Mohon tunggu...
Achmad Tijani
Achmad Tijani Mohon Tunggu... -

Sang Pejantan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Puasa dan Cermin Terminologi Gerak Aristoteles

26 Juni 2016   11:35 Diperbarui: 26 Juni 2016   11:42 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Waktu berlalu begitu cepat, tanpa terasa Ramadhan 1437 sebentar lagi akan meninggalkan kita. Hiruk pikuk yang mengitarinya juga akan pergi berlalu. Shaf atau barisan makmum pada sholat jamaah di masjid juga akan menyusut. Pengajian petang jelang sholat maghrib, fajar dan siang juga akan kembali asing. Lantunan ayat suci al-Qur’an akan sangat jarang terdengar lagi, mushaf-mushaf tersebut akan diletakkan kembali pada tempat semula di dalam lemari indah yang berkaca. Semua berlalu, dan suasana akan kembali seperti sedia kala.

Mengungkit fenomena mapan di atas yang sudah termekanisasi dari puluhan tahun silam pengalaman umat muslim ber-Romadhan seakan tidak ada gunanya, karena sebagian besar umat muslim sudah ikhlas menerima kenyataan tersebut. Bahwa al-Qur’an hanya ditadarusi sebulan sekali dalam setahun bukanlah persoalan, bahwa berderma dilakukan hanya pada bulan Ramadhan sudah mentradisi; dan berduyun-duyun ke masjid mengejar pahala seribu bulan hanya cukup pada Ramadhan saja telah menjadi pemahaman yang meluas. Begitulah seluruh fenomena keagamaan di tengah kita ini berjalan mengikuti arus kebiasaan tanpa pertimbangan pemahaman keagamaan yang memadai.

Sebagai dampaknya, yang berpuasa cukuplah hanya berpuasa, yang bertaraweh cukuplah hanya bertaraweh, yang berkhusyuk dzikir mengejar untuk menjumpai Lailatul Qadar cukuplah hanya berdzikir, begitu seterusnya pada ritual lainnya yang berhenti hanya sebatas pada pelaksanaan, pengguguran kewajiban bahkan mungkin ada sebagian yang hanya sebatas pencitraan. Indikasi dari peningkatan spritualitas musiman ini tidak hanya terasa pada dampak setelah pelaksanaan, namun juga dapat dirasakan pada saat pelaksanaan ibadah tersebut. Sebagai contoh wacana yang berkembang di tengah-tengah rangkaian ibadah Ramadhan terdapat diskursus khilafiyah jumlah rakaat taraweh. Diskusi yang berlebihan dan tidak berkesudahan tersebut telah mengambil alih urgensi sholat taraweh itu sendiri, sebagai puncaknya kita semua terjebak di dunia wacana bukan dimensi amal dan ibadah.

Contoh fenomena lain yang tidak kalah mengusik urgensi rangkaian ibadah di bulan suci tahun ini adalah kasus Bu Saeni yang membuka warung di siang hari pada saat umat muslim berpuasa. Kasus tersebut menyita konsentrasi kekhusyukan umat muslim, konon juga menjadi isu internasional lantaran kasus sederhana tersebut diseret menjadi isu politik dan kebangsaan yang berkaitan dengan konsepsi toleransi dan pluralisme agama di negeri ini. Sebagai buntut berikutnya, kasus tersebut menjadi salah satu pendorong lahirnya kebijakan prematur pemerintah terkait penghapusan sejumlah PERDA yang dirasa menghambat kehidupan berbangsa, diantara PERDA yang dianggap menghambat adalah PERDA syariah.

Bagaikan gayung bersambut, buntut aksi pemeritah tersebut di atas berhasil mengundang reaksi pro dan kontra oleh sebagain umat muslim. Aksi saling menghujat antar kelompok tidak dapat dielakkan lagi, beberapa hujatannya malah sampai pada dimensi teologis. Kelompok muslim yang pro warung tetap dibuka di siang hari pada bulan puasa mengaku kuat iman, sementara kelompok muslim yang kontra dituduh lemah iman dan tidak mampu menahan godaan bergedel warteg. Simpelnya, kasus Bu Saeni yang sejatinya sederhana dan bersifat lokal cukup berhasil membelah dan mencabik-cabik persaudaraan umat muslim.

Sejumlah polemic dan fenomena di atas cukup relevan untuk kita jadikan cermin dari kualitas puasa dan pemahaman keagamaan kita yang dirasa masih relatif dangkal. Paradigma keagamaan sebagian dari kita masih berupa taklid (sekadar ikut). Apa yang biasa dilakukan orang banyak itulah yang juga kita pilih, apa yang disuarakan media, itulah yang juga kita suarakan. Pada titik tertentu puasa kita hanya dapat haus dan lapar serta tidak memberikan pergerakan positif dalam kehidupan. Jika demikian cara kita memanfaatkan momentum Ramadhan, maka jangan harap terdapat perubahan yang berarti pasca Ramadhan, semuanya amalan baik kita akan menjadi kesalehan musiman yang semu, seperti deskripsi awal pada tulisan ini.

Sebagai salah satu pertimbangan yang dapat dijadikan rujukan untuk mengembalikan alur puasa kita pada pergerakan yang positif kiranya cermin terminologi “gerak” ala Aristoteles layak untuk direnungkan. Menurut Aristoteles “gerak” itu ada empat macam, pertama ada yang dsebut dengan gerak lokal. Gerak ini tergolong gerakan yang sangat sederhana, pergerakan dari satu tempat ke tempat lain. Jika puasa kita hanya menghantarkan kita untuk mudik, dari tempat kerja pulang ke kampung halaman, maka kualitas puasa kita baru melahirkan pergerakan yang sangat sederhana.

Gerak yang kedua adalah gerak kuantitatif, dimana inti dari gerak ini adalah perubahan nominal,angka dan ukuran. Jika puasa kita hanya meributkan rakaat taraweh, nominal juz dan ayat al-Quran yang sudah kita baca, maka puasa kita masih bernilai kuantitatf. Sementara gerak yang ketiga adalah gerak kualitatif. Jika puasa kita mampu merubah kita dari semula kita yang pelit menjadi penderma, maka puasa kita memberikan pergerakan yang berkualitas pada kehidupan. Untuk tingkat yang keempat, adalah gerak substantive. Gerakan ini bersifat fundamental dan komprehensif. Jika puasa kita mampu mendorong gerakan mendasar dan menyeluruh pada setiap sisi kemanusiaan dan kehambaan kita, maka inilah kiranya indikator yang sepadan dengan la’allakum tattaqun yang diisyaratkan al-Quran dalam surah al-Baqarah ayat 183.

Lalu, ke arah mana puasa kita bergerak, hanya masing-masing pribadi kita dan Allah yang tahu. Selamat bercermin..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun