Kebangkitan sejatinya adalah tekad dan niat untuk bangun dari keterpurukan, suatu ambisi menghadapi segala tantangan yang menghadang. Momentum kebangkitan nasional yang baru saja diperingati Indonesia, mengingatkan kita bahwa kurun waktu 108 tahun bukanlah perjalanan yang singkat. Berbagai fenomena dan permasalahan ekonomi, sosial, politik hingga ketahanan negara silih berganti memberi warna di negeri yang serba hitam dan putih ini.
Peringatan kebangkitan nasional selalu diidentikkan dengan semangat dan ambisi pemuda, namun masihkah hal tersebut melekat erat pada jati diri bangsa ini? Sejarah tentunya masih mengingat generasi tahun 1908 yang hadir dengan konsep gerakan sosialnya. Suatu gebrakan yang menginspirasi munculnya gerakan selanjutnya, tentunya masih melekat pada paham kebangsaan yaitu sumpah pemuda. Sumpah pemuda adalah bentuk kristalisasi dari semangat kebangsaan para generasi tahun 1928. Lalu dilanjutkan dengan generasi 1945 dengan proklamasi kemerdekaannya berikut dasar-dasar bernegara yang tertuang dalam UUD 1945, generasi 1966 dengan Tritura, hingga generasi tahun 1998 dengan demokrasi dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM).
Aksi-aksi dari generasi pemuda yang silih berganti pada masa-masa tersebut memberikan suatu garis merah, yaitu pemuda selalu berada di garda terdepan dan mengambil peranan dominannya. Peranan pemuda begitu penting dalam kebangkitan nasional, mengingat bahwa pemuda dan idealismenya merupakan suatu paket kesatuan yang tak terpisahkan. Idealisme pemuda seperti jiwa yang membara menggelorakan semangat-semangat nasionalisme bangsa.
Ben Anderson dalam bukunya yang berjudul “Java in A Time of Revolution, Occupation and Resisten 1944-1946” menyebutkan bahwa pemudalah yang memegang peranan sentral dalam pecahnya revolusi pada tahun 1945. Revolusi tersebut tidak tercipta dari kaum inteligensia yang terasing, bukan juga dari kelas-kelas yang tertindas. Dr. Sutomo dan Mangunkusumo beserta kawan-kawannya yang mendirikan Boedi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908, mampu melahirkan tonggak kebangkitan nasional. Berawal dari sanalah tercipta generasi-generasi cetak biru yang mampu membawa perubahan berarti terhadap kemajuan bangsa Indonesia.
Kini setelah 108 tahun kebangkitan nasional beserta dinamika sosial, ekonomi, hukum dan politik yang tak berkesudahan, setelah arus globalisasi yang turut memajukan teknologi, sistem informasi dan mempermudah kehidupan masyarakat Indonesia, pertanyaannya telah sejauh manakah andil pemuda-pemudi dalam meneruskan pembangunan bangsa ini? Masihkah semangat nasionalisme terpatri dalam jiwa generasi penerus bangsa ini?
Sudah semestinya para pemuda dan pemudi yang tumbuh besar di tanah air tercinta ini membalas jasa pahlawan Indonesia. Keringat, tetes peluh dan darah yang dikucurkan demi meraih kemerdekaan Indonesia hingga menjadi negara yang sejahtera saat ini,tak patut tuk dilupakan begitu saja. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Oleh karena itu pemuda bangsa ini harus memiliki visi kokoh dan nilai-nilai luhur bangsa agar tidak terombang-ambing di tengah arus globalisasi internasional. Kebangkitan nasional tak sekadar diperingati saja melainkan menghidupkan kembali semangat kebangkitan bangsa yang setiap tahunnya terkubur kolonialisme gaya baru (neokolonialisme) berkedok liberalisme dan globalisme. Bukankah peringatan 20 Mei ini sejatinya merupakan momentum untuk menjaga kemurnian esensi dan hakikat nasionalisme Indonesia? Hai pemuda pemudi Indonesia, mari bangkit memurnikan nasionalisme bangsa!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H