Akhir-akhir ini media sosial dan media massa diributkan dengan pernyataan Ahok yang mengatakan bahwa “surah al-Maidah ayat 51 pembohongan untuk tidak memilih dirinya” hal ini menimbulkan pro dan kontra, ada yang membela dan banyak pula yang menghujat, lalu kemudian 2 hari yang lalu dia minta maaf atas pernyataannya. Jauh sebelum pernyataan ini muncul, saya pernah menulis makalah pada tahun 2013 dalam mata kuliah Pemikiran Hadis dan Tafsir Kontemporer yang diasuh oleh Dr. Yusuf Rahman, MA dengan judul “Penafsiran FPI tentang Larangan Memilih Pemimpin Non Muslim” disana saya mengatakan bahwa FPI terlalu memaksanakan untuk menafsirkan ayat al-Maidah ayat 51 dengan penafsiran yang berpacu pada teks dan mereka tidak melihat konteks dari ayat tersebut. Selang beberapa tahun kemudian berbarengan dengan munculnya relawan Ahok, teman saya yang tergabung direlawan Ahok minta saya untuk memcarikan dalil al-Qur’an dan Hadis yang melegalkan umat Muslim untuk memilih Ahok, tapi saya tidak menyangupinya.
Fakta dilapangan membuktikan bahwa ayat 51 surat al-Maidah berupaya dinterpretasikan ulang oleh beberapa kalangan yang mendudukung Ahok setelah muncul pernyataan pembohongan ayat 51 surah al-Maidah untuk tidak memilih Ahok, salah satunya adalah Tulisan Mun’im Siri yang saya kutip dari http://geotimes.co.id/ahok-al-maidah-dan-retorika-polemik/yang menafsirkan Kata “awliya”ayat 51 surah al-Maidahsengaja tidak diterjemahkan karena menjadi poin kontestasi. Dan sudah banyak tulisan mendiskusikan apakah kata“awliya”diartikan sebagai “pemimpin” atau “teman” atau “sekutu”, dan seterusnya. Bukti internal yang memperlihatkan aspek polemik ayat tersebut adalah asumsi bahwa “sebagian mereka (Yahudi dan Kristen) adalahawliyabagi sebagian yang lain”. Mereka yang belajar sejarah Yahudi dan Kristen akan tahu bahwa Yahudi dan Kristen tidak menjadikan satu sama lain sebagaiawliya. Mereka cenderung saling bermusuhan sepanjang sejarah daripada berteman, bersekutu atau sebagian menjadi pemimpin bagi yang lain.Tentu saja al-Qur’an mengetahui sejarah hubungan kedua agama tersebut yang penuh konflik, rivalitas, dan bahkan pertumpahan darah. Lagi-lagi, al-Qur’an sedang berpolemik sehingga meletakkan mereka dalam satu kanvas untuk disapuratakan. Aspek polemik lebih tampak lagi dalam konteks turunnya(asbab al-nuzul)ayat tersebut. Saya memang skeptis terhadap akurasi historisasbab al-nuzul, dan berbagai narasi terkait surat al-Ma’idah ayat 51 semakin menguatkan skeptisisme saya. Seperti sudah diulas oleh beberapa penulis, para mufasir menyebut lebih dari satu versi konteks yang menjadi latar belakang ayat tersebut. Bagi mereka yang punya naluri historis, beragam narasi itu memunculkan pertanyaan serius: Manaasbab al-nuzulyang benar? Mungkin tidak satu pun.
Sebab,asbab al-nuzulbersifat eksegetikal belaka. Mun’im setuju dengan pandangan Muhammad Rasyid Rida (w. 1935) dalamTafsir al-Manar-nya. Yakni, kalaupunasbab nuzul khusus(sabab khas)ayat 51 sulit diverifikasi, namun iklim polemik dapat dipastikan menjadi kondisi yang melahirkan ayat tersebut(sabab ‘am). Jika aspek polemik dan konteks polemik ayat 51 dipahami dengan baik, maka mudah dimengerti kenapa surat al-Ma’idah menggeneralisasi kaum Yahudi dan Kristen agar tidak dijadikanawliya.
Dalam konteks ini, pandangan Prof. Quraish Shihab dalamTafsir al-Misbahperlu direnungkan. Yang menyebabkan Yahudi dan Kristen dilarang dijadikanawliya, kata Prof. Shihab, bukan karena mereka itu Yahudi atau Kristen, melainkan karena sifat-sifat negatif yang disebutkan dalam ayat-ayat sebelumnya. Dengan kata lain, siapa pun berperilaku tercela yang disebutkan dalam ayat 49 dan 50 (di antaranya “mengikuti hawa nafsu” dan “menerapkan hukum jahiliyah”) tidak boleh dijadikanawliya. Yang jelas Mu’in ingin mengatakan bahwa ayat 51 surat al-Maidah menimbulkan polemik, ketika ayat ini menimbulkan polemik, maka sah-sah saja memilih pemimpin non muslim dan tidak berdosa.
Penafsiran yang berbeda juga lahir dari pemikiran Zuhairi Misrawi dikutip dari http://geotimes.co.id/membaca-kitab-tafsir-atas-al-maidah-ayat-51 yang mengatakan ayat 51 surat al-Maidahmesti dipahami dalam konteks perang pada zamannya. Dalam situasi perang berlaku hukum kehati-hatian agar bisa mengidentifikasi lawan. Karena itu, ayat tersebut berisi perintah larangan keras agar memutus persekutuan dengan orang-orang Yahudi dan Kristen. Sementara dalam situasi damai berlaku hukum toleransi dan harmoni, seperti yang kita lihat di tengah kebhinekaan agama, suku, dan bahasa di negeri ini.
Ayat tersebut juga tidak ada kaitannya dengan kepemimpinan. Yang dimaksudal-wilayahdalam ayat tersebut adalah pertemanan atau persekutuan, bukan kepemimpinan. Bahkan, kepemimpinan dalam konteks demokrasi modern sudah jauh lebih maju. Pemimpin dipilih oleh rakyat berdasarkan rekam jejak, ketegasan, kemampuan, dan kejujujuran. Rakyat adalah pemimpin yang sesungguhnya. Dalam bidang kepemimpinan, saya mengikuti pandangan yang lazim dari para ulama al-Azhar. Di antaranya Dr. Gamal Farouq, Dekan Fakultas Dakwah Universitas al-Azhar, bahwa dalam urusan publik, pemimpin yang lebih mampu memberikan pelayanan publik yang baik dan menyejahterakan rakyat harus diutamakan, meski dia non-muslim.Yang jelas Gus Mis sebutan akarabnya ingin melegalkan dan menghalalkan untuk memilih Ahok.
Adapun Abdul Muqshit Ghazali mengatakan “ ada tiga kelompok yang menafsirkan surah al-Maidah ayat 51. Pertama, kelompok yang menyatakan bahwa al Maidah 51 itu terlampau jelas melarang pemimpin non muslim. Konteks yang melatari kehadiran nash itu tak bisa memberangus keumuman nash al Maidah 51 itu. Kedua, kelompok yang berpendapat bahwa teks al Maidah 51 itu turun dalam suatu konteks. Teks tak bisa dilucuti dari konteks. Teks harus dipahami dari konteksnya. Karena itu, teks al Maidah 51 tak berlaku universal. Ketiga, kelompok yang menelusuri kepemimpinan non muslim melalui sejarah hingga sejarah pra Nabi Muhammad SAW. Salah satunya, ketika Nabi Yusuf menerima tawaran sebagai Kepala Urusan Logistik dari sebuah pemerintahan yang dipimpin oleh kepala negara "non muslim". Dari tiga kelompok itu, kita banyak belajar; bagaimana memahami kitab suci dan bagaimana meletakkan sejarah pra-Islam dalam konteks penafsiran al Qur'an. Sejauh ini diskusi tentang al Maidah 51 cukup produkti” dikutip dari https://web.facebook.com/abdulmoqsith.ghazali?fref=ts
Penafsiran yang saya kutip dari tiga tokoh di atas membuktikan bahwa kedua tokoh Mu’in Siri dan Zuhairi berupaya melegalkan untuk memilih pemimpin non muslim sedangkan Muqsith berupaya memberikan kebebasan kepada kaum muslim untuk memilih mana penafsiran yang cocok dan dikehendaki oleh pembaca, pada prakteknya ketika saya menelusuri beberapa kitab Tafsir dari klasik hingga kontemporer belum ada satupun penafsir yang melegalkan untuk memilih pemimpin non muslim mereka hanya melihat dari sisi sosio historis yang melatar belakangi munculnya ayat 51 surah al-Maidah. Namun, perlu juga disadari bahwa munculnya pernyataan Ahok ini menurut saya ada kesegajaan untuk memancing kaum muslim bereaksi keras sehingga dengan demikian seolah-olah Ahok terdhalimi, selain itu ingin mempolerkan Ahok di media sosial. Terlepas dari ini semua upaya penafsiran terhadap ayat 51 Surah al-Maidah dalam konteks Pilkada Jakarta tidak bisa lepas dari kepentingan politik dan seolah-olah ayat ini dipolitisasi untuk kepentingan sesaat saja, demi kemenangan Ahok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H