Mohon tunggu...
Achdiar Redy Setiawan
Achdiar Redy Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Pembelajar pada Jurusan Akuntansi, FEB Universitas Trunojoyo Madura

Long-life learner. Interested in cultural studies, art, pyschology and spirituality-religiosity. Book, music and basketball lover

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Inflasi Gelar & Perburuan "Penghormatan" Akademik Berlebihan di Indonesia

19 Juli 2024   09:50 Diperbarui: 19 Juli 2024   09:53 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Tangkap Layar pesan Whatsapp

Pada konteks panggilan egalitarian sesama pencari ilmu di atas, ada satu lagi alasan yang penting dikemukan: "MENOLAK TUA". :). Secara fisikal tak bisa disangsikan, penuaan pasti berlaku. Namun penolakan menjadi tua ini lebih ke arah psikologis dan sosiologis. Tua identik dengan lambat, jumud, kaku dan anti perubahan. Saya takut kalau berjarak secara usia (yang salah satunya terekspresikan dalam panggilan "Pak"), mereka segan dan takut untuk "mendebat" saya. Dalam jangka panjang, ini "berbahaya". Bisa menggelincirkan saya menjadi tuhan (t kecil). Naudzubilllah min dzalik.

Dalam konteks relasi sosial pun, saya berusaha keras untuk mendesakralisasi gelar-gelar akademik itu. Jika dalam suatu kesempatan diminta menjadi pemantik diskusi, narasumber seminar atau pengisi pelatihan tertentu, saya senantiasa meminta panitia untuk tidak mencantumkan gelar akademik saya di poster, flyer, spanduk, backdrop dan semacamnya itu. Cukup ditulis nama saya saja: Achdiar Redy Setiawan. Itu yang lebih membahagiakan saya saja. Celakanya, tidak semua panitia sependapat dengan saya (boleh jadi karena "nilai tawar" saya masih rendah untuk "memaksakan" ini. Heuheuheue).. Mereka tetap membuat media informasi kegiatan tersebut dengan mencantumkan gelar-gelar akademik tersebut. Tentu saja itu terjadi tanpa sepengetahuan saya. Alhasil, saya tidak bisa ikut mempromosikan kegiatan tersebut (jika memang mereka meminta saya ikut menyebarluaskan). Atau kalau pun saya tidak enak hati, saya edit dulu dengan membuang gelar tersebut, baru saya posting di media sosial yang saya miliki. Sungguh. Itu sangat merepotkan bukan, Ferguso! :).

Pandangan kebenaran yang saya yakini sedari mula sebagaimana ter-curhat-kan di atas tentu adalah subjektif. Dengan segala hormat, saya tidak berpretensi menghakimi sesiapapun bahwa yang dilakukannya adalah "salah". Pun saya juga tidak dapat (dan tidak boleh) memaksa mereka sependapat dengan saya. Selalu ada konteks kesadaran fenomenologis yang melatari seseorang berpikir, berucap, bertindak dan bersikap tertentu. Namun tulisan ini, sekali lagi, adalah keresahan terhadap sesuatu yang "berlebihan" yang hari-hari ini gencar dilakukan. Perlu ada ruang kesadaran bersama yang dikampanyekan luas bahwa sesuatu yang berlebihan itu tidak baik, tidak menyehatkan dan tidak menenteramkan. Allah SWT menegaskan itu dalam QS Al An'am 141: "Dialah yang menumbuhkan tanaman-tanaman yang merambat dan yang tidak merambat, pohon kurma, tanaman yang beraneka ragam rasanya, serta zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak serupa (rasanya). Makanlah buahnya apabila ia berbuah dan berikanlah haknya (zakatnya) pada waktu memetik hasilnya. Akan tetapi, janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan".

Pada titik yang sama, ajakan kesadaran bersama (dan semoga jadi kesadaran praksis komunal) ini sesungguhnya ialah jalan untuk mencari kesejatian. Bahwa penghormatan itu adalah resultante dari perjalanan panjang dan legasi yang diwariskan dalam periode yang tidak sebentar. Bahwa penghormatan itu adalah buah dari laku istiqomah yang dijejakkan dan manfaatnya dirasakan benar oleh manusia-manusia yang diciprati tetesan ilmu. Bahwa penghormatan itu, sungguh, tidak melekat pada gelar-gelar akademik, pun pada pencapaian profesor yang dalam dunia akademik adalah jabatan fungsional pendidik tertinggi.

Pengalaman hidup saya memberi pelajaran penting lain: penghormatan itu diberi, bukan diminta. Respek, hormat, takdzim dan pengagungan atas keilmuan seseorang tidak perlu diminta-minta. Hal itu secara natural dan naluriah akan diberikan oleh semua orang karena adanya kemanfaatan yang dirasakan atas tetesan ilmu dan pengalaman yang kita distribusikan secara istiqomah. Maka berlomba-lomba sajalah untuk menjadi manusia yang bermanfaat sebagaimana hadist nabi favorit saya, "khoirunnas anfauhum linnas", sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat pada manusia lain dan lingkungan sekitar kita.

Akhirnya, segala pandangan dan sikap personal ini adalah ajakan bersama untuk tetap rendah hati. Bahwa ilmu yang dimiliki manusia itu hanyalah tetesan air di tengah samudera ilmuNya. Tak ada ruang untuk kesombongan. Pun bagi yang telah mencapai fungsional tertinggi guru besar, tidak ada ruang di hadapanNya dan di hadapan manusia lain untuk besar kepala. Kerendahhatian adalah kunci kebahagiaan sejati. Jadi tanpa panggilan "Prof" pun, saat manusia lain tersenyum dan respek pada keberadaan kita, itu sudah sangat membahagiakan. Coba saja rasakan dan nikmati. Lalu ceritakanlah pada saya jika suatu saat kita ketemu dalam perjamuan kopi yang hangat.

Salam kopi pagi (tanpa gula).

ACHDIAR REDY SETIAWAN

Pembelajar di Jurusan Akuntansi FEB Universitas Trunojoyo Madura yang sehari-hari dapat ditemui di IG @achdiar_redy

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun