Soek Hok Gie pernah bilang; Sejarah dunia adalah sejarah pemerasan. Apakah tanpa pemerasan sejarah tidak ada? Apakah tanpa kesedihan, tanpa pengkhianatan sejarah tidak akan lahir?
Tiba – tiba jadi teringat sesuatu. Senin kemarin, sehabis pulang liputan demo mahasiswa tentang ruang terbuka hijau di Babakan Siliwangi Bandung (yang ditakutkan mahasiswa rentan untuk dipolitisir). Satu angkot dengan sesosok bapak tua seorang pegawai negeri sipil, sekursi duduk di depan, si bapak sedang asyik berbincang dengan pak sopir. Temanya pun sepertinya serius sekali, lika – liku pemerintahan.
Telinganya langsung meruncing pas sampai di bagian saat si bapak tua itu bilang. “Dulu jaman Soeharto yang korup itu Cuma orang – orang pusat, sekarang setelah reformasi semua orang bisa korup dengan bebas, camat korup, kades korup, ketua RT semuanya korup, malah anak buah ketua RT kayaknya korup, otonom cuma bisa menahan uang tidak langsung tersedot ke pusat, itu karena kebanyakan sudah diminum dulu ketika masih ada di bawah permukaan”.
Lucu. Padahal baru satu jam lalu ikut lihat para pemuda – pemudi dengan semangat entah apa namanya, teriak – teriak minta wakilnya jangan terlalu memikirkan uang tapi jumlah oksigen sehat bagi warga juga harus ikut di renungkan, dengan mempertahankan Babakan Siliwangi salah satunya.
Tersenyum satire pas tiga minggu yang lalu juga pernah bertemu dengan sesosok bapak lain. Bermata sipit asal seberang yang tiap hari menjajakan rokok di jalanan depan kantor besar Bank swasta. 17 tahun bertahan jadi tukang rokok, tidak ada yang pernah tahu alasannya bertahan jadi tukang rokok, tidak ada juga yang memberi tahu bahwa hampir tidak ada bedanya menjajakan rokok selama 1 hari dengan 17 tahun. Yang jelas si bapak sipit asal seberang itu tetap bertahan jadi tukang rokok. Direktur bank swasta tidak ada yang bisa bertahan selama itu, terhitung sudah ganti lebih dari 5 kali. Ia masih seperti 17 tahun yang lalu “roko-roko-roko, akua-akua-akua”. Sedih.
Jujur, selain harus mencintai negeri ini sepertinya kita juga harus mengakui kepada dunia bahwa kita memang sedikit sakit, dari sedikit-sedikit-sedikit dan akhirnya menjadi bukit. Semua orang teriak dimana – mana menuntut keterbukaan, semuanya menuntut reformasi, menuntut keadilan, menuntut transparansi atau apalah namanya ternyata di sisi lain hasilnya hanya membuka kran air rakyat mengalir bebas kemana – mana, terus mengalir dan mengalir sampai akhirnya membentuk sedimen di saku – saku para ‘raja kecil’ yang tidak terjamah unjuk ini – unjuk itu.
Aliran ‘air’ di kita membentuk pengairan yang tidak sehat, saling sumbat di mana – mana. Disadari atau tidak kita telah menyumbat sawah tetangga kita, tetangga kita menyumbat sawah tetangga lain, dan hanya Tuhan yang tahu siapa menyumbat siapa lagi.
Ya (mungkin) seperti itulah keadaannya, terlepas dari jumlah rejeki yang telah di tetapkan oleh sang Khalik (termasuk di dalamnya datang dari yang baik ataupun yang buruk). Pada derajat tertentu kita telah melempar pencuri dengan sebongkah emas sebaliknya tanpa sengaja kita telah menyiram kebun – kebun para petani dengan asam sulfat high consentrate, ujung – ujungnya they only cathing their eye drops.
Dan andaikata sejarah itu benar – benar tersusun dari pemerasan, kesedihan dan pengkhianatan seperti katanya Gie. Kita sudah diambang sempurna untuk menjadi ‘sejarah’.
Just my two cents.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H