Dalam era digital yang semakin berkembang pesat seperti sekarang ini, fenomena FOMO atau "Fear of Missing Out" menjadi semakin merasuk ke dalam kehidupan sehari-hari, terutama di kalangan mahasiswa. FOMO merujuk pada perasaan cemas atau kekhawatiran yang timbul ketika seseorang merasa bahwa mereka sedang melewatkan momen atau pengalaman yang menyenangkan, penting, atau berharga yang sedang terjadi dalam kehidupan orang lain. Fenomena ini tidak hanya terjadi secara individual, tetapi juga dapat dipengaruhi oleh interaksi sosial dan tekanan budaya.
Salah satu contoh konkret dari fenomena FOMO di kalangan mahasiswa adalah ketika mereka merasa perlu untuk selalu terlibat dalam berbagai aktivitas sosial, akademik, dan ekstrakurikuler demi menjaga kehidupan sosial yang aktif dan reputasi yang baik di antara teman-teman mereka. Sebagai mahasiswa, terlibat dalam berbagai kegiatan di kampus seperti organisasi mahasiswa, seminar, workshop, dan kegiatan sosial menjadi suatu hal yang dianggap penting untuk meningkatkan keterampilan, memperluas jaringan, dan memperoleh pengalaman yang berharga.
Namun, dalam upaya untuk tidak ketinggalan dari pengalaman-pengalaman tersebut, mahasiswa sering kali menempatkan diri mereka dalam tekanan yang berlebihan dan merasa tidak puas dengan kehidupan mereka. Mereka mungkin merasa terus-menerus perlu untuk memperbarui media sosial mereka dengan berbagai foto dan cerita dari kegiatan-kegiatan yang mereka ikuti, merasa tidak nyaman ketika mereka tidak dapat menghadiri suatu acara atau pertemuan, atau bahkan mengorbankan waktu tidur atau studi demi terlibat dalam berbagai aktivitas.
Dampak dari fenomena FOMO ini dapat sangat merugikan bagi kesejahteraan mental dan emosional mahasiswa. Ketika seseorang terlalu fokus pada apa yang sedang terjadi di kehidupan orang lain, mereka cenderung mengabaikan atau mengesampingkan kebutuhan dan keinginan mereka sendiri. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan tingkat stres, kecemasan, dan bahkan depresi. Selain itu, FOMO juga dapat menyebabkan perasaan rendah diri dan kurangnya kepuasan terhadap kehidupan sendiri, karena mahasiswa mungkin merasa bahwa kehidupan mereka tidak sebahagia atau seberhasil kehidupan orang lain yang mereka lihat di media sosial.
Tidak hanya itu, fenomena FOMO juga dapat berdampak negatif pada kinerja akademik mahasiswa. Ketika mereka terlalu sibuk mencoba untuk terlibat dalam berbagai aktivitas di luar jam kuliah, mereka mungkin mengorbankan waktu dan energi yang seharusnya mereka alokasikan untuk belajar dan menyelesaikan tugas-tugas akademik. Akibatnya, mereka mungkin mengalami penurunan kualitas hasil belajar dan bahkan risiko mengalami kegagalan akademik.
Untuk mengatasi fenomena FOMO ini, penting bagi mahasiswa untuk belajar mengenali dan mengelola emosi mereka dengan baik. Mereka perlu memahami bahwa tidak mungkin untuk terlibat dalam semua kegiatan atau pengalaman yang tersedia, dan bahwa itu tidak apa-apa untuk memilih prioritas yang sesuai dengan kebutuhan dan minat mereka sendiri. Selain itu, penting juga untuk belajar untuk menghargai dan bersyukur atas apa yang sudah dimiliki daripada terus-menerus membandingkan diri dengan orang lain.
Perguruan tinggi juga dapat memainkan peran penting dalam membantu mahasiswa mengatasi fenomena FOMO ini dengan menyediakan sumber daya dan dukungan yang diperlukan, seperti konseling psikologis, program pelatihan keterampilan manajemen waktu dan stres, dan ruang untuk diskusi dan refleksi tentang tekanan sosial dan budaya yang mereka hadapi.
Dengan mengenali dan memahami fenomena FOMO serta dampaknya, mahasiswa dapat lebih baik menavigasi kehidupan kampus mereka dengan lebih seimbang dan membangun kesejahteraan yang lebih baik secara keseluruhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H