Mohon tunggu...
Indira Natasya
Indira Natasya Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

you just know my name not my story, you just know what I've done not I'd through

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Diary Dyandra (4)

16 Juli 2013   14:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:28 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik



“5 Januari 2004”

“Dear diary..

Hari ini aku sakit kepalaku pusing, rasanya kepalaku seperti dipukul oleh palu godam sebesar gajah. Mual tidak terelakkan lagi. Sampai-sampai aku jatuh terduduk di lantai halte bis siang tadi. Radit mengkhawatirkan keadaanku. Sejak pagi di sekolah sampai siang dia terus menghubungiku. Berulang kali dia meminta maaf karena tidak pernah bisa hadir di saat aku membutuhkannya. Hanya jawaban kecil yang kubalas untuk permintaan maafnya. Sungguh, aku sudah tidak dapat mencerna apapun omongan orang saat itu. Dan akhirnya aku pingsan, diary.. entah bagaimana caranya aku sampai di rumah. Mama bilang teman sekolahku menemukanku tergolek tidak sadarkan diri di halte, lalu dia melaporkannya kepada para guru sekolah. Hal pertama yang kucari saat aku sadarkan diri tadi adalah handphone. Aku harus mengabarkan Radit.”


“12 Januari 2004”

“Dear diary..

2 hari lagi Radit berulang tahun. Apa yang harus aku berikan padanya. Ucapan selamat saja apakah cukup?”


“14 Januari 2004”

“Dear diary..

Hari ini Radit berulang tahun ke 15. Aku baru tahu ternyata dia lebih muda satu tahun dariku.Aku menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun katanya sudah lebih dari cukup. Dia sangat senang. Bahagia sekali rasanya, diary bisa membuatnya bahagia walaupun hanya dengan hal kecil.”


“20 Januari 2004”

“Dear diary..

Tadi siang saat pulang sekolah aku bertemu dengan Radit. Secara tidak sengaja, tentunya. Bagaimana bisa? Kau pasti heran, diary. Aku juga tidak tahu ini cuma kebetulan. Aku dan Papa setiap pulang sekolah memang selalu mengambil jalan dari dekat sekolahnya. Saat aku sedang tidak fokus memandang ke luar kaca mobil aku sempat memperhatikan seorang anak laki-laki yang sedang berjalan memakai seragam sekolah dari sekolah Radit. Awalnya aku tidak perduli, minus di mataku membuatku tidak bisa melihat dengan jelas wajah anak laki-laki tersebut. Tapi, saat jarak mobilku dengan anak laki-laki tersebut hanya berkisar beberapa senti, aku tertegun memandang mata anak laki-laki itu. Mata yang kukenal sepertinya, pikirku. Mata yang benar-benar tidak asing lagi bagiku. Anak laki-laki itu terlihat sibuk menutupi wajahnya. Aneh, pikirku lagi. Lalu tiba-tiba aku tersentak, diary. Seperti baru terbangun dari mimpi. Kubuka kaca mobil sambil kupandangi anak laki-laki itu sampai hanya punggungnya yang terlihat. Oh.. bagaimana bisa aku melupakan wajahnya. Untuk sepersekian detik rasanya aku tidak bisa bernafas, jantungku berdegup kencang, sungguh aku merindukannya. Baru beberapa bulan kami tidak bertemu dan dia sudah banyak berubah, diary. Tubuhnya sudah semakin tinggi, lekuk wajah laki-laki remaja mulai membentuk rahang wajahnya. Dan satu hal yang tidak pernah bisa membuatku lupa akannya adalah matanya... mata sipitnya itu. Yang membuatku merasa Radit akan terlihat seperti vokalis grup band seventeen jika besar nanti. Satu hal yang selalu bisa membuatku jantungku berdegup kencang. Radit.”


“7 Februari 2004”

“Dear diary..

Siang tadi aku datang ke sekolahku dulu untuk memenuhi janjiku untuk bertemu dengan Radit. Aku minta ditemani oleh Fina. Seperti yang kau tahu, diary.. dia tidak datang. Aku sudah menduganya tapi entah kenapa tetap saja ada sesuatu dalam hati kecilku yang selalu membantah dan selalu berkata “dia pasti akan datang”dan kenyataanya yang harus selalu aku terima “dia tidak pernah datang”...”


“8 Februari 2004”

“Dear diary..

Cuma alasan ringan yang kuterima dari Radit tadi pagi. Dia minta maaf “lagi” karena tidak bisa memnuhi janjinya untuk menemuiku kemarin siang. Dia bilang dia harus latihan drama untuk Pentas Seni yang akan diadakan di sekolahnya. Tetap seperti biasanya, diary.. entah aku terlalu sabar atau memang terlalu bodoh. Aku selalu memaafkannya. Kupikir, dia belum berani untuk menemuiku layaknya orang pacaran sesungguhnya. Aku mengerti usia kami masih terlalu muda. Dan itulah satu-satunya alasan yang masih membuatku bertahan dengannya sampai saat ini. Yang terpenting adalah aku tahu dia mencintaiku dan aku juga mencintainya. Bukankah seperti itu, diary indahnya cinta?

endless love by achaakk

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun