Mohon tunggu...
RZ Hakim
RZ Hakim Mohon Tunggu... lainnya -

Rakyat biasa yang senang menulis. Kini tinggal di Kalisat, kabupaten Jember.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kisah yang Tertinggal di Kedungsari Surabaya

3 April 2015   16:19 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:35 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KIM YUN. Saya mencintai Surabaya. Di sinilah dulu Bapak sering mengajak saya jalan-jalan. Perjalanan Jember-Surabaya ditempuh dengan kereta api. Anak kecil mana di Jember yang tak suka naik kereta api? Apalagi dia adalah cucu seorang masinis.

Adalah JL. Kedungsari Nomor 12 Surabaya, sebuah rumah kecil tempat saya menitipkan kenangan masa kanak-kanak.

Di sana tinggal seorang Nenek bernama Burani. Kata Bapak, ia adalah Kakak kandung Ibunya, Sulami, kelahiran 1930. Jadi, Burani adalah Nenek saya juga, lebih tua dua-tiga tahun dari Sulami.

Burani dan Sulami dilahirkan di sebuah desa bernama Pekandangan, masuk kabupaten Sumenep, Madura.

Suatu hari beberapa warga menjumpai seorang lelaki yang terdampar di pantai dekat Pekandangan. Ia tak bisa bahasa Indonesia, tak mengerti bahasa Madura. Lelaki asing itu adalah seorang Cina totok. Entah bagaimana kisahnya hingga bisa terdampar di Madura.

Selanjutnya, lelaki asing tersebut dirawat dan diperlakukan sebagai seorang tamu. Ia tidak bernama. Kadang, orang Pekandangan memanggilnya Kacong.

Sementara itu, di luar sana telah terdengar kabar jika Jepang hendak memasuki wilayah Hindia Belanda, menggantikan posisi Belanda. Ini kabar buruk bagi warga Hindia Belanda etnis Cina, sebab ketika itu hubungan Jepang-Cina sedang dalam kondisi sangat buruk.

Lama-lama lelaki asing tersebut bisa berbahasa Madura meski sepatah-sepatah. Di masa pendudukan Jepang, orang-orang Pekandangan menyarankan agar ia menikah dengan Burani, kakak Sulami.

Lalu mereka menikah.

Pasangan ini dikaruniai seorang putri berkulit putih dan bermata tak terlalu sipit. Ia bernama Kim Yun, anak semata wayang dari pasangan Burani dan lelaki asing. Saya memanggilnya Budhe, kadang-kadang saya panggil dia tante.

Keluarga kecil itu kemudian hijrah dari Pekandangan menuju Kedungsari-Surabaya untuk berdagang cao dan membuka depot.

Saat besar, Kim Yun menikah dengan Li Wi Cong. Mereka memiliki anak bernama, A Mi (Sulastri), A Bing (Sumiati), A Wun (Sukamto), dan yang bungsu bernama Li Ya Sin (Yasin).

Meskipun sudah sempat dicegah oleh Burani, Kim Yun dan Li Wi Cong cerai di tahun 1985. Tak lama kemudian Li Wi Cong meninggal dunia. Burani sendiri, ia meninggal dunia di pemula tahun 1990an dan dimakamkan secara Kristen di Surabaya, tapi di Jember ia ditahlilkan secara Islam. Keturunan Burani masih menempati rumah Kedungsari Surabaya hingga sekarang.

Saya mencintai Surabaya. Ketika mengenangnya, yang terlintas adalah wajah Kim Yun dan lelaki kecil bernama RZ Hakim.

*Catatan kecil ini saya hadiahkan untuk Odol dan Melia di Surabaya. Selamat menikah. Jadilah seperti pasangan Burani dan lelaki asing itu, mereka saling melengkapi dan saling belajar setia. Mesti kisah mereka tak bisa dijadikan teladan oleh Kim Yun, setidaknya orang lain bisa menjadikannya inspirasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun