Aku seharusnya bangga. Sepatutnya pula bahagia. Bukan celaan yang harus kudapatkan dari orang lain. Tak sepantasnya pula aku diinjak-injak oleh mereka. Kebahagiaan yang harusnya kunikmati, berbalik seratus persen. Itu karena kelakuan bapakku sendiri.
Aku sangat bersyukur. Terlahir dalam keluarga yang pandai dan kaya. Bapakku cerdas. Ia gagah dan pandai berbicara di hadapan banyak orang. Ibuku kaya. Mempunyai sawah yang begitu luas dan tumbuh subur. Tanah yang indah dengan segala kekayaan alam yang dikandungnya.Kebun dengan aneka buah-buahan dan sayur-sayuran. Menyediakan pangan yang takterhingga.
Tapi, aku justru tak merasakan kebahagiaan itu. Setiap hari aku harus menyaksikan ibuku menangis. Melihat tingkah bapak semakin hari, semakin bengis. Ibuku tak sekalipun pernah protes. Ia ikhlas memberikan semua hartanya untuk bapak. Tanah, sawah, dan kebun. Semua menjadi milik bapak. Bapak sendiriyang mengelola hasilnya. Aku yang mencangkul, membajaknya, menanam, hinggamemanennya.Kami berharap semua itu digunakan untuk kebutuhan keluarga setiap hari. Makan, sekolah, kesehatan keluarga, pakaian, rumah, biaya listrik, biaya air, dan sebagainya.
Aku kaya tapi miskin. Baju yang kupakai ke sekolah sudah robek-robek. Celanaku kusam. Aku satu-satunya siswa yang tidak mampu membeli buku. Aku pun sering tidak jajan di sekolah. Hanya sesekali aku mendapat uang jajan. Bukan setiap hari. Meskipun telah bekerja keras seharian membantu bapak membajak sawah. Jika ada, jumlahnya tak pernah menentu.
Aku tak seharusnya begini. Aku anak oranng kaya. Kok aku memakai baju robek-robek? Seharusnya aku mampu membeli baju baru. Toh kekayaan ibuku berlimpah ruah. Hasil sawah dan kebun bisa digunakan untuk memenuhikebutuhanku – pakaian sekolah, buku-buku, sepatu, dan sebagainya.
Sayang, bapakku tak pernah memikirkan itu. Ia sibuk dengan urusannya sendiri. Hasil pengelolaan tanah – sawah dan kebun – digunakan sesuka hatinya. Untuk bisnis dengan teman-temannya, berjudi, dan lain-lain. Uang yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan keluarga tak pernah cukup. Tak jarang kami kelaparan di rumah sendiri. Ia seakan tak mau peduli kebutuhan keluarganya.
Ku perhatikan ibuku yang hanya bisa pasrah. Tidak mampu berbuat apa-apa. Bahkan untuk memprotes uang belanjaan yang diberikan bapak, ia tak sanggup. Aku pernah mempertanykan sikap ibu itu. Ibu menjawab dengan sabar. Ia mengatakan, “Bapak sebagai pemimpin yang berhak menentukan nasib keluarga ini. Tanggung jawab keluarga ada padanya. Kita hanya bisa memberi saran dan pendapat kepadanya. Tapi itu semua terserah bapak. Mau menerima atau tidak. Dia ‘kan pemimpin kita. Karena kita sendiri yang telah memilihnya menjadi pemimpin di keluarga ini.”
Mendengar jawaban ibu, aku jadi semakin tidak respek lagi kepada bapak. Begitu teganya ia memperlakukan ibu yang begitu sabar menghadapinya. Padahal kebun dan sawah itu kepunyaan ibu yang diberikan kepada bapak. Dalam hati aku mulai marah kepada bapak. Emosiku menjadi tak menentu.
Suatu hari aku bertanya kepada bapak, mengapa uang belanjaan yang ia berikan tak pernah cukup? Mengapa keluarga kita menjadi seperti begitu susah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari? Ia menjawab, katanya kita harus menghemat pengeluaran keluarga. Dengan cara mengurangi uang belanja ibu dan tidak memberiku uang jajan.
Awalnya aku bisa memahami jawaban bapak. Tetapi kemudian aku tiba-tiba kaget. Belakangan aku mengetahui bahwa bapak telah menjual beberapa hektar sawah dan kebun. Aku pun mencari tahu sebab ia melakukan hal itu. Usut demi usut, ternyata bapak mempunyai utang yang sangat banyak. Keluarga terpaksa menanggung semua utang bapak.
Aku mencoba menebak apa yang menjadi sebabnya. Mungkin akibat dari berjudi. Atau pun bisnis bapak yang mulai merosot. Sehingga ia harus berutang pada orang lain. Aku jadi bertanya-bertanya. Bisa-bisanya semua ini ter jadi. Kekayaan ibu begitu banyak. Bapak orang yang sangat cerdas. Apakah kecerdasannya tidak mampu mengelola kekayaan keluarga dengan baik? Atau ada hal lain yang mempengaruhi bapak?
Aku jadi heran. Kami orang kaya yang berutang. Aku tak habis pikir. Jadi, selama ini harta ibu, bapak gunakan untuk apa? Hasil sawah dan kebun dijual ke mana? Dan hasil penjualannya digunakan untuk apa?
Semakin hari, utang bapak malah semakin bertambah. Harta ibu terus dikuras. Setiap hari ibu menangis. Melihat kondisi keluarga yang semakin miris. Jadilah aku yang sering meminta-minta pada temanku. Hanya sekadar untuk mengisi perut.
Ah, sampai kapan aku membiarakan hal ini. Aku tak boleh tinggal diam. Melihat ibu yang kian hari menderita. Dan bapak yang telah menjadi tirani dalam keluarga. Aku harus berani melawan bapak. Dan berusaha menyadarkan bapak.
Aku mulai membangkang terhadapnya. Membantah setiap perintahnya. Meskipun itu hanya untuk membuatkannya kopi. Aku mulai angkat bicara. Menegurnya sedikit demi sedikit. Ku coba berbaik hati mengajaknya diskusi. Tapi ia mengabaikanku. Tidak mempedulikan kata-kataku. Ia pun menjadi keras kepala.
Dalam hati aku mulai muak. Aku mulai berani berbicara keras kepadanya. Kemudian membentaknya. Lalu meneriakinya. Suaraku terdengar tetangga. Aku tak peduli. Rasa hormatku pada bapak sudah hilang. Bahkan aku sudah berani berbicara kasar kepadanya. Mengkritik dengan makian. Aku tak menghiraukan statusnya sebagai bapakku. Tapi ia tak bergeming sekalipun. Ia tak mau berubah. Watak tiran telah mendarah daging di tubuhnya.
Suatu waktu ia tidak tahan dengan tingkahku. Yang sering berteriak keras di depannya dan membantah perintahnya. Waktu itu ia membawa sekelompok orang ke rumah. Jumlah mereka lima orang. Pikirku itu teman-teman bapak. Belakangan ku tahu bahwa mereka adalah bodyguard bapak.
Mereka terlihat sangar. Posturnya tinggi dan berbadan kekar. Berpakaian rapi serba hitam. Jaket kulit dan celana panjang. Tampaknya bapak sudah tidak tahan lagi mendengar cacianku. Ia menyuruh kelima orang itu memukuliku hingga mukaku penuh darah dan benjolan. Entah berapa kali tinju dan pentungan mendarat di kepala dan lenganku. Tak terhitung pula berapa kali sepatu laras menghantam rusukku. Hingga terdengar retakannya. Sampai aku tak mampu bangkit lagi. Setelah itu mereka pergi. Meninggalkanku dengan cucuran darah.
Semenjak kejadian itu, aku semakin membenci bapakku. Dalam hatiku tak berhenti caci maki terhadapnya. Ku ceritakan semua kelakuan bapakku pada orang lain. Sahabat, teman-teman, hingga tetanggaku. Aku melakukan itu agar banyak orang yang membenci bapak. Bukan cuma aku.
Aku selalu meneriaki bapak setiap ku lihat dia. Di mana pun itu. Meneriaki dan mengejek seolah ia tak pernah jadi bapakku. Meneriakkan segala kesewenang-wenangannya. Penyiksaan terhadap ibu dan anaknya. Penindasan terhadap keluarganya sendiri.
Ibuku masih saja menangis. Ia tak pernah berhenti. Sedikit lagi, matanya akan mengeluarkan darah. Kini bapakku menjadi tirani. Tidak seperti dulu lagi. Yang ketika aku masih kecil, sering mengajariku tentang domokrasi. Aku menyadari diriku. Bahwa aku bukan lagi anak kecil. Aku sudah dewasa. Mampu berpikir mana yang haq dan bathil.Tirani itu harus ditumbangkan. Agar tak lagi penderitaan dalam keluargaku. Agar tangisan ibuku berhenti. Dan berganti dengan senyuman.
Tirani itu harus hilang. Pergi menjauh dari keluarga ini. Sekalipun ia bapakku sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H