Mohon tunggu...
Achdiar Redy Setiawan
Achdiar Redy Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Pembelajar pada Jurusan Akuntansi, FEB Universitas Trunojoyo Madura

Long-life learner. Interested in cultural studies, art, pyschology and spirituality-religiosity. Book, music and basketball lover

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Inflasi Gelar & Perburuan "Penghormatan" Akademik Berlebihan di Indonesia

19 Juli 2024   09:50 Diperbarui: 19 Juli 2024   09:53 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Tangkap Layar pesan Whatsapp

INFLASI GELAR & PERBURUAN "PENGHORMATAN" AKADEMIK BERLEBIHAN DI INDONESIA

Hari-hari ini di pelbagai WAG ramai disebar tentang sikap Rektor UII yang meminta namanya ditulis tanpa gelar akademis di surat-menyurat dalam kampusnya. Di laman media sosialnya, Beliau juga menuliskan perkara serupa. Saya termasuk orang yang berbahagia menyaksikan pernyataan sikap semacam itu. Perasaan saya terusik sejak lama sekali (10-20 tahun terakhir) dan semakin muak melihat fenomena yang menggejala umum di dunia akademik Indonesia. Fenomena apakah gerangan?

Pertama INFLASI GELAR. Di pelbagai media, saya menyaksikan bahwa tetiba muncul fenomena deretan gelar-gelar akademis ditulis panjang sekali di luar konteks yang semestinya. Dalam pandangan saya sejak awal, gelar-gelar akademis itu hanya digunakan saat peristiwa akademis, seperti di manuskrip skripsi, tesis, disertasi dan semacamnya itu. Penulisannya pun cukup gelar terakhir. Misalkan si Fulan sudah berpendidikan S3, cukup ditulis: Dr. Fulan. Gelar S1, S2 tidak lagi diperlukan. Apatah lagi gelar-gelar berupa sertifikasi profesi dan lain-lain sebagainya juga menjadi inflasi. Bahkan gelar karena status sosial (seperti KH., Tuan Guru dsb) semestinya tidak termasuk dalam urusan akademik sehingga juga tidak perlu dituliskan. Sungguh, saya berempati kepada teman-teman tenaga kependidikan, mahasiswa/i dan semua pihak yang kerepotan menuliskan gelar yang berderet-deret di urusan-urusan akademik di kampus.

Kedua, "PERBURUAN" PENGHORMATAN BERLEBIHAN. Beberapa tahun terakhir, ramai pihak-pihak mencari penghormatan berlebihan melalui gelar-gelar akademik yang juga tidak semestinya terjadi. Untuk penganugerahan "Doktor Honoris Causa", saya masih dapat menerimanya. Tentu dengan kriteria-kriteria yang ketat dan dapat diterima akal.sehat (bukan seperti fenomena akhir-akhir ini yang terkesan sekali "obral besar-besaran"). Yang mengusik keras adalah tentang Profesor (Kehormatan maupun yang tanpa embel-embel "kehormatan") yang diburu manusia-manusia yang tidak berkhidmat lama di bidang ilmu yang digelutinya. Celakanya, kampus (dan juga negara) melegitimasi itu dengan segala ketentuan yang dibuatnya. Saya berempati kepada teman-teman dosen yang benar-benar menekuni bidang ilmunya dan "harus berdarah-darah" untuk mencapai jabatan fungsional akademik tertinggi: Guru Besar yang disebut Profesor itu. Mungkin dalam benak para pemburu penghormatan akademis itu, boleh jadi, sebutan "Prof" itu dapat membuatnya gagah dan lebih dihormati secara sosial. Entahlah.

Secara kultural, mungkin hanya ada di Indonesia dua fenomena itu begitu menggejala luas. Sependek pengetahuan saya, Profesor Kehormatan tidak pernah saya dengar diberikan kampus di luar negeri. Saya mencoba mencari asbabun nuzul kenapa fenomena berlebihan semakin marak di negeri +62.

Alasan utama perburuan jabatan akademik guru besar ini berporos pada aspek "legitimasi". Kepakaran akademik yang melekat pada seorang profesor membuatnya namanya terlegitimasi untuk berbicara dan berpendapat dalam bidang ilmunya. Lebih jauh, keberadaan seorang profesor ini diyakini (sebagian besar) masyarakat awam sebagai figur yang maha benar. Laksana tuhan (t kecil) mungkin. Segala ucap, komentar dan sabdanya dianggap benar dan berkualitas. Boleh jadi, tidak banyak yang tahu, jika guru besar itu hanya "pakar", "ahli", dianggap menguasai di (sub) bidang ilmu yang digelutinya. Jika seorang profesor bidang ilmu akuntansi budaya misalkan, belum tentu ia tahu tentang akuntansi pemerintahan atau akuntansi bisnis. Itu masih di satu bidang ilmu yang sama: akuntansi. Jadi jangan coba-coba mempercayai sabdanya di ilmu manajemen pemasaran misalkan (walau ada di dalam satu wadah fakultas yang sama). Apa lagi kalau sudah lintas fakultas. Apa yang hendak saya katakan adalah, jabatan fungsional guru besar hanyalah sebuah strata akademik "biasa saja". Itu tidak memberi legitimasi yang maha benar segalanya, pun di bidang ilmu yang digelutinya.

Segala hal ikhwal gelar dan bentuk penghormatan yang berlebihan (saya menggarisbawahi kata 'berlebihan' ini berulang-ulang) ini perlu dilawan secara kultural. Saya pun telah melakukannya sejak lama. Bahkan sejak awal saya ditakdirkan Tuhan jadi pendidik di sebuah PTN di Madura. Saya memohon izin dengan segala hormat kepada para kolega saya para dosen di kampus untuk memanggil "Mbak", "Mas", "Kang", "Cak" kepada mereka semua. Ini tidak semata panggilan egalitarian sebagai kolega. Lebih dari itu, saya menafsirkan beliau-beliau itu adalah kakak-kakak seduluran saya (ini jauh lebih substansial: mereka adalah keluarga saya, bukan kolega). Pun kepada beliau yang sudah "profesor" pun saya memohon maaf dan meminta izin menyapanya tetap dengan panggilan "Mas", "Mbak", "Kang", "Kanda", "Yunda" saja dalam interaksi keseharian. Dalam kesadaran saya, panggilan sebagai saudara itu jauh lebih dekat secara hati secara substansial.

Sebaliknya, saya pun meminta beliau-beliau untuk memanggil saya dengan nama saja, "Redy", "dik". Atau kalau wagu, cukup dengan "Mas", "cak" dan sapaan persaudaraan senada itu. Dalam kesadaran ontologis saya, panggilan itu lebih membahagiakan. Saya lebih merasa "diwongke" (diorangkan secara kultural sosiologis). Saya menjadi terlepas dari beban berat sebagai seorang dosen yang (katanya) kepakaran, keahlian dan semacamnya diakui secara sosial.

Pun kepada mahasiswa saya, saya berulang-ulang meminta (bahkan sudah pada tahap "memohon") mereka cukup memanggil saya "Mas Redy". Saya agak "setengah mengharamkan" para pelajar (juga kolega dosen yang secara usia di bawah saya) memanggil saya "Bapak", "Pak". Bahkan jika Tuhan kelak menakdirkan saya tiba di jabatan fungsional tertinggi, saya pun akan tetap meminta mereka memanggil saya "Mas Redy", bukan "Prof Redy" dan semacamnya, baik di kampus maupun luar kampus. Tangkapan layar berikut menjadi bukti kecil ikhtiar saya untuk membuat jiwa saya lebih tenang dan berbahagia. 

Di ruang-ruang kelas pun saya selalu menyampaikan, bahwa dosen itu bukan pemilik kebenaran tunggal terkait ilmu yang dipelajari. Yang terjadi hanyalah bahwa saya mungkin hanya lebih dulu belajar. Hal ini berangkat dari kesadaran bahwa sumber belajar kiwari sangat melimpah. Jadi tidak boleh ada kuasa (klaim kebenaran tunggal) keilmuan dalam proses belajar mengajar. Yang Maha Benar hanyalah Tuhan. Ingatlah ketika Allah SWT mengingatkan keras: "Katakanlah (Muhammad), “Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, maka pasti habislah lautan itu sebelum selesai (penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)." (QS Al Kahfi: 109).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun