Mohon tunggu...
Latifatul Akhfa
Latifatul Akhfa Mohon Tunggu... -

Mahasiswi UIN Maliki Malang

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Merari' dalam Perdebatan Batin

12 September 2013   23:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:58 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Merari' atau selarian bisa saya definisikan secara 'simpel' aja sebagai sebuah prosesi adat yang ada di Pulau Lombok, khususnya suku sasak disana. Adat istiadat suku sasak dapat anda saksikan pada saat resepsi perkawinan, dimana gadis perawan sasak atau 'dedare' apabila mereka akan dinikahkan oleh seorang pemuda atau 'terune' maka si gadis harus dilarikan dulu kerumah keluarga dari pihak laki laki, ini yang dikenal dengan sebutan merari' atau selarian. Sehari setelah dilarikan maka akan diutus salah seorang untuk memberitahukan kepada pihak keluarga perempuan bahwa anaknya akan dinikahkan oleh seseorang, ini yang disebut dengan mesejati atau semacam pemberitahuan kepada keluarga perempuan. Setalah selesai makan akan diadakan yang disebut dengan nyelabar atau kesepakatan mengenai biaya resepsi.

Berbicara tentang merari', menggelitik fikiran saya untuk menimbang proses kognitif yang saya dapatkan di perkuliahan Psikologi Kognitif. Dimana saya memperoleh informasi tentang adat yang saya miliki kemudian saya proses serta olah dalam fikiran saya, saya simpan menyelesaikan masalah, berfikir dan menyusun bahasa, dan akhirnya bagaimana proses-proses ini saya aplikasikan langsung pada kegidupan nyata saya saat ini.
Suatu kasus yang saya temui dalam kehidupan nyata, beberapa percampuran adat terjadi dalam prosesi pernikahan di Lombok. Tidak semua dari kisah itu berakhir manis. Penyebabnya karena ditemukannya beberapa perbedaan prinsip yang dianggap tidak bisa diubah dan diganggu gugat atau dicampuri yang lainnya. Kasus yang lain malah sudah berumah tangga dan memiliki anak tiga, namun si istri yang berasal dari adat berbeda malah kabur ninggalin suaminya si terune sasak tulen.

Beberapa prinsip adat yang saya bawa dari daerah asal saya di Pulau Lombok membuat saya berfikir ulang untuk berdiri kukuh dan tidak mau tau tentang adat dan suku yang begitu banyak saya temui di daerah perantauan saya ini. Membanding bandingkan ingatan saya tentang adat saya dan apa yang saya temui ternyata begitu asyik dan cukup seru saya perdebatkan dalam fikiran.

Suatu saat nanti ketika percampuran adat terjadi dalam pernikahan saya, yang kebetulan suami saya kelak bukan orang sasak tulen, apakah adat ini akan terus dipakai anak cucu kami nantinya ????

Pada akhirnya, kesepakatan bersama adalah sama-sama memegang kukuh prinsip adat yang ketika ada perbedaan nantinya bisa diselaraskan dengan baik dan damai. Yang kemudian sisi positif yang di dapat adalah kita bisa saling menerima dan mengambil pelajaran baru yang dijadikan sebagai pedoman pelengkap untuk terus menjalani hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun