Mohon tunggu...
Ilham Achdar
Ilham Achdar Mohon Tunggu... -

Masih mencari ke'diri'annya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Setiap Tanya Ada Jawabnya

20 November 2011   08:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:26 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam kembali mencoba menggelitik kehidupanku dalam proses panjang pencarian diri, cinta atau sesuatu yang berarti dalam hidup. Malam semakin menambah daftar pertanyaan yang telah menumpuk sekian lama. Dini hari, aku terperanjak di atas kursi kayu yang cukup nyaman untuk sekedar melepas rasa perih pergelangan kaki hingga otot paha selepas berkutat dengan segala aktifitas. Sangat melelahkan. Kucoba menyalakan laptop lalu menyetel winamp dan memasukkan sederet lagu favorit pelengkap nikmatnya bercanda dengan malam, berharap suasana malam lebih berfariasi. Dengan headset, kunikmati lagu pertama Drive, “melepasmu”. Lagu ini jadi favoritku sejak dulu.



Sejenak aku beranjak dari kursi, belum lengkap rasanya tanpa ditemani secangkir kopi dan sebatang rokok. Lalu kuseduh sebungkus kopi yang masih tersisa kemarin malam dan mencari satu dua batang rokok di kantong celana yang tergantung di balik pintu kamar. Dapat. Lengkap sudah menu pengantar menikmati jujung malam. Teguk demi teguk dan isapan demi isapan silih berganti sampai menemui batas hening malam, namun suasana keheningan kota yang kutunggu-tunggu tak kunjung tiba hingga pagi menyapa.

Pukul 7 pagi, mata seakan meneriakkan serangkaian kata demi memperoleh haknya untuk sejenak diistirahatkan. Kucoba memejamkan mata, menanti mimpi-mimpi indah menghiasi tidurku. Serangkaian cerita pun hadir dalam rebahan tubuh yang tergulai dalam kasur empuk, sesekali membalikkan badan dengan harapan cerita itu berganti dengan kisah yang lebih menarik, paling tidak menjadi penawar dari asa yang tak kudapati pada malam.

Sosok wanita yang telah sekian lama menjadi idaman menyapa dengan senyum. Bibir indahnya memaksaku larut dalam tidur panjang. Tapi dengan perasaan kaget, aku harus terbangun lebih cepat dari biasanya.

Kebiasaanku sejak lama ketika bangun dari tidur langsung menatap handphone. Yah, handphone yang kuletakkan di atas meja tepat disamping laptop. Ini rupanya kekagetanku, 13 panggilan tak terjawab dari seorang sahabat yang kemarin minta tolong untuk ditemani keperpustakaan hari ini. Katanya akan mencari tambahan referensi dalam skripsinya. Lebih kaget lagi ketika melihat jam handphone menunjukkan pukul 12.30, sementara janji keperpustakaan pukul 10.00.

“Maaf kawan, cerita hari ini meleset dari rencana dan harus bekata lain”. Kalimat tersebut sontak terlontar dari hati sebagai wujud penyesalan atas lalainya dari janji.

Tanpa harus larut dari rasa bersalah, segera kuberanjak dari tempat tidur kemudian bergegas membasuh muka, mengingat sederet rencana yang harus kulalui hari ini dalam daftar kegiatanku. Dihantui perasaan terburu-buru, langsung saja kuraih handuk di depan pintu kamar mandi lalu masuk dan menyirami setiap anggota tubuh sembari melantunkan lagu kesukaan, masih dengan artis dan judul yang sama “Drive-melepasmu” dengan maksud menghilangkan rasa dingin yang masih menyelimuti tubuh. Tak ingin berlama-lama di dalam kamar mandi, segera kususuri seluruh badan dengan handuk hijau hadiah dari sahabat yang baru saja ‘kukhianati’ . Selepas itu, langsung saja kuutak-atik setumpuk pakaian dalam lemari kecil, memilah-milah mana yang baik digunakan untuk penampilan menarik hari ini. Kupilih kostum andalan, kemeja berwarna putih bergaris hitam dan celana jeans berwarna abu-abu dilengkapi sepatu funtofle putih. Betapa sempurnanya penampilanku hari ini. ‘Elegan’. Kusemprot parfum keseluruh badan dengan aroma kental, ‘macho’.

Siang itu pukul 2.00 aku harus ketemu seorang gadis muda berparas ayu, berambut panjang dengan sedikit belahan di dagu. Ahh, ia semakin membuatku harus terburu-buru. Janjinya di sebuah warung kopi favoritnya. Indah, begitu aku biasa memanggilnya, seorang gadis anak konglomerat di daerah ini yang katanya haus akan buaian kasih sayang, karena orang tuanya tak lagi memberikan perhatian penuh kepada anaknya.

Luar biasa kaget ketika bertemu Indah dengan balutan kaos oblong biru plus sedikit sobekan di bagian depan bajunya, layaknya penampilan remaja masa kini. Ternyata foto yang aku pandangi selama ini yang di kirim via handphone bukanlah kecantikan yang sesungguhnya. Penampilannya secara nyata jauh lebih cantik. Aku tak mampu lagi berkata apa-apa. dalam hati tak henti aku memuji tuhan melihat betapa sempurna ciptaanNya. Beribu tanya dalam hati silih berganti ingin kuungkap. “kok ada orang tua yang begitu tega menyia-nyiakan putri secantik ini?”.

Tanpa sadar sedari tadi dia hanya berdiri di hadapanku karena aku terperanjak dengan paras wajah cantiknya. kupersilahkan ia duduk tepat di sampingku. Dengan nada basa-basi langsung saja kulempar pertanyaan klise untuk lebih mengakrabkan suasana,

“Apa kabar…?”. Pertanyaanku tidak langsung dijawab, ia melempar senyum rekah yang semakin membuatku gemetaran. Lalu dengan suara lembutnya, “baik-baik aja kak”. Ia kerap memanggilku kakak karena usianya terpaut 8 tahun lebih muda dariku. Gadis muda semester awal di salah satu perguruan tinggi di kota ini yang kukenal lewat telepon kesasarnya. Saat itu komunikasi via telepon tetap berlanjut dan mengantarkan kami bertemu hari ini setelah kurang lebih 2 bulan lamanya sering ngobrol bahkan tidak jarang dia menceritakan perihal keluarganya yang mengabaikannya.

Tanpa ragu-ragu dia menyatakan maksudnya untuk bertemu denganku, maklum dia telah begitu akrab denganku walau dengan perjumpaan kali pertama. “Sebenarnya maksud pertemuan ini kak, tak lain kecuali masalah dalam keluargaku yang makin rumit” imbuhnya. Dengan sedikit menghela nafas dia menambahkan, “kakakku tertangkap tangan menggunakan shabu-shabu yang membawanya terjebak dalam jeruji besi. Sementara orang tuaku rencana bercerai karena keduanya memiliki simpanan”.

Sontak terlihat tetesan air mata jatuh di pipinya melunturkan sedikit make-up yang dipakainya. Dengan rasa ragu coba kuhapus air matanya dengan tissue yang kuambil disaku kemejaku, begitu yakin kuangkat tanganku meraih pundak dan membelainya, memberi sedikit ketenangan untuknya. Masih dengan perasaan ragu meski kutahu persis kalau dia membutuhkan ungkapan kalimat yang bisa mengilangkan rasa sedihnya. Tapi apa daya, aku seolah larut dalam kesedihan dan kehilangan kata untuk menghiburnya. Terlintas jelas dari wajahnya kekecewaan begitu dalam, karena tidak mendapatkan untaian kata pengobat luka.

Beberapa menit kemudian tiba-tiba handphoneku bordering. Nama seorang dosen tertera dilayar handphone. Dosen pembimbing karya ilmiah dalam penyelesaian studiku. Dihinggapi perasaan bahagia bercampur aneh karena seorang dosen super sibuk tiba-tiba menghubungiku. Segera kujawab sembari menanti kabar apa gerangan yang akan disampaikan. Penuh sopan; “Ya Pak”, lalu begitu serius kudengarkan setiap ucapannya, ternyata ia berkeinginan untuk menerima konsultasi skripsiku yang telah berbulan-bulan tertunda akibat minimnya waktu lowong beliau. Beliau menunggu di rumahnya dalam jangka waktu 15 menit. Tanpa pikir panjang langsung saja aku jawab dengan sopan pula “baik pak, saya segera kesana”.

Saking bahagianya, sampai melupakan Indah di sampingku yang membutuhkan celoteh-celoteh positif demi menghilangkan rasa gundah dihatinya. Tapi apa boleh buat, saya harus meninggalkan tempat itu, demi masa depan yang tidak boleh saya abaikan begitu saja. Kuraih jaket hitam disandaran kursi bergegas kerumah dosen yang jaraknya lumayan jauh dari tempat itu. Untuk menebus kesalahan kepada Indah, aku melontarkan kata perpisahan sekaligus pengobat kecewa, “dik, nanti malam aja kakak telepon yah. Masalahnya ada urusan penting yang mendadak harus kakak selesaikan”. Sembari menatap pijakan langkah menuju parkiran, dalam hati sempat terlontar rasa penyesalan “maaf dik, saya mengkhianatimu”.

Tak ada lagi sesuatu yang ada dalam benakku kecuali harus segera sampai dirumah dosen pembimbing karena ini adalah kesempatan sangat langka. Kurang lebih 17 menit dalam perjalanan akhirnya sampai juga di area perumahan dosen, diparkiran sebuah rumah mewah yang tak lain adalah milik dosen pembimbingku. Langsung saja kupencet bel disamping pintu rumah sesosok wanita paruh baya keluar, tebakanku ia adalah pembantu di rumah ini. Dan ternyata betul, ia kemudian membukakan saya pintu lalu mempersilahkan aku masuk dan duduk di sofa empuk, bak seorang raja bertengger ditahta kerajaan.

Sekitar 2 menit disofa, seorang bapak dengan setelan jas lengkap keliatan terburu-buru lalu menghampiriku berkata “maaf dik, tiba-tiba saya dapat telepon harus rapat dengan beberapa relasi bisinis saya sekarang juga. Jadi konsultasinya lain kali saja yah”.

Maklum, selain jadi dosen, ia juga menjalankan bisnis lain sebagai penopang hidup keluarganya. Dengan terbata-bata lantaran sedikit kecewa aku menjawab “baik pak”. Kuangkat kakiku, walau terasa berat untuk melangkah dan segera meninggalkan tempat itu sembari berucap dalam hati “sabar….sabar…!”.

Masih diliputi rasa kecewa sambil mengendarai sepeda motor mencoba menenangkan hati dengan berfikir mencari tempat menghilangkan sekelumit kejadian hari ini. Terlintas dalam pikiran tempat yang biasa aku menghabiskan sore hari bersama kawan mahasiswa lain, tempat kami biasa bermain bola walaupun tidak begitu luas seperti lapangan yang lumrah orang-orang gunakan. Tapi paling tidak sekedar dapat melupakan sekelumit kejadian tidak mengasyikkan hari ini sekaligus cukup mengeluarkan keringat.

Tanah lapang itu masih kosong melompong tanpa ada tanda-tanda seperti apa yang ada dalam benakku. Kupaksakan diriku untuk menunggu dibarengi keyakinan kalau teman-teman akan datang sebentar lagi. 30 menit berlalu tidak satupun dari mereka yang sering bermain di tempat itu tiba, kuputuskan menghubungi mereka via telepon. Anehnya, tak seorangpun di antara mereka yang handphonenya aktif. Kembali perasaanku teraduk galau, sedih atau mungkin kecewa karena harapan terakhir mencari suasana pelipur duka tak kunjung kudapati.

Sekali lagi kuhela nafas sebagai upaya memompa semangat yang kuyakini masih ada dalam diriku sebelum malam tiba. Sebab malam nanti jadwal latihan dalam rangka menanti sebuah event yang bakal di gelar diluar kota akhir tahun ini. Selaku anggota sebuah lembaga kesenian lebih awal kami berkomitmen untuk menyukseskan pertunjukan dalam event tersebut. Kami harus melakukan persiapan yang matang dengan memperketat latihan sesuai dengan schedule yang telah ditetapkan.

Untuk itu, aku tetap harus menjaga spirit menanti momen tersebut. Walau hanya dapat peran figuran dalam pertunjukan tersebut, tapi pikirku, aku adalah bagian penting dalam pertunjukan dan tak boleh untuk tidak bersemangat. Hal itulah yang menjadi suplemen atau mungkin doktrin dari dalam jiwaku.

Saking bersemangatnya aku berangkat ke tempat latihan walaupun belum saatnya tiba, dengan niat ingin pemanasan lebih dulu sebelum latihan dimulai. Setiap anggota tubuhku kugerak-gerakkan sesuai dengan metode olah tubuh yang diberikan pelatih sebelumnya. Sekujur tubuhku dilumuri cucuran keringat berkat pola-pola gerak tadi. 1,2,3,4,5,6,7,8,…, setiap hitungan seperti melahirkan kobaran api yang meluap-luap, serasa pengen cepat-cepat latihan.

Selang 45 menit, terlihat dari arah timur, berjalan menuju arahku seorang lelaki berambut gondrong ikal namun terikat rapi sehingga kesan urakan sangat jauh dari lelaki tersebut. Seorang seniorku yang sekaligus selaku sutradara dari pertunjukan yang akan kami helat. Masih diliputi semangat membara, kulempar sapaan kepadanya sebagai ucapan selamat dating, “malam kak…”. “Malam…”, jawabnya dengan gaya yang sedikit cuek seperti lagaknya kebanyakan senior dalam menjaga wibawa terhadap junior-juniornya.

Tapi masih terlihat jelas dari wajahnya kalau senior kami ini sangat menaruh perhatian terhadap kelangsungan kerja-kerja kesenian kami. Serasa masih ingin melemparkan pertanyaan kepadanya walaupun sekedar basa-basi tapi dihantui rasa segan, ternyata tidak mendapat respon yang baik akhirnya kututup rapat-rapat kedua bibirku dan mengubur dalam-dalam segudang pertanyaan meskipun sebenarnya sangat subtansi dengan proses latihan kami.

Selang beberapa waktu, dari arah yang sama bermunculan pula mereka yang terlibat dalam produksi pertunjukan kecuali Gandi. Pria sebayaku yang menjadi aktor utama dalam pertunjukan ini karena dia memang seorang aktor hebat dalam komunitas kami. Paling tidak jika dibandingkan dengan kemampuanku. Namun ketidakhadiran Gandi membuat geram sutradara yang sedari tadi tidak mengucapkan kata-kata sedikitpun selain balasan sapaanku. Tidak hanya itu, kami pun diberi kultum tanpa judul alias ocehan sebagai luapan kemarahannya. Satu persatu jadi objek omelan sehingga menciutkan semangat latihan yang kami pupuk sedari tadi. Tapi, kami pun melampiaskan kemarahan terhadap Gandi secara serentak. Tak terucap, tapi nampak jelas dari sorotan mata setiap orang sebab ketidak konsistenan Gandi untuk hadir latihan sesuai jadwal. Harapan untuk latihan malam itu kembali harus kami urungkan karena pemeran utama tidak hadir. Satu persatu kami meninggalkan tempat latihan ke rumah masing-masing.

Aku langsung menuju kamar, melemparkan tubuh di kasur empuk serasa membuang segenap peluh yang ada di seluruh tubuh karena seabrek kegiatan dalam schedule hari ini tidak satupun tercapai. Tanpa sadar kantuk pun menyerang. Sedikit berbeda dari biasanya, kali ini begitu cepat dia datang dan tampaknya harus cepat-cepat diladeni. Secepatnya kupenjamkan mata sembari berharap dalam pulas kutemukan bunga-bunga tidur nan indah sebagai jawab setiap tanya.



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun