Mohon tunggu...
Achdiar Redy Setiawan
Achdiar Redy Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Pembelajar pada Jurusan Akuntansi, FEB Universitas Trunojoyo Madura

Long-life learner. Interested in cultural studies, art, pyschology and spirituality-religiosity. Book, music and basketball lover

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Koneksitas Realitas Sosial dan Nilai Batin-Spiritual

15 November 2023   16:12 Diperbarui: 15 November 2023   16:23 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Saat mencermati kondisi kekinian dalam fenomena sosial yang berkembang, terbersit kegelisahan yang mendalam. Bumi dan segala perilaku para penghuninya (terutama manusia) cenderung mengarah kepada kondisi yang menyesakkan dan mengkhawatirkan. Perilaku destruktif terhadap lingkungan, egoisme pribadi dan kelompok, koruptif dan manipulatif menjadi hidangan sehari-hari berita yang muncul di media massa. Lama-kelamaan segala tindakan yang sebenarnya bertentangan dengan nilai kemanusiaan tersebut dianggap sebagai hal yang wajar dan biasa. Inilah awal rangkaian munculnya beragam musibah, huru hara dan disharmoni di masyarakat.

Manusia adalah makhluk yang tercipta dalam bentuk sebaik-baiknya penciptaan. Manusia dikirim Tuhan sebagai wakil (khalifatullah fi al-ardh) yang seharusnya memaknai proses penciptaannya ke muka bumi untuk mentransfer nilai-nilai kebaikan bagi lingkungannya. Dengan seperangkat hardware (fisik/jasad) dan software (akal dan hati nurani) dalam paduannya yang sempurna, manusia mampu memimpin pengelolaan bumi dan isinya sesuai keinginan Tuhan. Namun apa lacur, kondisi idealitas ini seakan tak nampak sama sekali di tengah dominasi perilaku yang menjauhi nilai-nilai Ketuhanan. Manusia seakan tercerabut dari nilai asasinya untuk memaknai titah Tuhan sebagai Rahmat bagi sekalian alam (rahmatan lil alamin).

Jika kita mencoba melihatnya dari sudut pandang yang paling jernih, hati nurani, sesungguhnya manusia akan mampu memaknai proses kehidupannya secara lebih baik. Hati adalah wilayah Tuhan yang akan selalu mengarah kepada kebaikan (hanif). Segala jenis tindakan manusia ketika diukur dari kejernihan hati nurani, pasti akan terdengar sinyal dari Tuhan tentang baik-buruknya sesuatu itu. Dengan demikian, produk kerja akal (yang menjadi kelebihan penciptaan manusia) yang berupa rasio, pada proses selanjutnya memerlukan penilaian hati nurani sebagai penjaga gawang dari kebobolan nilai yang betentangan dengan nilai-nilai Ketuhanan dan kemanusiaan.

Sayangnya, posisi hati nurani ini termarjinalkan pada karakter sebagian besar manusia modern. Rasionalitas sebagai produk akal (kerja otak) menempati tahta tertinggi sebagai pengukur kesuksesan dengan materialisme sebagai proksi utamanya. Manusia modern cenderung memandang segala sesuatu secara serampangan hanya dari satu sisi saja, yaitu aspek materi.

Ini diperpuruk pula dengan perkembangan ilmu pengetahuan (sains) -sebagai alat yang dipakai melangsungkan kehidupan- yang sebagian besar mencoba mensekularisasikan sains. Tuhan adalah wujud yang tidak perlu ada pembahasannya dalm setiap temuan sains. Tuhan hanya perlu ada di wilayah ilmu agama yang bersifat sakral, bukan pada ilmu pengetahuan duniawi yang bersifat profan.

Dan parahnya, dikotomi ini (ilmu dunia dan ilmu agama/akhirat) menjadi 'kebenaran' yang berterima umum. Tak pelak, dalam tataran aksiologi, tentu saja derivasinya, tindakan/perilaku manusia di dunia juga akan mengarah kepada segregasi yang rigid ini. Tuhan hanya bisa dijumpai di masjid, gereja, pura, wihara dan sinagog saja. Atau Tuhan hanya cukup hadir di ruang-ruang privat pada waktu-waktu khusus pula. Tuhan tak perlu hadir di tengah-tengah ruang publik dan ikut campur menyelesaikan masalah-masalah sosial keduniawian. Tuhan seakan-akan 'menghilang' dalam proses pengambilan keputusan di kantor, pabrik, jalan dan semua tempat di mana manusia beraktivitas. Akibatnya bisa dirasakan, nilai-nilai sosial yang dianut tak sedikitpun tersentuh nilai-nilai ketuhanan.

Kiranya inilah saatnya kita, sebagai manusia-dengan iringan hati nurani- menakar kembali secara jernih dan utuh, fungsi keberadaan manusia di muka bumi. Secara formal-administratif, kehidupan sosial kemasyarakatan (seperti dalam politik bernegara), kiranya bolehlah sekularisasi diterapkan. Tetapi secara substansif, Tuhan perlu terus menerus dihadirkan dan menemani dalam rangka menjawab segala persoalan yang mengemuka. Nilai-nilai spiritual harus terus dikoneksikan dengan nilai-nilai sosial yang datang. Ini akan membantu manusia untuk tidak keluar dari rambu-rambu fitrahnya sendiri. Sifat-sifat Tuhan yang semuanya berisi nilai-nilai kebaikan dengan sendirinya akan mewarnai segala macam tindakan manusia dalam memimpin pengelolaan dunia fana ini.

 

KUINGIN BERTANYA ?

 

 Tuhan, bolehkah kubertanya padamu,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun