Mohon tunggu...
Annas Chairunnisa Latifah
Annas Chairunnisa Latifah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

proud daughter of Agus Karyadi | Calon Menparekraf yang suka jalan-jalan sambil menikmati matahari terbenam | https://twitter.com/annaskaryadi , http://instagram.com/annaskaryadi , annaskaryadi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Menanti Transparansi dan Reduksi UKT  

9 Agustus 2015   21:58 Diperbarui: 9 Agustus 2015   22:03 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah dua tahun sistem pembayaran uang kuliah di seluruh perguruan tinggi negeri  menggunakan sistem uang kuliah tunggal (UKT). Sebuah sistem yang di awal rencana pemberlakuannya digadang-gadang akan menciptakan keadilan biaya kuliah bagi mahasiswa dengan adanya penggolongan nominal UKT sesuai kemampuan ekonomi berdasarkan berkas asset keuangan yang dimiliki keluarganya. Kata ‘keadilan’ yang digemakan pada awal pemberlakuannya seolah menjadi harapan bagi mahasiswa baru angkatan 2013 di kala itu, untuk mendapatkan golongan dengan nominal UKT terendah atau setidaknya masih berada dalam jangkauan kemampuan ekonomi keluarganya.

Di tahun 2015, memasuki tahun ketiga pemberlakuan sistem UKT semakin perlu rasanya menyangsikan “keadilan” yang dahulu digemakan. Saya adalah satu dari sekian banyak mahasiswa angkatan 2013 yang merasakan ketidakadilan dari sistem ini. Berikut ini adalah paparan yang perlu dibaca dan ditindaklanjuti

Mempertanyakan UKT

Saya adalah mahasiswi jurusan sastra Indonesia yang kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di Jawa Tengah. Saat ini sudah empat semester saya lalui dengan membayar UKT golongan V (golongan tertinggi) , Rp 5.500.000 / semester. Total sudah Rp 22.000.000 telah dibayarkan orang tua saya untuk membiayai anaknya yang “hanya” kuliah ilmu sastra. Jika saya lulus tepat waktu (empat tahun), tentu saja perkuliahan saya akan memakan biaya Rp 44.000.000, belum ditambah dengan biaya hidup di ibukota provinsi yang tidak bisa dibilang murah. Pantaskah?

Awal penetapan golongan UKT saya telah mengajukan banding. Sayangnya, data yang diisi dengan sebenar-benarnya itu ditolak. Padahal keluarga kami benar-benar berharap bisa masuk golongan III dengan nominal UKT Rp 3.250.000/ semester. Terpaksa, karena pembayaran UKT adalah salah satu syarat daftar ulang, maka nominal yang lebih besar dari gaji bulanan ayah tersebut harus dibayar. Setelah melewati masa orientasi, saya mencoba mencari informasi banding ulang. Nominal UKT golongan V terlalu berat untuk ayah saya, seorang PNS yang akan memasuki masa pensiun dengan menanggung tiga orang anak. Dengan penuh harap saya menemui pembantu dekan yang membidangi seputar keuangan. Keinginan saya ditolak mentah-mentah, dari beliau pula saya mengetahui bahwa mahasiswa yang orang tuanya bekerja sebagai PNS dengan gaji di atas tiga juta rupiah, otomatis digolongkan pada UKT golongan V. Kenyataan tersebut memang pahit untuk dirasakan. Kenyataan yang lebih pahit juga dialami kawan-kawan saya. Mereka dengan orang tua yang berprofesi sebagai petani, pegawai pabrik, bahkan dengan ibu berstatus janda juga ada yang menyandang UKT golongan V. Ada pula fakta bahwa apa pun profesi orang tuanya, jika lolos melalui UMB-PT maka langsung digolongkan pada golongan V. Setali tiga uang, permintaan banding mereka juga ditolak. Rupanya setelah mencari informasi via internet, perbandingan penyandang golonga UKT adalah 20% digolongkan pada golongan I dan II, sisanya sejumlah 80% menjadi penyandang golongan III, IV dan V.

Sejauh ini saya belum merasakan dampak signifikan dari sistem UKT, selain kecemburuan sosial yang  diam-diam saya simpan dalam hati. Cemburu pada mereka yang bisa mendapatkan golongan UKT lebih rendah dengan memanipulasi data banding, juga pada mereka yang memperoleh Bidik Misi namun sebenarnya tak berhak. Pernah saya mencoba menanyakan pada birokrat mengenai transparansi penggunaan UKT, namun jawaban yang diberikan selalu retoris. UKT masuk ke dana negara lalu di distribusikan ke universitas kemudian ke fakultas, sehingga meskipun fakultas merupakan pokja penetapan UKT, fakultas tidak pernah bisa memberikan transparansi dana UKT yang telah mereka tetapkan dan menyusahkan hajat hidup banyak mahasiswa.

Sistem UKT inilah yang membuat proses kuliah tidak bisa santai (setidaknya bagi saya) dan kebutuhan untuk mengembangkan softskill di organisasi kampus terasa tidak nyaman. Bayang-bayang UKT membuat saya merasa harus bisa lulus tepat waktu, tiga setengah tahun jika bisa demi meredam mahalnya biaya kuliah yang harus dibayarkan.

 

Bidik Misi, Misi salah Bidik ?

Seringkali, orang-orang mengira bahwa saya adalah mahasiswa Bidik Misi. Entah karena raut muka yang selalu nampak lusuh atau memang saya terlihat kere. Saya hanya tertawa setiap kali orang salah sangka. Saya tahu betul bahwa Bidik Misi adalah akronim dari Beasiswa Pendidikan Mahasiswa Miskin Berprestasi, pun ayah saya adalah seorang yang lurus dan tidak akan pernah mengizinkan anaknya mengambil hak orang lain. Kami hanya tahu diri, bukan orang miskin tetapi juga tidak kaya raya. Sayang, pada praktiknya beasiswa yang ditujukan untuk membantu mahasiswa kurang mampu ini terkesan salah sasaran. Tidak hanya di perguruan tinggi tempat saya kuliah, tetapi juga di beberapa perguruan tinggi lain . Meskipun ada mahasiswa Bidik Misi yang benar-benar mengikuti proses kuliah dan kegiatan organisasi dengan bertanggung jawab, namun jamak ditemukan mahasiswa Bidik Misi dengan kehidupan akademis dan gaya hidup yang “menyimpang”. Sering membolos kuliah, nebeng tugas, dan praktik menitipkan daftar hadir (TA) adalah penyimpangan yang dapat saya temukan di kehidupan akademis mereka. Sedangkan pada gaya hidup, saya sering mendapati mahasiswa Bidik Misi berperilaku yang mengarah ke hedonisme seperti nongkrong di mall, cafe, menggunakan kosmetik berlebih atau barang branded, dan gonta-ganti smartphone sesuai trend. Ada pula kawan saya yang terang-terangan mengaku memiliki ayah yang berprofesi sebagai anggota parlemen. Hal ini terasa kontradiktif, ketika penyandang UKT  dengan nominal tinggi membayarkan biaya kuliah untuk subsidi  mahasiswa kurang mampu, namun kenyataan ini yang mereka dapati. Secara kasar saya menyatakan bahwa, mereka dibayar oleh negara untuk kuliah, bukan untuk berperilaku hedon atau apa pun yang tidak ada sangkut pautnya dengan perkuliahan

Akhirnya saya hanya menyimpulkan beberapa hal. Pertama, sistem UKT perlu ditinjau ulang, entah dengan mereduksi nominalnya atau mengembalikan sistem pembayaran sebelum diberlakukannya UKT. Kemapanan ekonomi adalah suatu hal yang relatif dan tidak bisa ditinjau melalui berkas semata. Definisi mapan pun berbeda-beda bagi setiap orang dan setiap daerah. Kedua, Dikti perlu mengkaji dan mengawasi secara ketat penerima Bidik Misi, sehingga output  yang diharapkan sesuai dengan tujuan beasiswa ini. Terakhir dan sangat klise, sistem pendidikan di negara ini masih perlu diperbaiki dari berbagai sisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun