Mohon tunggu...
ACEP KURNIA
ACEP KURNIA Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

#Jakarta

15 Oktober 2015   19:15 Diperbarui: 15 Oktober 2015   19:36 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbagi Air Berbagi Masalah

Kemarau panjang dampaknya tidak hanya bagi orang pedesaan, orang perkotaan pun pasti kebagian merasakannya. Apalagi di ibu kota Jakarta. Mungkin yang membedakan, jenis atau macam dampaknya saja. Jika di daerah Sumatra sana, Riau ada "kebakaran" hutan yang berdampak kabut asap yang sangat menggangu, mungkin untuk petani di pedesaan akan sangat dirasakan ketika kekurangan air untuk menyiram tanaman pertaniannya.

Adalah di Ibu Kota Jakarta, dampak yang terasa diantaranya adalah suhu udara yang semakin panas. Mereka yang berduit mungkin cukup tertolong dengan adanya pendingin ruangan. Bagi yang "belum" memiliki pendingin ruangan, yaa.... nikmati saja lah.

Tapi, ada sebuah kejadian menarik yang berhubungan dengan dampak kemarau panjang di ibu kota. Bukan cuma suhu udara yang memang sudah cukup panas, masalah kekeringan juga ternyata cukup terlihat mulai merata. Nah, disini lah menariknya. Kata sebagian orang, warga ibu kota itu individualistis, tidak pedulian, apatis, sibuk dengan urusan masing-masing dan banyak lagi hal-hal minus tentang kehidupan sehari-harinya. Tapi......., mari melihat sisi lain dari apa yang saya lihat beberapa hari ini. Bukan kebetulan kalau saya menemui beberapa orang berkumpul di sudut-sudut rumah warga. Bukan sedang berdemo, juga bukan sedang berunjuk rasa, melainkan mereka sedang mengantri untuk mendapatkan air bersih. Ya! Air menjadi barang istimewa saat ini bagi sebagian warga Jakarta. Air dari perusahaan air minum yang tersendat bahkan lebih sering kering, tidak mengalir. Juga, dari depo-depo pengisian air isi ulang atau air mineral yang tidak bisa diandalkan pesanannya, selain cukup mahal jika digunakan untuk keperluan mandi, cuci, dan kakus. Maka, solusi "berbagi air" dengan tetangga yang masih mendapatkan limpahan air, biasanya mereka yang menggunakan fasilitas sumur bor air tanah, adalah cara paling ekonomis dan praktis. 

Yang menarik untuk diceritakan adalah tak jarang mereka harus "berbagi air" dari rumah orang yang biasanya segan untuk dikunjungi. Karena, normalnya, tetangga mereka itu adalah orang yang dianggap termasuk kategori "hal minus" tentang warga ibu kota tadi. Pada hari-hari biasa, jangankan untuk masuk ke pekarangan rumahnya, yang berpagar tembok yang tinggi dan pintu gerbang rumah yang selalu tertutup rapat. Tapi, beberapa hari ini mereka sering tampak berkumpul disana. 

Hal biasa memang, tapi yang menurut saya luar biasa adalah bagaimana "berbagi air" dapat mecairkan anggapan-anggapan minus, walaupun mungkin hanya sementara. Tuan rumah yang stok airnya masih berlimpah rela berbagi dengan tetangganya, tidak ada perbedaan status diantara mereka, bahwa satu dan lainnya seolah sadar tanpa doktrin dan komando, mereka sama-sama membutuhkan air. 

 Air, adalah simbol hidup dan kehidupan. Dunia ini sebagian besar adalah air. Tubuh kita, sebagian besar adalah air. Air yang mengalir di dalam tubuh adalah penopang hidup. Air yang mengalir di seluruh bumi adalah sumber berbagai kehidupan di dalam dan sekitarnya. Air adalah berkah yang tak terhingga dari Tuhan YME, Maha Pencipta Alam Semesta.

Air yang berlimpah di sebagian rumah mereka manakala di rumah-rumah tetangga yang lain menjadi langka, pastilah berkah Tuhan yang dilimpahkan kepada mereka yang berhati baik. Air mencerahkan hati dan menyejukkan jiwa si pemilik rumah. Hingga dengan kehendak-Nya, maka, mengalirlah berkah itu kepada tetangga disekeliling rumahnya pula. 

Tidak terlihat raut muka yang "abu-abu", berpura-pura baik, semua ceria, canda dan tawa terlihat diantara mereka, ibu-ibu, suami-suami mereka, anak-anaknya juga, yang sedang bergantian mengisi tempat-tempat air masing-masing. Tertib.  Si tuan rumah yang ramah dan tetangganya yang sudah barang tentu lebih sopan. Indah. 

Selesai?  Belum.

Pada saat para tetangga selesai mengambil beberapa ember air atau wadah lainnya, untuk dibawa ke rumah mereka masing-masing, sebuah komunikasi ringan pun terdengar diantara mereka. 

Tetangga : " Terimakasih banyak ya bu, atas bantuannya."

Tuan rumah : " Sama-sama. Kalau masih kurang, silakan nanti ambil lagi airnya."

Tetangga : " Iya, bu. Terimakasih, sudah direpotkan."

Tuan rumah : " Tidak apa-apa, namanya juga sama tetangga."

Tetangga (dengan nada sedikit bercanda) : " Bu, maaf, ini airnya gratis kan ya?" 

Tuan rumah (sambil tersenyum) : " Bayar! Hahaha, bercanda bapak ibu, gratis lah, masa bayar, sih.Tapi..... nanti kalau saya perlu air boleh kan saya juga mengambil air di rumah ibu atau bapak...?"

Tetangga (serentak) : "Siaaaap!"

     Dan mereka pun kembali ke rumah masing-masing dengan raut wajah yang lebih segar. Karena, masalah air hari ini sudah selesai. 

Masalah? Ya! Air terkadang menjadi masalah. Saat musim hujan, air yang terlalu berlimpah, menjadi masalah. Banjir. Dan, di musim kemarau yang panjang, air pun menjadi masalah. Ada baiknya, setiap masalah dapat diselesaikan dengan cara-cara seperti di atas. Tidak perlu menunggu orang lain, petugas jasa pelayanan, bahkan pemerintah. Apalagi hanya bisa menyalahkan tanpa memberi solusi. Akan lebih bijaksana, kiranya setiap apa yang Tuhan beri dan kita nikmati, kita dapat syukuri. Solusi terbaik adalah dimulai dari memecahkan masalah terkecil, terdekat dengan hidup kita. Seperti cerita di atas dengan "berbagi air" maka telah "berbagi masalah" dan satu masalah pun selesai. Semoga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun