Tapi tak sanggup kulakukan revolusi, berontak meminta kebebasan dan keadilan.Â
Telanjur kurantai kakiku secara sukarela, dan kuncinya kutelan masuk ke saluran pencernaan.Â
Kulihat pemandangan sore hari menjelang senja,Â
kutumpahkan sisa-sisa kopi ke atas genangan yang timbul dari hujan tadi.Â
Kini giliranmu bertamu dengan dandanan toga upacara sarjana,Â
aku diam mendengarmu bercerita mengenai kesulitan skripsi dan pahit revisi.Â
Tak mampu kubagi ceritaku, hari-hariku sama sekali tidak menarikÂ
hanya jejalan kemalasan yang kuhabiskan dengan menulis larik-larik.Â
Mengenai diriku, mengenai dirimu. Mengenai sekitarku, bukan sekitarmu.Â
Dan kudapati puisi ini masih miskin diksi.Â
(Makassar, Mei 2016)Â