baru akan kita temui. Sebuah era yang menjanjikan kemajuan regional ASEAN. Namun kemajuan itu tidak gratis. AFTA mengharuskan kita berpacu dengan waktu untuk memperbaiki semua masalah mendasar yang bisa menjadi batu sandungan. AFTA mengharuskan kita berpacu dengan waktu untuk melahirkan para manusia-manusia yang mampu bersaing di sebuah kompetisi yang ketat. AFTA mengharuskan kita berpacu dengan waktu membuat regulasi-regulasi yang bertujuan menjadikan para pelaku usaha di negeri kita tidak menjadi “penonton” di negeri sendiri. AFTA mengharuskan kita berpacu dengan waktu untuk memperbaiki semua masalah perhubungan yang telah lama menjadi pekerjaan pemerintah agar kemajuan yang ingin dibawa bisa sampai di seluruh wilayah tanpa terkecuali.

Pemerintah punya pekerjaan yang maha berat, dan untuk menyelesaikannya tidaklah mudah. Ini tidak seperti Bandung Bondowoso yang membangun 1000 candi dalam semalam dengan bantuan para jin. Pemerintahan dijalankan oleh manusia-manusia biasa yang punya keterbatasan. Namun, manusia-manusia ini bekerja keras untuk negaranya dengan melawan banyak keterbatasan. Pemerintah sudah menyadari hambatan-hambatan AFTA ini sejak lama, dan telah melakukan berbagai proyek yang bertujuan untuk mengatasi hal tersebut. Proyek-proyek ini mungkin masih jauh dari kata mencukupi mengingat masalah ini seolah-olah belum diselesaikan dari tahun ke tahun. Apa salahnya berharap agar pemerintah bisa mengatasi halangan-halangan demi membawa kemajuan untuk kita sendiri? Semoga pak Joko Widodo bisa menyelesaikan hal-hal diatas agar negara kita tercinta bisa menyongsong pasar bebas ASEAN dengan gembira dan tanpa beban. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun