Mohon tunggu...
Lutfi Ramdani
Lutfi Ramdani Mohon Tunggu... Administrasi - Learner

Pembelajar Sepanjang Hayat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

LGBT dan Dialektika Hegel

14 Februari 2016   08:24 Diperbarui: 14 Februari 2016   09:06 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kasus LGBT jika dilihat dari hukum dialektika ialah sebuah antithesis dari budaya bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai nilai budaya dan agama. Dari 6 agama yang diakui di Indoensia tidak ada satupun yang membolehkan hubungan sesama jenis bahkan dianggap sebagai dosa besar yang dikutuk Tuhan. Tuhan menciptakan manusia dengan jenis kelamin laki laki dan perempua. Menurut fitrahnya laki laki berhubungan dengan perempuan begitupun sebaliknya. Jika laki laki berhubungan dengan laki laki dan perempuan berhubungan dengan perempuan itu artinya telah menyalahi fitrah yang telah ditentukan tuhan. Sementara orang orang yang mendukung LGBT berdalih bahwa orientasi seksual setiap orang adalah kebebasan yang merupakan Hak Asasi Manusia yang tidak bisa diganggu gugat dan dirampas oleh siapapun, sehingga tidak boleh ada yang melarang jika ada seseorang yang memilih pasangan yang sesama jenis.

Kampus sebagai tempat berkumpulnya kaum intelektual yakni dosen dan mahasiswa harus menjadi tempat yang mendukung kebebasan berfikir dan mengeluarkan pendapat karena dalam dunia akademik semua orang harus meninggalkan sejenak kultur dan kepercayaannya demi sebuah kajian yang memiliki nilai ilmiah. Termasuk dalam mennyikapi LGBT yang merupakan antithesis dari budaya bangsa Indonesia. Semua elemen kampus harus bersikap netral demi pencarian kebenaran. Akan tetapi akan menjadi masalah ketika kebebasan berfikir tersebut dibawa ke tengah tengah masyarakat umum yang memiliki standar nilai yang dijunjung tinggi yang berdampak pada kontroversi yang luas dan memunculkan sikap khawatir masyarakat terhadap lembaga pendidikan tinggi.

Masyarakat kampus yang cerdas harus melihat bahwa, dengan hukum dialektika Hegel, LGBT memiliki potensi kebenaran sebagai ekspresi kebebasan manusia dalam menentukan pilihan hidupnya, meskipun begitu, bangsa Indonesia memiliki nilai nilai luhur yang dijunjung tinggi. Karena LGBT sendiri ialah paham yang berasal dari luar negeri khususnya eropa dan amerika yang memiliki nilai nilai luhur yang berbeda dengan bangsa Indonesia. Bangsa amerika memiliki tradisi liberalism yang sangat kuat yang telah dipraktekan masyarakatnya selama ratusan tahun serta asal usul bangsa amerika sebagai orang orang buangan bangsa eropa yang dahulu nenek moyangnya memiliki hasrat kebebasan yang sangat tinggi dengan meninggalkan bumi eropa. Sementara itu bangsa Indonesia dan masyarakat asia pada umumnya memiliki tradisi religious yang sangat tinggi yang telah dipraktekan oleh nenek moyangnya selama berabad abad lamanya sehingga budaya bangsa amerika tentu sangat berbeda dengan bangsa Indonesia dan bangsa asia.

Lalu bagaimana paham LGBT di Indonesia dapat memberikan sumbangan pemikiran yang mengandung kebenaran meskipun LGBT harus ditolak? Jawabanya dapat ditelaah dari landasan sosio-historis masyarakat Indonesia yang masih menganut budaya patriarki, pemahaman keagamaan yang konservatif, dan kebekuan dan kejumudan berfikir masyarakat yang akhirnya melahirkan berbagai macam ketidakadilan gender yang merugikan salah satu jenis kelamin yang umumnya perempuan. Dari pandangan psikologis misalnya perempuan yang memilih menjadi lesbian dapat disebabkan oleh trauma yang dialaminya ketika berhubungan dengan laki laki, apakah itu ayahnya, saudara laki lakinya, teman laki lakinya, atau pacarnya. Begitupun laki laki yang memilih menjadi seorang gay dapat disebabkan oleh perasaan superior yang dirasakannya sehingga merasa dapat melakukan banyak hal termasuk perilaku menyimpang dan tidak biasa.

Dengan pemahaman seperti diatas, semua pihak tidak lantas menolak begitu saja LGBT dengan sikap dan perasaan emosional semata, melainkan menelaah kembali kondisi sosio historis interaksi laki laki dan perempuan dalam budaya Indonesia yang boleh jadi tidak adil dan merugikan salah satu pihak dan kenyataannya memang demikian sehingga paham LGBT seolah mendapat ruang sebagai ekpresi pelarian orang orang yang menjadi korban ketidakadilan tersebut. Maka proses dialektika antara LGBT dengan Nilai nilai luhur yang dijunjung tinggi bangsa Indonesia menemukan satu sintesis yakni pemahaman baru dalam bentuk rekonsiliasi yakni penguatan nilai nilai budaya bangsa dengan disertai kesadaran baru mengenai pentingnya melakukan proses rekonstruksi budaya untuk menuju terciptanya kehidupan yang lebih luhur, maju, dan adil bagi masyarakat indonesia dengan tetap berjalan diatas jalur rel sendiri, tanpa harus mengikuti jalur rel bangsa lain. Proses rekontruksi budaya sendiri dalam perjalannya juga akan melakukan proses dialektika antar berbagai pemikiran yang bertentangan yang hidup di tengah masyarakat Indonesia sendiri.

Begitulah hukum dialektika berjalan, semua unsur kehidupan saling berkontradiksi dan berkonflik. Namun dalam kontradiksi tersebut setiap unsur akan menemukan kebenarannya dan akan terwujud dalam realitas yang pada akhirnya akan menuju roh absolut yakni kebenaran tunggal yang sempurna.

*) Mahasiswa Sosiologi Universitas Jenderal Soedirman

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun