Sudah sekitar lima bulan lebih saya berada di Jayapura, Papua, bumi cendrawasih - tanah terberkati (sebutan oleh penduduk asli). Selama empat bulan ini, banyak pengalaman baru yang saya dapatkan. Satu hal yang menarik perhatian saya di kota ini adalah penduduknya yang dipadati berbagai macam suku daqn asal. Diantara sekian banyak suku dan asal tersebut, Bugis-Makassar merupakan salah satu yang paling mencolok. Mungkin karena saya terlahir di kalangan Bugis-Makassar sehingga "terkadang" dengan melihat perawakan, apalagi setelah mendengar cara berbicara orang Bugis-Makassar disini, saya dapat mengetahui mereka yang berasal mereka dari Sulsel. Adalah sebuah kebanggaan karena Bugis-Makassar dapat mencari nafkah diperantauan meskipun pekerjaan itu menurut sebagian dari kita tidak begitu membanggakan seperti menjadi supir taxi (sebutan angkot/pete-pete disini). Bugis-Makassar disini sudah berbaur dengan penduduk asli (tetap berbaju, bukan suku pedalaman seperti di TV. hehe.) misalnya diantara mereka sangat banyak yang fasih menggunakan logat Papua. Yah, mungkin pula ini salah satu kelebihan Bugis-Makassar dalam beradaptasi. Yang membuat saya heran ketika suatu waktu saya bersama teman-teman (sama-sama dari Makassar) pergi ke pasar. Saat memasuki pasar, ternyata saya lebih sering mendengar orang-orang berbahasa Bugis atau Makassar baik itu pembeli, terlebih penjualnya (serasa di Pasar Terong. Hehe.). Memang, di tempat ini sebagian besar Bugis-Makassar di Papua berprofesi sebagai pedagang, mulai dari pedagang bahan campuran sampai ke penjual makanan (coto, sop sodara dan ikan bakar tidak sulit ditemui disini).
Komunitas Bugis, Makassar dan Toraja disini pun sangat mudah ditemui. Silahkan tanya kepada penduduk Jayapura untuk mengetahui perkampungan Bugis, Makassar atau Toraja di Jayapura ada di mana, akan ditunjuk beberapa tempat berbeda. Hal ini tentu saja melambangkan bagaimana kehidupan rantau Bugis-Makassar tetap mengedepankan kebersamaan. Mereka berusaha tetap akrab sesama pendatang, sesama perantau, sesama suku yang dalam istilahnya "sikampong/sipakrasangang".
Pernah saya dikenalkan dengan seorang yang logatnya Papua tetapi ketika saya tanya asalnya, beliau menjawab "dari Makassar", kemudian saya bertanya lahir dimana, beliau menjawab "di Jayapura", saya tanya lagi apa memang besar di Makassar, beliau menjawab "ke Makassar baru beberapa kali, saya besar di jayapura, orang tua yang dari Makssar dan sudah menetap disini". Saya tidak menganggap beliau bodoh (mengingat seharusnya dia orang Jayapura karena lahir dan besar di Jayapura) atas jawabannya tetapi justru membuat saya kagum bahwa ternyata anak yang orang tuanya berlatar belakang Bugis-Makassar tetap bangga menyebut dirinya orang Bugis-Makassar, meskipun lahir dan besar di Jayapura. Selain itu, beliau juga mengerti meskipun cara berbicara dan logat saya Makassar yang kemudian say bertanya kenapa bisa mengerti, jawabannya "orang tua di rumah berbicara dengan logat Bugis-Makassar, sesekali juga berbahasa Bugis atau Makassar". Wow, ini sesuatu yang dapat dikatakan upaya melestarikan kebudayaan lokal Bugis-Makassar.
Mungkin dari pengalaman yang saya peroleh dapat menambah pengetahuan teman-teman tentang bagaimana kehidupan Bugis-Makassar di perantauan. Dan jika saja suatu saat diantara teman-teman ada yang harus menetap diluar Sulsel maka alangkah baiknya ketika kita mampu menjaga budaya lokal ke-Bugis-Makassar-an kita. karena seperti kata salah satu teman kantor saya yang sudah ditugaskan di berbagai tempat di Indonesia, "Selama saya berpindah dari satu tempat ke tempat lain dimana saya ditugaskan, cuma ada tiga suku yang terus saja saya temui dan tidak sulit di temui, yaitu Bugis, Makassar dan Jawa".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H