Mohon tunggu...
Ilham Achdar
Ilham Achdar Mohon Tunggu... -

Masih mencari ke'diri'annya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Debat Kusir Dunia Lain

12 November 2011   21:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:44 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Senja disebuah kota metropolitan membawa kerumunan orang hendak menghabiskan hari, lepas pantai salah satu tempat favorit dengan sunset plus rimbunan pepohonan yang masih tersisa, entah disengaja atau belum ada kucuran dana untuk menebang satu persatu lalu diganti pohon imitasi biar tampak natural dikejauhan.

Yah, tiap sorenya seperti jadi schedule bagi warga, anak kecil hingga dewasa, masing-masing memiliki cara menikmati indahnya matahari terbenam, sambil memancing, ada juga yang berfotoria. Tak ketinggalan anak kecil mengayuh kendaraan air berbentuk bebek dengan nafas terengah tapi penuh semangat mengitari pantai, nampak pula pasangan muda-mudi begitu mesranya. Lebih heboh lagi, seorang pria remaja menenteng gitar plus harmonika yang melekat dibibirnya sambil melantunkan lagu yang lagi hits, hmm.. menyemerakkan suasana senja.

Tak lama kemudian, beberapa pengunjung mendengar teriakan keras dari arah belakang“woi…minggir”suara itu terdengar jelas dan ditujukan kepada dirinya, spontan mereka menolehkan wajah mencari sumber suara, aneh, orang-orang di belakangnya masih sibuk dengan aktifitas masing-masing tanpa ada tanda-tanda kalau mereka yang berteriak.

Heran, lalu saling tatap sembari mengerutkan kening dan masing-masing bertanya dalam hati, “yang teriak siapa yah???”. Tanpa peduli mereka kembali memandangi matahari yang sebentar lagi hilang.

Kaget luar biasa, salah seorang pengunjung melihat sesosok tubuh manusia yang mengawang diatas air, terbang bersila persis sejajar dengan pandangan orang dewasa. Nampak jelas kalau itu manusia biasa namun yang aneh karena dia tidak menyentuh dasar lantai dimana semua orang berpijak. Ajaib!. Tentu saja orang tersebut pingsan tak sadarkan diri karena belum pernah menyaksikan kejadian aneh bin ajaib sebelumnya.

Makhluk aneh selanjutnya, datang penuh bahagia melompat melewati atas kepala pengunjung lalu membalikkan kepalanya, yah, kaki dikepala, kepala dikaki. Mirip sebuah lagu dari band terkenal di Indonesia. Salto!

Masih makhluk sejenis, bertubuh gempal bak manusia raksasa tapi tubuhnya sangat ringan sehingga bisa terbang sehebat rajawali. Makhluk terakhir muncul sedikit lebih tenang ketimbang makhluk sebelumnya, dia lebih memilih berbaur dikerumunan, yang penting bisa menikmati sunset.

“Huuh..hampir saja terlewatkan sunset indah sore ini.”Ucap simakhluk terbang bersila.

“Tampaknya kita masih beruntung bisa menyaksikan kuasa Tuhan”. Sela simakhluk yang doyan salto.

Sigempal jago terbang burung tak mau kalah.“Inilah puncak kebahagiaan makhluk ciptaan Tuhan bila masih bisa menikmati semua yang telah diberi oleh-Nya”

“Kalian betul, kita patut bersyukur tapi harus sadar juga dong, masih banyak makhluk lain juga menikmatinya jadi jangan bertingkah yang berlebihan supaya tidak saling mengganggu”Tandas simakhluk kalem dengan bijak.

“Alah…! Manusia saja yang terlalu cengeng. melihat hal baru saja sudah kaget luar biasa. Itu belum seberapa bung, masih banyak ciptaan Tuhan yang belum anda saksikan. Makanya, buka mata, hati anda!!!”Jawab si doyan salto.

Ternyata, tempat itu favorit kala menjelang magrib. Tak terkecuali keempat makhluk aneh. Atau mungkin saja masih banyak makhluk lain datang tapi tidak menampakkan diri.

Adzan magrib berkumandang, satu persatu meninggalkan tempat tersebut. Ada yang kemesjid, ada yang memilih langsung menaiki kendaraan, cabut pulang, ada pula yang masih memilih berdiam diri, entah masih menunggu sesuatu.

Keempat makhluk aneh berdiskusi sejenak, yah kemudian sepakat kembali berkumpul disuatu tempat yang tidak begitu familiar bagi semua orang tapi jadi favorit simakhluk terbang burung. Disebuah pinggiran kota, area perbatasan kabupaten terdapat sebuah gedung tua dan tepat bersandar disampingnya, balai bambu mangkring kokoh, nah tempat itu tujuan mereka.

Kali ini si Grinyol -begitu biasa ia disapa karena memilik rabut keriting- yang doyan salto sampai lebih dulu sambil berteriak“Aku datang…”

Tampak dari kejauhan si Kurus –sapaannya- terbang bersila pun datang,“Minggir…aku mau mendarat”

Si Gempal –panggilannya karena memiliki bobot tubuh paling besar- jago terbang burung pun menyusul tapi keliatan lebih santai,“Ehm…”

“haa…dasar kalian makhluk aneh, maunya senang-senang melulu”Celoteh sikalem.

“woi..Ompong, tidak usah sok bijak. Seolah-olah kaulah makhluk suci titisan Tuhan”,Protes sijago salto kepada sikalem dengan panggilan akrab dan sedikit meledek.

Lalu sikalem menjawab masih dengan nada menasehati tapi intonasi yang lebih keras“hey…grinyol, haruskau sadari. Tempat ini bukan hanya kita yang berhak. Tapi seolah-olah kaulah pemilik seutuhnya tempat ini dengan begitu kau mengusik ketenangan yang lain.”

“walah-walah….kok malah perang mulut lagi sih, ayo ingat…!apa tujuan kita ketempat ini! Ayo Ompong,jelaskan…!Sikurus memotong.

Gempal lalu menyela“iya…ayolah, cepat jelaskan maksud kalian itu.Saya belum mengerti..!

Tampak Si Ompong mengatur nafas, mencoba melenyapkan kobaran api didada akibat bersitegang dengan Si Grinyol lalu menjelaskan pembicaraan sebelumnya

“Begini..!sebenarnya pembicaraan ini adalah bentuk kekhawatiran, kegalauan kita akan kehidupan manusia sekarang ini dan saya yakin kalian juga merasakan. Sepertinya tidak ada lagi yang mau saling menghargai kemudian menyadari bahwa mereka adalah makhuluk ciptaan Tuhan yang pada dasarnya sama derajatnya. Kalaupun masih ada yang saling menghargai maka itu adalah bentuk penghargaan ‘semu’ karena pertimbangan jabatan, karir atau karena mereka masih satu gerbong ‘sama kepentingan’, selebihnya, mari gontok-gontokan agar ideologi masing-masing melenggang. Parah kan…!Kata Ompong.

Grinyol manyambung“Betul yang dikatakan Ompong, seluruh lapisan masyarakat sudah memegang prinsip-prinsip yang melenceng dari apa yang digariskan Tuhan. Mulai dari pejabat pemerintahan, swasta, para ustadz bahkan para seniman. Jadi semua seolah melakoni hanya sebagai profesi. Kalau dulu orang banyak mencela para ustadz karena hanya berani berkhotbah diatas mimbar tapi kelakuan sehari-hari masih mirip dengan zaman bahola, pejabat pemerintahan yang katanya mengayomi seluruh lapisan masyarakat tapi hanya rajin berdiskusi dimeja kantoran lalu menikmati uang rakyat. Parahnya lagi, komunitas seniman, sang pembawa pesan perdamaian, cinta, kasih sayang disetiap karayanya, eeh…ujung-ujungnya hanya mau menampakkan kalau dia seniman tulen alias eksis. Masih mending kalau hanya sekedar itu, tapi gimana kalau sudah sesama seniman saling ‘tackle’ karena mengklaim dirinyalah ‘seniman idealis’ sementara yang lain seniman ‘kotor’. Tackle, emangnya pemain bola?

Tampak Si Kurus menyimak penuh khidmat pembicaraan kedua sahabatnya, begitu pula Si Gempal meskipun terlihat jelas kantuk sudah mulai menyerangnya.

Si Kurus kemudian melontarkan pertanyaan“Lalu, apa yang harus kita lakukan?apa kita harus turun tangan lagi?

Dengan penuh semangat dan lantang Si Ompong menjawab“ya…kita harus turun tangan”

“patut kita syukuri, Tuhan masih menyisakan makhluk-makhluk seperti kita yang masih mau memikirkan umat”Grinyol menambahkan.

Sambil menguap Gempal lalu bertanya“Sekarang gimana caranya? ibarat kata kaum intelektual, kita harus menggunakan metode dalam menyelesaikan masalah”

“Oke, satu-satunya cara dan paling tepat adalah kita semua harus memasyarakat. Kita harus memasuki tiap lini lalu membuat peruahan didalamnya”Si Ompong memberi solusi.

Spontan, Grinyol membantah“Saya tidak sepakat dengan cara itu, persoalannya itu akan menjatuhkan martabat kita sebagai pembawa pesan perdamaian dari Tuhan. Ingat kawan-kawan, kita ini makhluk spesial yang diciptakan Tuhan untuk melakukan perubahan. Jadi tidak tepat bila kita harus berbaur dengan masyarakat luas.

“Nyol, untuk saat ini kita tidak bisa lagi mempertahankan prinsip itu. Ini darurat kawan”Imbuh Si Ompong.

“Saya tetap tidak sepakat dengan cara itu, pokoknya harus cari cara lain”Grinyol kembali membantah.

“Lalu apa idemu?”Tanya si Kurus kepada Grinyol.

Grinyol berpikir sejenak“Begini, kita ini makhluk yang memiliki kekuatan hebat. Nah..itu yang harus kita gunakan untuk merubah kelakuan masyarakat yang menyimpang. Setiap kali kita melihat keganjilan yang mengarah pada perpecahan atau mungkin orang-orang yang mau berbuat kecurangan, kita sentil aja telinganya, kita jambak rambutnya, hantam perutnya atau kalau perlu kita congkel matanya. Dengan demikian tidak akan ada lagi yang berani melakukan. Gampang kan”.

“Saya lebih tidak sepakat dengan idemu, itu tidak manusiawi. Saya lebih baik tidak ikut dengan kalian bila harus melakukan cara itu”.Tandas Si Ompong, Lalu pergi dengan wajah yang sedikit murka.

Raut muka yang lebih murka Grinyol lalu berteriak“Hey…Ompong, apa perlu saya rontokkan gigimu yang lain agar kau tak mampu lagi mengeluarkan celotehan mu yang sok bijak itu. Ompong….tunggu aku, atau lebih baik kita berkelahi saja untuk membuktikan siapa sebenarnya yang terhebat diantara kita. Ompong sialan….dimana kau..?.

“Gempal…bangun!”Satu teriakan si kurus untuk membangunkan sigempal yang sedari tadi tidak menyimak percekcokan sahabatnya.

“Rus…ada apa kau mengagetkan ku?”Tanya siGempal dengan kaget.

Dengan wajah yang sedikit panik Si Kurus menjawab“ayo…cepat kita harus menghentikan Si Grinyol dan Si Ompong, jangan sampai mereka berkelahi”

Masih dengan perasaan ngantuk si Gempal menjawab“Alah….masih pembahasan tentang manusia tadi, sampai-sampai harus berkelahi segala. Kau saja yang mengejar mereka Rus. Ingatkan pada mereka bahwa kita ini bukan manusia lagi, kenapa mereka harus pusing dengan persoalan manusia. Biarkan manusia sendiri yang menyelesaikannya. Toh, Tuhan sudah memberikan kekuatan, kemampaun kepada setiap makhluknya untuk menyelesaikan sendiri persoalannya. Sudahlah..masa kita sebagai manusia sudah berlalu, kini kita menjalani kodrat sebagai makhluk lain, untuk apa memelihara spirit kemanusiaan itu, mari kita menjalani realita yang ada sekarang.

Sedikitmengehela nafas siGempal kemudian melanjutkan“Atau kalau perlu, tidak usah kau kejar mereka. Biarkan saja mereka berdua mencari solusinya sendiri. Mendingan kita mencari solusi lain dalam tidur. gimana???

“haa…Sepertinya itu ide yang lebih baik kawan”.Jawab sikurus, lalu mencari posisi tidur yang enak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun