Mohon tunggu...
Acep jamaludin
Acep jamaludin Mohon Tunggu... Konsultan - Direktur Kajian strategis dan Pembangunan PT. Sinergi Riset Nusantara

Seorang Aktivis Gerakan Mahasiswa yang fokus terhadap isu soal dan politik dan bekerja sebagai konsultan politik disalah satu perusaan konsultan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bahaya Personifikasi Reformasi ; Jalan Kapitalisasi Aktivis 1998 untuk Tiket Kekuasaan

28 Mei 2023   13:39 Diperbarui: 28 Mei 2023   22:40 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebelumnya saya ingin mengatakan bahwa para aktivis penggerak yang berjuang di tahun 90-an hanyalah sebagai bidan untuk melahirkan reformasi dan generasi 2000-an adalah anak kandung reformasi yang sebenarnya, maka jika kita lihat belakangan ini ada segelintir orang yang melakukan personifikasi bahwa dirinya terlihat si paling berjasa dalam menurunkan soeharto pada tahun 1998 adalah sebuah kesalahan dalam substansi pergerakan reformasi itu sendiri.

Bayangkan berapa banyak aktivis dan generasi yang bergerak untuk melahirkan reformasi dan setiap angkatan melakukan kaderisasi serta pendidikan untuk mencapai puncak reformasi, namun hanya segelintir orang yang mengklaim dan seolah-olah bahwa dirinya secara personal yang berjuang mati-matian dan bahkan cara berfikir dan bertindaknya jauh dari nilai perjuangan reformasi itu sendiri.

bukannya meninggalkan pendidikan dan kaderisasi selain memperlihatkan personifikasi mereka melakukan kapitalisasi reformasi dengan menggunakan tiket 98 untuk berebut jabatan politik strategis, menjadi komisaris, atau jabatan lain di dalam kekuasaan disini terlihat seolah jika mereka hanya bisa mengandalkan tiket 98 dan seperti tidak memiliki modal kapasitas yang lain untuk mencapai kedudukan tersebut .

Ketika semua berfokus kepada momentum 2024 tanpa kita sadari bahwa kita sebagai orang yang berkuliah di tahun 2000-an sebagai anak kandung reformasi itu sendiri tidak diberikan pendidikan ataupun pengkaderan secara substansi mengenai agenda reformasi itu dan bahkan selalu putus tanpa kejelasan tindak lanjut. Sebut saja generasi 2000-an hanya disajikan sebuah arus yang cenderung kabur dari nilai perjuangan reformasi itu sendiri.

Secara tekstual kita bisa dengan mudah mencarinya di google atau chat GPT mengenai poin-poin apa saja yang diperjuangkan ketika reformasi meledak, akan tetapi pendidikan bukan hanya soal kognisi tapi juga ada aspek-aspek lain yang tidak disentuh oleh para senior-senior kita di angkatan sebelumnya. padahal prosesi kaderisasi dan penurunan nilai kepada generasi berikutnya adalah sebuah bentuk pengabadian nilai-nilai perjuangan dalam hal ini reformasi.

Saya teringat ketika menjadi ketua senat mahasiswa universitas di kampus UIN Bandung di tahun 2018, ketika itu ada teman yang mengajak berdiskusi mengenai 20 tahun reformasi yang sayangnya dalam agenda diskusi tersebut saya hanya melihat sebuah wacana pengkultusan tokoh tertentu yang pada waktu itu sangat terkenal dan dianggap sebagai barometer aktivisme untuk angkatan saya. 

Lebih lanjut lagi, sebuah penilaian terhadap aktivis yang akan berakhir menjadi seorang politisi yang handal rasa-rasanya kok agak meragukan ya. Begitulah pandangan saya dan mungkin kita semua juga bisa menilai dari menonton televisi dan media lainnya. Artinya ada sesuatu yang putus dalam pendidikan dan pengkaderan untuk anak kandung reformasi dari para aktivis 90-an.

Sebut saja organisasi yang menaungi para aktivis ini yang paling terkenal PENA 98 yang dipimpin oleh politisi PDIP yakni Adian Napitupulu mereka berlomba untuk menjadi relawan di momentum politik 2024 tanpa menilai substansi awal yang mereka perjuangkan sebelumnya, saya kira mereka melakukan konsep oposisi biner dimana ada 2 isu yang berlawanan namun menghindari substansi yang sebenarnya.

25 tahun reformasi ini saya mencoba ingin membuat sebuah penegasan bahwa 98 dan perjuangan reformasi bukan hanya personal 1 atau 2 orang saja juga bukan soal dukung mendukung apalagi malah menghilangkan substansi reformasi itu sendiri. Saya mencoba memberikan tanggapan untuk dibaca oleh para aktivis 90-an yang merasa paling berjasa mengenai kemajuan bangsa ini, namun saya perlu mempertegas jika saya tidak mengkritik mengenai substansi agenda reformasi saya hanya mengkritik dan mengingatkan kepada orang-orang yang secara personal merasa dirinya lah yang paling berjasa dalam agenda reformasi bahwa perjuangan ini belum selesai.

kenapa saya melakukan ini?. saya hanya teringat pernah membaca buku karya sukandi abdul karim dengan judul Politik Kekerasan Orba ; Akankah Terus Berlanjut? bukan untuk membedahnya namun saya ingin menjawab bahwa ternyata hal tersebut masih berlanjut dimana oposisi biner untuk mempertahankan kekuasaan terus dilakukan dan yang disayangkan semua konsep ini di lakukan dan di bantu oleh orang orang yang mengaku aktivis 98, saya tidak perlu menjelaskan secara rinci tapi teman-teman pasti sudah mengetahui bagaimana kekuasaan bekerja saat ini menggunakan kekerasan fisik yang memaksa dan kekerasan non fisik yang membujuk yang pada akhirnya orang yang ditindas tidak merasakan ditindas.

Semua sudah terlambat tidak mungkin bisa diperbaiki sebab ada perumpamaan bahwa gelas yang sudah pecah tidak akan bisa dikembalikan ke bentuk asalnya dengan cara apapun. Menuju akhir tulisan saya ingin mengutip tulisannya A. Rahman Tolleng NEGERI INI MILIK KITA BERSAMA Sebuah Renungan bagi Kaum Muda yakni "Anak muda sekarang tentu tidak tahu para pejuang dulu dijuluki kaum "Republikein".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun