Mohon tunggu...
Achdian Hardini
Achdian Hardini Mohon Tunggu... mahasiswa -

Mahasiswa Jurusan Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan, Konsentrasi Ekonomi Moneter angkatan 2012. Fakultas Ekonomi Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Karena Menulis adalah Menolak Lupa, Menulis untuk Keabadian

22 Februari 2017   08:44 Diperbarui: 23 Februari 2017   18:25 780
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: www.ridwanloekito.id

Pernahkah Anda mendapati pertanyaan seperti ini, “bagaimana caranya menjadi penulis?” atau seperti ini “bagaimana kiat-kiat menjadi penulis terkenal?” Ataukah Anda sendiri yang pernah menanyakan hal demikian? Mungkin sebagian dari kita masih menganggap bahwa kepandaian seseorang dalam menulis ditentukan oleh bakat sejak lahir, atau memiliki darah keturunan seorang penulis, sehingga ia mampu menciptakan berbagai karya tulisan yang indah, menginspirasi dan dikagumi banyak orang. Padahal kenyataannya tidak seperti demikian, keahlian seseorang dalam menulis ada karena terbiasa. Bakat sejak lahir bukanlah faktor utama seseorang bisa atau tidaknya menjadi seorang penulis, melainkan faktor “kebiasaan”.

Seorang penulis yang terkenal sekalipun, jika disodori pertanyaan-pertanyaan di atas akan menjawabnya secara relatif. Menjadi penulis itu tidak ada kiat-kiat khususnya, tidak ada pula “resep rahasia” nya. Kuncinya hanyalah terletak pada kebiasaan. Terbiasa menuliskan pemikiran dalam bentuk kata-kata, terbiasa menceritakan kembali suatu peristiwa, terbiasa mengungkapkan gagasan pribadi dalam sebuah tulisan, intinya terbiasalah menuliskan apa saja yang saat itu terlintas dalam pikiran. Tulislah apapun tanpa harus menunggu inspirasi itu datang, jangan pula diselimuti keraguan apakah tulisan itu bagus atau tidak, karena hal tersebut hanya akan menghambat proses menulis seseorang.

Sebuah Upaya Menolak Lupa

Istilah penulis lebih merujuk pada sebuah profesi seseorang yang intens melakukan pekerjaan menulis atau menciptakan suatu karya tulis baik yang bersifat ilmiah maupun non ilmiah. Ada pula yang beranggapan bahwa penulis adalah sebutan bagi seseorang yang karya tulisannya telah diterbitkan dalam media massa, baik media cetak ataupun media online. Pada hakikatnya penulis bukanlah sebutan bagi suatu profesi, melainkan sebutan kepada siapapun yang dapat melakukan kegiatan menulis. Jika demikian maka siapapun dapat dikatakan sebagai seorang penulis, terlepas dari kualitas maupun konten yang terkandung di dalamnya.

Menulis sejatinya adalah usaha merawat ingatan, merekam peristiwa tertentu untuk dibekukan ke dalam sebuah tulisan. Sebuah upaya menolak lupa, senjata bagi mereka yang berusaha menumpulkan ingatan. Musuh dari ingatan adalah waktu. Ibaratnya ingatan itu seperti batu karang dan waktu adalah air laut yang mengikis setiap saat. Perlahan tapi pasti, batu karang akan terkikis hingga habis. Sebagai upaya mencegah terkikisnya ingatan tersebut, maka menulis adalah senjata yang pasti. Sebagaimana sejarah diciptakan agar kita sebagai manusia-manusia pelupa dapat mengambil suatu pelajaran dari peristiwa yang pernah terjadi sebelumnya.

Menulis untuk Keabadian

Salah satu sastrawan legendaris Indonesia, Pramoedya Ananta Toer mengatakan “orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”. Pemahamannya yaitu setinggi apapun ilmu yang dimiliki seseorang, maka hal itu tidak berarti apa-apa jika tidak diabadikan dalam suatu tulisan. Misalnya, saat ini banyak fenomena dosen maupun akademisi yang perlahan mulai melupa akan pentingnya mengembangkan kemampuan menulis. Padahal melalui menulis mereka dapat menciptakan berbagai jurnal dan karya tulis ilmiah yang mampu menyederhanakan alur berpikir seseorang, sehingga proses transfer ilmu pengetahuan dapat dengan mudah dilakukan. Selain itu, melalui rutinnya publikasi akan kajian keilmuannya di media massa, karya tulis ilmiah mereka tidak hanya sebagai arsip melainkan menjadi pijakan oleh pengajar, peneliti bahkan generasi selanjutnya untuk meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang ada.

Seno Gumira Ajidarma, dalam bukunya yang berjudul “Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara” mengatakan bahwa belajar menulis adalah belajar menangkap momen kehidupan dengan penghayatan paling total yang paling mungkin dilakukan manusia. Sangat banyak momen-momen dalam kehidupan manusia yang tak dapat diabadikan sekadar melalui foto saja. Ada beragam cerita di dalamnya, rekaan berbagai peristiwa dan sekumpulan emosi yang membuncah, pahit manisnya pengalaman dalam perjalanan kehidupan, semua itu dapat terbingkai hanya melalui tulisan. Ketika usia tidak lagi bertahan, dan nama perlahan kian memudar dalam ingatan, sebuah tulisan tidak akan pernah luput dalam sejarah. Mungkin itulah sebabnya Pramoedya Ananta Toer mengatakan bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian, agar mampu dikenang sepanjang masa, perlawanan terhadap mereka yang sengaja melupa.

*ingin berdiskusi lebih lanjut seputar artikel "Karena Menulis adalah Menolak Lupa, Menulis untuk Keabadian" kunjungi http://www.ridwanloekito.id/post/karena-menulis-adalah-menolak-lupa-menulis-untuk-keabadian

Sumber:

www.ridwanloekito.id , sebuah blog inspiratif yang mengajak para netizen untuk berpikir lebih kritis, saling berdiskusi dan bertukar pikiran mengenai topik-topik yang sedang hangat diperbincangkan di sekitar kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun