Dulu aku berpikir sangat sederhana. Ibu pergi bersama saudaranya, meninggalkan aku dan Bapak. Bapak merelakan kepergian Ibu. Walau sesekali aku melihat Bapak memeluk foto Ibu ketika Bapak tidur.
Aku berpikiran kalau Ibu akan pulang dan mengobati kerinduan Bapak atau sekadar mengenakan seragam sekolah buatku di pagi hari kemudian menggandeng tanganku menuju sekolah. Setiap kali kutanyakan itu pada Bapak, Bapak mengusap kepalaku dan mengatakan hal yang sama yang berulangkali terngiang di kepalaku, "Ibu akan pulang".
Sudah sekian tahun, dan kini setelah menamatkan pendidikan di pesantren pun Ibu tak pulang. Selama di pesantren, aku pernah belajar fikih tentang munakahat. Dalam salah satu pembahasan materi pelajaran, aku mendapatkan pengetahuan bahwa, jika suami-istri memisahkan diri sekian lamanya maka mereka sudah dinyatakan cerai. Kemudian aku berpikir sadar bahwa Bapak dan Ibu telah bercerai. Orang yang sudah cerai tidak boleh serumah kecuali telah dilakukan rujuk.
Meskipun begitu, aku tak tahu sebab mengapa Bapak dan Ibu bercerai. Setahuku dulu Ibu dan Bapak terlihat akur, sering bergurau, bahkan sering bermesraan di ruang tengah rumah. Hanya saja ketika Bapak cidera tempurung lututnya, Bapak tak kuat bekerja seperti biasanya. Ibu yang menjadi tulang punggung keluarga. Ibu bekerja seharian, terkadang sampai larut malam. Bila Ibu pulang larut, ia diantar lelaki sampai halaman rumah.
Aku masih kecil untuk memahami keadaan keluargaku. Bagiku Bapak adalah lelaki terbaik yang menjagaku selama ini. Begitu juga Ibu adalah perempuan yang menyayangiku. Aku suka berpikir hal sederhana tentang hubungan orangtuaku. Aku anggap dengan diamnya Ibu sepulang kerja adalah karena Ibu capek seharian bekerja. Bapak tentu tidak akan memaksa Ibu yang letih itu. Tapi lama kelamaan sikap Ibu berubah padaku. Ibu sudah tak mengurusiku lagi. Ibu sudah mengabaikan tanggung jawabnya sebagai orangtua.
Suatu pagi di hari libur, Ibu dijemput lelaki yang biasanya mengantar Ibu pulang. Ia membunyikan klakson mobilnya. Dari dalam rumah Ibu keluar dengan menjinjing tas besar. Ibu melangkah menuju mobil tersebut dan memasukkan barang bawaan dalam jok mobil. Bapak pura-pura tak melihat Ibu. Bapak menekuni koran yang ada di atas meja. Aku berlari mengejar Ibu dan memeluknya. Hari itu Ibu mengecup keningku dan memberiku beberapa lembar uang kertas.
Ibu pergi. Tapi Bapak selalu bilang, Ibu akan kembali setelah urusannya selesai.
***
Sudah tiga hari Bapak  terbaring di ranjang. Tubuhnya kian kurus. Mata Bapak sayu, bibirnya kering. Aku mengajak Bapak untuk dirawat di rumah sakit, tapi Bapak menolak. Bapak lebih suka di rumah.
"Bapak di sini saja, Nak, Bapak akan kuat di ranjang ini."
"Tapi Bapak harus berobat. Bapak harus dirawat."