Dalam dunia modern ini, rasionalitas mendapat tempat terhormat dalam hubungan antar manusia di kehidupan sosial. Nilai manusia dipandang dari seberapa tinggi kemampuan rasionalitas manusia. Nilai akademik menjadi ukuran shahih atas kemampuan, kapasitas dan kapabilitas manusia modern untuk berkiprah dan diakui keberadaannya oleh lingkungan sosial. Sistem sosial semacam inilah yang justru menjadi kurikulum universal di belahan dunia manapun dewasa ini.
Film “3 Idiots” yang rilis tahun 2009 ini mengambil setting di India. Sinema berdurasi sekitar 2,5 jam ini mengkritik secara mendalam fenomena sistem pendidikan yang mekanis dan akademis itu. Film ini memberikan pencerahan luar biasa bagi cara pandang dan pola pikir manusia modern, khususnya yang berlaku pada sistem pendidikan tinggi. Dengan beberapa ungkapan bersahaja namun filosofis, dibumbui dengan adegan-adegan jenaka sepanjang waktu, film ini jauh dari kesan menggurui. Keseluruhan materi menggugah alam bawah sadar para penontonnya untuk ngeh ada sesuatu yang salah dalam fenomena yang tanpa disadari merasuki dan melingkupi kehidupan kita, termasuk di Indonesia.
Film ini mengisahkan perjuangan tiga sahabat: Rancho (di akhir ternyata bernama Phunsuk Wangdu), Raju dan Farhan, yang menjalani masa perkuliahan di ICU, sebuah universitas nomer satu di bidang Teknik. Sistem Pendidikan yang berlaku disana telah menjadi pakem di bawah arahan sang Rektor, Dr. Viru Sashtrabhuddi. Pengalaman selama 32 tahun kepemimpinannya telah “menguji” sistem pendidikannya adalah sah dan valid untuk mencetak para insinyur yang “laku” di pasaran tenaga kerja.
Kedatangan Rancho, tokoh sentral cerita ini, telah menjungkirbalikkan sistem yang telah tertata rapi sekian puluh tahun tersebut. Dia berani “melawan arus” sejak detik pertama kehadirannya di kampus. Bahkan sang Rektor, yang oleh mahasiswanya, diinisialkan sebagai VIRUS, pun tak segan “dilawan”. Inilah pelajaran pertamanya: keberanian memperjuangkan keyakinan dalam koridor kebenaran yang dianut.
Rancho selalu mempertanyakan sistem yang berlaku di ICU, baik secara prinsip aturan yang berlaku dan metodologi pengajaran yang dipakai. Sistem pendidikan yang ada memberikan penekanan pada aspek mekanis pembelajaran: dosen memberi pelajaran satu arah, lalu mahasiswa mendengarkan, diberi penugasan bertumpuk dengan buku-buku yang telah ditetapkan. Materi harus dihafalkan sedemikian rupa sehingga dapat menjawab pertanyaan saat ujian dari awal semester hingga akhir studi. Tidak ada penemuan baru, semua berjalan mekanis-robotis, text book oriented. Tujuan akhirnya adalah bagaimana mendapat nilai kuliah setinggi-tingginya, setelah itu mendapat pekerjaan dengan gaji tinggi di perusahaan-perusahaan besar asing multinasional.
Pola aturan yang ada ini tak pelak melahirkan tekanan tinggi bagi seluruh mahasiswa. Tekanan sistem ini tidak main-main dampaknya. Bahkan, si Joy, teman seangkatan 3 idiot ini sampai memutuskan bunuh diri akibat “tekanan” sistem ini. Efek lanjutannya, sistem ini tidak menantang siswa untuk sadar belajar sesuatu yang baru, tidak untuk semata ditekan mempelajari sesuatu yang sudah ada. Pada akhirnya,
sistem seperti ini menghasilkan produk tak ubahnya binatang sirkus, mereka dapat melaksanakan semua instruksi pelatihnya karena kebiasaan dan sedikit “ketakutan”. Menjadi manusia terlatih bukan terdidik, robot-robot yang bergerak secara mekanis-otomatis
.
Hal menarik lain yang diangkat oleh sinema ini adalah masalah pilihan hidup. Farhan yang terobsesi untuk menjadi fotografer profesional, “dipaksa” masuk jurusan Teknik oleh orang tuanya. Sesuatu yang dipaksakan, tak pelak menjadikan Farhan tidak enjoy menjalani studinya, sekedar menggugurkan kewajiban dan menyenangkan keinginan orang tuanya. Alhasil, setiap ujian, Farhan (dan juga Raju) selalu menempati juru kunci, dua posisi terbawah. Untunglah, Rancho mampu “menyadarkan” kondisi dilematis Farhan dan memberi keberanian padanya untuk mengikuti hati nuraninya. Inilah pelajaran penting berikutnya.
Kritik atas sistem pendidikan rigid dan mendehumanisasi kemanusiaan ini berakhir happy ending: bahwa manusia itu selayaknyalah menghargai kemanusiaan dirinya. Rasionalitas ataupun angka-angka nilai akademis bukanlah segala-galanya. Keberanian berpikir, bersikap, bertindak dan menuruti hati nurani akan membuka tabir ketidaksuksesan. Rancho menjadi guru di sebuah tempat terpencil, namun juga berhasil menjadi ilmuwan yang ratusan karya-karyanya dipatenkan di seluruh dunia. Raju mampu membalikkan prediksi sang Rektor, VIRUS, bahwa dengan keiidiotannya dia tidak akan mampu mendapat pekerjaan, ternyata sukses melewati tes interviu dengan proses luar biasa. Sedangkan Farhan mampu merealisasikan serta meyakinkan dan membuktikan pada orangtuanya, bahwa kesuksesan itu tidak harus menjadi insinyur, tetapi juga bisa dari fotografi yang menjadi “darah” dan “jiwa” yang menghidupkannya.
Kondisi faktual yang ada, telah membuka mata Dr. Viru bahwa kecerdasan akademik itu bukanlah segalanya. Kecerdasan Rancho yang tidak “wajar” diapresiasinya dengan menyerahkan cincin warisan yang disematkan pendahulunya. “Perlawanan” 3 sahabat ini memberi warna-warni pemahaman. Sebutan 3 Idiot, bagi saya, menjadi simbol sinisme luar biasa bagi pencerahan hidup. Mereka muncul sebagai “pahlawan” penyadaran, bahwa pendidikan itu seharusnya menyenangkan, tidak “menekan”, mendorong inovasi dan penemuan baru. Nilai-nilai akademis tidaklah dipandang sebagai penentu satu-satunya kesuksesan hidup. Bahkan itu mungkin hanya akan mengantar pada kesempatan mendapat panggilan tes lamaran kerja. Selanjutnya, kesuksesan akan ditentukan oleh seberapa yakin dia melakoni pilihan hidupnya, diiringi “keterampilan kehidupan” yang mampu mengadaptasi setiap perubahan yang terjadi di sekelilingnya. Inilah makna sejati “Happy independence day” sebagaimana diucapkan Rancho pada Phia, putri sang Rektor. Menjadi manusia seutuhnya yang merdeka, berhak memutuskan apa yang terbaik bagi dirinya sesuai fitrah kemanusiaan. Inilah mungkin esensi penegasan Freire (2009), bahwa pendidikan itu harus MEMBEBASKAN, MEMANUSIAKAN….