Mohon tunggu...
vABU bARY
vABU bARY Mohon Tunggu... -

Keadilan Milik Siapa?? RUNCING ke bawah, tumpul ke atas. Seperti itulah perumpamaan praktik hukum di negeri ini. Hukum hanya tajam buat mereka yang papa dan tak berdaya, tetapi majal untuk mereka yang kaya dan berkuasa. Kita tentu masih ingat kasus Nenek Minah. Dengan alasan legal-formal, polisi, kejaksaan, dan pengadilan begitu sigap memproses kasusnya sehingga perempuan uzur dan miskin itu divonis satu setengah bulan kurungan hanya gara-gara mencuri tiga buah kakao. Bandingkan dengan Anggodo Widjojo yang disebut-sebut sebagai mafia hukum. Dengan alasan legal-formal, polisi tidak bisa menjadikannya sebagai tersangka. Anggodo baru menjadi tersangka setelah Komisi Pemberantasan Korupsi turun tangan. Banyak kecaman dialamatkan kepada penegak hukum yang menangani perkara Nenek Minah. Tak kurang Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar menyebut proses hukum Nenek Minah itu memalukan. Akan tetapi, kecaman demi kecaman itu bak angin lalu belaka. Kasus seperti Nenek Minah terulang kini. Dua janda pahlawan, Nenek Soetarti dan Nenek Roesmini, harus menghadapi ancaman hukuman dua tahun penjara karena jaksa mendakwa mereka menyerobot tanah orang lain dan menempati rumah negara milik Perum Pegadaian. Kedua perempuan renta itu sesungguhnya berhak memiliki rumah dinas tersebut sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1994. Akan tetapi, ketika mereka mengajukan diri membeli rumah dinas itu, Perum Pegadaian menolaknya. Direktur Utama Perum Pegadaian malah menerbitkan surat yang memerintahkan mereka mengosongkan rumah dinas yang mereka tempati. Mereka kemudian menggugat secara perdata Perum Pegadaian ke Pengadilan Tata Usaha Negara dan perkaranya kini sudah sampai ke tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Namun, meski MA belum memutus perkara kasasinya, Perum Pegadaian melaporkan kedua manula itu ke kepolisian hingga perkaranya berlanjut ke pengadilan. Perum Pegadaian semestinya menahan diri untuk tidak membawa perkara kedua nenek itu ke ranah hukum pidana sampai perkara perdatanya berkekuatan hukum tetap. Dua perkara hukum sejenis yang berjalan bersamaan seperti itu bisa membawa preseden buruk bagi praktik hukum di negeri ini. Jika MA memenangkan kasasi Nenek Soetarti dan Nenek Roesmini, sementara pengadilan pidana memvonis mereka bersalah, terjadilah keputusan hukum yang saling bertentangan untuk perkara yang sama. Demikian kuat rupanya syahwat Perum Pegadaian dan aparat penegak hukum untuk menghabisi kedua nenek itu sehingga membawa mereka ke ranah pidana dengan mengalahkan rasa kemanusiaan dan keadilan. Kita menantikan hakim mengetuk palu keadilan berdasarkan peri kemanusiaan, bukan keadilan berdasarkan alasan legal-formal belaka.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Flash Back Kasus Bibit - Chandra (Kebangkrutan Hukum)

4 April 2010   13:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:00 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

PILIHAN bangsa ini untuk menjadi negara hukum bukan lahir dari sebuah angan-angan kosong. Negara hukum dipilih karena pengalaman getir sebagai negeri yang dijajah dan lebih dari tiga abad berada dalam lorong gelap ketidakadilan.

Bagi segenap anak bangsa ini, negara hukum lahir karena kerinduan yang amat sangat terhadap terwujudnya keadilan. Itu berarti hukum bukan sekadar alat untuk menciptakan ketertiban, melainkan yang lebih utama adalah untuk menegakkan keadilan.

Sayangnya, jalan menuju tegaknya keadilan melalui hukum di negeri ini kian jauh panggang dari api. Hukum bukan semata dipahami secara prosedural legalistik, melainkan sudah diperdagangkan secara murah-murahan, baik dalam pasar gelap maupun pasar terang. Pembelinya bukan hanya para makelar, melainkan juga mafioso.

Fakta munculnya rekaman antara Anggodo Widjojo dan para penegak hukum yang amat terang-benderang menyusun skenario mengkriminalkan Bibit-Chandra, dua pemimpin nonaktif KPK, adalah bukti hukum yang ditransaksikan itu.

Bukti itu kian kuat ketika mantan Kapolres Jakarta Selatan Wiliardi Wizard mengakui telah diperintah oleh pimpinannya untuk menandatangani berita acara pemeriksaan yang berisi skenario menjerat Antasari Azhar, mantan Ketua KPK.

Penelusuran Tim 8 terhadap dua kasus tersebut kian mengukuhkan pendapat publik bahwa hukum sedang menuju kebangkrutan di negeri ini. Sebuah kebangkrutan yang disebabkan oleh permainan lincah para cukong dan tunduk dan takluknya penegak hukum oleh uang.
Hukum di negeri ini memang hanya indah di dalam kitab undang-undang, tapi busuk dalam kenyataan. Puncak kebusukan hukum itu terjadi sekarang ini dengan diperdengarkannya rekaman telepon Anggodo di MK dan pengakuan Wiliardi Wizard di pengadilan.

Akibatnya, citra negeri ini memburuk di mata internasional. Sebuah kampanye yang jelek, amat jelek, yang bisa menghancurkan minat investor untuk menanamkan modalnya di negeri ini. Sebab yang terjadi di negeri ini bukan hanya tak ada kepastian hukum, melainkan juga kehancuran hukum.

Di dalam negeri, berangsur-angsur kepercayaan publik terhadap Presiden pun kian tergerus karena sikapnya yang dinilai tidak tegas. Semakin berlarut-larut kebangkrutan hukum ini dibiarkan, semakin mahal pula harga yang harus kita bayar. Karena itu, berulang-ulang melalui forum ini kita menggarisbawahi agar Presiden segera bertindak membersihkan rumah penegak hukum dari sarang penyamun.

Dengan kekuatan dan legitimasi yang dimilikinya, ditambah amunisi rekomendasi Tim 8, Presiden harus melakukan penyelamatan agar kebangkrutan hukum segera teratasi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun