Aku mengangguk dan memegang pundak Kapper, memberi kekuatan untuk tetap optimis menjalani hidup dan cita-cita.
Perjalanan hidup tidaklah seperti yang kami inginkan, terkadang, di situlah skenario Tuhan untuk mendidik kami menjadi lelaki dewasa yang kuat menjalani semua itu. Dua bulan kami bekerja siang malam untuk mencari biaya kuliah, ternyata tak sampai untuk keberangkatan dua orang. Biaya hanya terkumpul untuk satu orang saja. Bagaimana mungkin kami akan berangkat sendiri, jika aku berangkat, aku tak sampai hati meninggalkan Kapper di rumah dan itu tidak wajar aku lakukan. Dan jika Kapper pergi tentu dia juga akan berpikir sama.
"Baidil, kita sudah berusaha, ayah juga, ibu pun selalu mendoakan, tapi Tuhan berkehendak lain. Uang kita tak cukup. Kita harus bagaimana?"
Aku diam dan memilih kata-kata yang tepat untuk kuberitahu Kapper. Jauh sebelum Kapper memikirkannya aku sudahh berusha mencari solusi agar semua berjalan dengan  baik.
"Maukah kau mendengar saranku, Kapper? Dan menerima usulanku nanti?"
Kapper mengangguk. "Janji?" tanyaku meyakinkan. Kapper mengangguk setuju.
"Bagini, beberapa hari lalu aku sudah memikirkan semua ini Kapper. Aku ingin kau melanjutkan kuliah. Aku pergi merantau untuk bekerja. Aku yakin ini adalah pilihan yang tepat."
"Tidak!" Kapper membantah. "Kita harus sama-sama, kalau aku kuliah kamu juga harus kuliah. Kalau kamu merantau, aku juga ikut."
"Tenanglah, kau harus pikirkan baik-baik Kapper. Kau lebih pantas kuliah dariku. Kau anak pintar melebihiku, kau juga pun pandai dalam berbagai hal. Pergilah, jangan kecewakan kami. Aku sudah beritahu ayah dan Ibu, dan meminta mereka untuk menyetujui usulan ini."
Kami diam seribu bahasa. Tak ada yang dapat kami ucapkan selain menahan ngilu di ulu hati. Ingin rasanya menitikkan air mata, tapi itu tak akan mungkin kami lakukan, sebab bapak paling tuidak suka anak lelaki menangis.
***