Prostitusi sebuah istilah yang sudah tidak asing lagi di negeri ini. Keberadaannya mengundang banyak argumen dari berbagai kalangan. Sebagian kelompok ada yang mengamini, sebagian yang lain juga ada yang mengecam dan membenci keberadaannya. Bagi yang menerima dan yang menolak kehadirannya dapat dipastikan mempunyai nafsu seksualitas yang sama. Pandangan kedua kelompok tersebut mengenai seks selalu menempatkan kenikmatan seks menjadi fantasi puncak yang tak pernah terdaftarkan dalam setiap kamus bahasa apapun di dunia ini. Perbedaan keduanya terletak pada persoalan penyaluran syahwat seksualitas yang dimiliki oleh mereka. Kelompok pro prostitusi lebih condong pada aliran seks bebas, sementara bagi kelompok yang menolak prostitusi menempatkan seks sebagai anugerah Tuhan yang harus berada pada titik sakral, yaitu dengan konsekuensi harus disalurkan sesuai dengan petunjuk Tuhan sang penganugerah kenikmatan seks itu sendiri, yaitu berupa jalan pernikahan.
Kontroversi dan realitas prostitusi sebagai lapak yang menjajakan kenikmatan sesaat mempunyai relasi cukup dekat dengan situasi di negeri ini. Banyak ayat Tuhan yang cukup renyah untuk dikaji pada setiap pernak pernik kehidupan di tempat kotor tersebut. Hal yang paling nampak adalah, transaksi kenikmatan seks oleh penjaja dan pelanggan. Dibalik transaksi tersebut terdapat eksploitasi dan degradasi nilai-nilai kemanusian. Manusia disetarakan dengan komoditi yang dengan semena-mena dapat saja dipakai kemudian dicampakkan begitu saja setelah layu dan tidak dibutuhkan lagi.
Meresapi ayat Tuhan dari bilik prostitusi di atas begitu sangat mirip dengan ulah para penunggu negeri ini. Para penguasanya sering kali menggunakan modus transaksi pembelian amanah dari rakyatnya. Sementara rakyat juga dengan sukarela menjual kepercayaannya dengan seikat rupiah kepada para pemimpin hidung belang. Dalam tempo sesaat kedua belah pihak terpuaskan, pemimpin hidung belang berhasil meluapkan syahwat kebuasannya, sementara rakyat yang dungu dapat memenuhi kebutuhan ekonominya. Selang beberapa waktu, rakyat yang dungu itu mulai dicampakkan, sementara pemimpin hidung belang mulai ngos-ngosan mencari sumber stamina agar pada lima tahun yang akan datang dapat kembali mencumbui para pelacur amanah langganannya.
Pada saat para pelacur itu mulai dicampakkan, sebagian mereka yang mendapatkan jatah minim mulai berani mengumpat sembari diiringi rintihan penyesalan. Sebagian yang lain dengan modal tubuh molek dan montok dengan jatah fee yang besar tentu masih sibuk mengelus dan mengibas sang hidung belang. Sesekali masih sering terlihat bermesraan, walau pada akhirnya seiring dengan menipisnya jatah yang diberikan oleh sang hidung belang, maka sangat mungkin akan berbalik arah untuk menikam.
Berulang kali siklus itu terus berputar, dari masa orde lama berganti nama jadi orde baru, lalu kini bermerek reformasi. Sistem prostitusi itu terus bertahan, berganti orang dan olah permainan. Licin membelut, sulit untuk diberangus. Setiap kali ada upaya untuk menggemboskannya, pada saat yang sama selalu ada kubu yang ingin mempertahankannya. Para penegak hukumpun dibuat pikun, lupa akan jati diri dan aturan hukum. Sesama mereka saling berseteru, saling menggugurkan dan melumpuhkan. Bahkan tidak jarang, sebagian dari mereka justru terbuai di perangkap lapak prostitusi.
Inilah negeri bernama negeri prostitusi, semuanya serba transaksi dan jual beli. Menginjak harga diri dan konstitusi. Menu harian rakyat dan para pemimpinnya adalah birahi. Mudah berpecah dan terperangah, pagi ini berkawan, sore hari menjadi lawan. Hari ini berjanji, esok diluputi. Tragis di atas tragis hidup di negeri prostitusi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H