Mohon tunggu...
Achmad Tijani
Achmad Tijani Mohon Tunggu... -

Sang Pejantan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Oleh-oleh dari Kampung

19 Mei 2015   15:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:49 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_418545" align="aligncenter" width="434" caption="dok. pri"][/caption]

Sub National Implementing Partner (SNIP) Kemitraan Pendidikan Australia Indonesia untuk provinsi Kalimantan Barat telah membawa saya menyisir sejumlah perkampungan di tiga kabupaten sasaran program Kemitraan, yaitu Kabupaten Kubu Raya, Mempawah dan Sambas. Rangkaian penyisiran tersebut tidak pernah terduga jauh sebelum saya menginjakkan kaki di bumi Kalimantan. Rangkaian rekayasa kejadian itu seolah berlangsung cukup cepat, hanya dalam waktu setahun penjelajahan saya sudah menyentuh kampung terdalam di tiga kabupaten tersebut.

Potongan kecil perjalanan hidup saya di atas bagi kebanyakan orang mungkin tidak ada yang istimewa. Hampir dipastikan di kampung pedalaman tidak ada obyek pemandangan yang layak diambil gambarnya untuk dijadikan oleh-oleh dari sebuah perjalanan yang dapat diunggah dan dipamerkan di media sosial agar kemudian mendapatkan jempol dan komentar. Jikapun terpaksa dipamerkan, maka tentu akan kalah pamor dengan oleh-oleh para pelancong yang pergi ke luar negeri dengan oleh-oleh gambar singa,menara kembar, menara eiffel di Prancis serta serta sejumlah gambar menarik lainnya.

Selain minimnya obyek pemandangan, perjalanan ke kampung juga tidak pernah menyajikan moment istimewa, tidak ada pertemuan dengan selebritis, politisi, finalis akademi dangdut dan publik figur ngetop lainnya. Perjalanan ke kampung hanya akan mempertemukan setiap pengunjungnya dengan para petani yang bekerja keras di ladang miliknya, para guru yang tidak berbayar, para ustadz yang ikhlas serta kondisi masyarakat yang hidup penuh dengan keterbatasan. Situasi dan kondisi seperti itulah yang selalu tersajikan pada setiap kali saya melakukan safari ke sejumlah kampung sasaran program Kemitraan Pendidikan Australia Indonesia (KPAI).

Kondisi memperihatinkan tersebut adalah fakta yang dirasakan oleh sebagian besar penduduk di negeri ini. Namun belum terlalu banyak orang yang mau berterus terang menuturkan kondisi tersebut. Pusaran perhatian banyak berhenti pada sudut-sudut kota saja, sudut kampung dan desa terlupakan. Padahal jika dilihat jumlah kota dan kampung di negeri ini masih lebih banyak kampung, namun yang tersurat ke permukaan adalah hiruk pikuk perkotaan. Lalu dimana ruang publik lapak kampung itu dapat eksis?.

Sejatinya penduduk kampungpun tidak terlalu menggugat, jika lapak eksistensi itu tidak tersedia. Mereka sudah nyaman dengan ketulusan, kejujuran dan kesederhanaan yang mereka miliki. Namun jika dibiarkan tidak pernah mendapatkan lapak, maka penguasa bejat akan tertidur pulas dengan selimut kekuasaan dan keserakahannya. Lapak eksistensi bagi kampung sejatinya tidak semata-mata untuk unjuk gengsi, namun hanya sebagai media penyeimbang untuk membangun kesejahteraan yang berkeadilan.

Berlatar kepentingan tersebut di atas, lapak esksitensi kampung menjadi hal yang niscaya. Konsekuensi berikutnya sekaligus jawaban dari pertanyaan mengenai letak lapak eksistensi kampung di atas sangat tergantung pada para generasi muda. Jika generasi muda di negeri ini masih berselimut gengsi dan hedon, maka akan semakin sulit untuk membuka lapak eksistensi kampung tersebut. Bila generasi muda di negeri ini berani mengambil resiko dengan menepikan gengsi, pergi ke kampung kemudian menyuarakan rintihan dampak ketidakadilan, maka dengan sendirinya lapak eksistensi kampung tersebut akan terbuka.

Sekarang, masihkah kita memilih berselfiria dengan berlatar kecongkakan dan kserakahan, atau memilih berdiri tegak berlatar kampung yang penuh dengan keprihatinan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun