China merupakan salah satu negara dengan ambisi yang besar. Salah satu ambisi dari negara tirai bambu tersebut yakni Belt and Road Initiative (BRI). BRI merupakan mega proyek infrastruktur yang diprakarsai China dan ditargetkan untuk reaktivasi Jalur Sutera, jalur perdagangan China yang sangat terkenal di dunia pada dinasti Qin. China banyak mengajak negara-negara di wilayah Asia Tenggara dan Asia Selatan untuk bergabung, salah satunya yakni negara Kamboja.
Kamboja merupakan negara yang banyak menggantungkan perekonomian dan pembangunan negaranya terhadap penanaman modal langsung oleh negara lain. Ini dikarenakan Kamboja merupakan negara yang mengalami kerugian besar akibat perang saudara, sehingga Kamboja sangat membutuhkan kas tambahan melalui penanaman modal tersebut untuk menjadi infrastruktur di negaranya. Maka dari itu, kehadiran Belt Road Initiative disambut hangat oleh Kamboja. Semenjak pengumuman tentang program Belt Road Initiative oleh China, Kamboja menyambut hangat penawaran kerja sama program tersebut. Program kerja sama Belt Road Initiative antara Kamboja dengan China yang dilakukan pertama kali yaitu melakukan pembangunan Sihanoukville Special Economic Zone (SSEZ).
SSEZ merupakan zona ekonomi khusus yang didirikan di Sihanoukville, Preah Sihanouk. SSEZ merupakan kawasan pengembangan ekonomi gabungan antara China dengan Kamboja. Di dalam daerah tersebut, akan terdapat wilayah-wilayah industri yang berfokus pada tekstil dan fabrik, peralatan berat, industri rumah tangga, dan industri kimia. SSEZ juga berfokus untuk membangun lingkungan hijau buatan, dan memiliki target angkatan kerja antara 80.000 hingga 100.000 pekerja industrial. Melalui Belt Road Initiative, Kamboja mendapatkan dana untuk SSEZ sebesar USD 5,3 miliar. SSEZ kemudian berkembang menjadi wilayah kawasan permukiman dengan dibangunnya apartemen, resor mewah yang menjadi pertumbuhan ekonomi tambahan di wilayah tersebut. Keberhasilan pembangunan SSEZ membuat banyaknya terbuka peluang kerjasama baru antara Kamboja dengan China.
Kerjasama antara Kamboja dan China kemudian berkembang ke sektor-sektor non industrial, salah satunya yakni Golden Silver Gulf Resort. Golden Silver Gulf Resort merupakan gugusan resor yang berdiri di daerah yang sama dengan SSEZ, Sihanoukville. Golden Silver Gulf Resort berdiri secara independen sebagai strategi Kamboja untuk menciptakan dan memisahkan antara kawasan industri dan kawasan pariwisata. Golden Silver Gulf Resort berdiri di lahan seluas 3.300 hektar dengan biaya sebesar USD 5 Miliar yang didapatkan melalui kerja sama Belt Road Initiative. Selain kedua sektor tersebut, kerja sama Belt Road Initiative memberikan bantuan di bidang sektor energi.Â
Sektor energi merupakan sektor perluasan kerja sama antara Kamboja dan China dalam proyek mega infrastruktur Belt Road Initiative. Sebagai gambaran, Kamboja merupakan salah satu negara yang kesulitan dalam mengembangkan sektor energinya. Sebanyak 42 persen kebutuhan listrik Kamboja didapatkan melalui distribusi dari negara tetangga, sementara 93 persen melalui produksi lokal yang hanya menggunakan tenaga bahan bakar diesel. Hal tersebut membuat harga listrik di Kamboja menjadi sangat mahal. Maka dari itu, China menawarkan kerja sama di bidang energi dengan melakukan investasi pada pengembangan tenaga hidro dan tenaga listrik batu bara. Investasi di bidang energi ini menghabiskan hingga USD 1,8 miliar, sekaligus membuat China menjadi investor utama sektor energi di Kamboja.
Seluruh investasi dan kerja sama yang diinisiasikan melalui proyek mega infrastruktur Belt Road Initiative di Kamboja dapat dikatakan sukses. Hubungan antara Kamboja dan China pun semakin meningkat dari sebelumnya. Akan tetapi, kesuksesan proyek Belt Road Initiative di Kamboja justru dicurigai oleh banyak pihak, salah satunya akibat pembangunan pangkalan militer di Kamboja yang juga didanai oleh China.
Banyak pihak merasa bahwa China sedang membangun dan membendung benteng besar kekuatan geopolitiknya di wilayah Asia Tenggara. Hal ini dikarenakan China sedang gencar melakukan klaim terhadap Laut China Selatan, sehingga, bentuk kerja sama Belt Road Initiative antara China dengan negara-negara di Asia Tenggara kemudian menjadi ambiguitas mengingat kepentingan China di wilayah Laut China Selatan yang merupakan wilayah teritorial laut bagi negara-negara di Asia Tenggara. Kamboja, negara yang memiliki kedekatan dengan China pun menjadi sasaran bagi dunia internasional.
Revitalisasi pangkalan militer berbasis laut di Ream dan pembangunan Bandara Internasional Dara Sokor secara berdekatan memunculkan indikasi kecurigaan bagi dunia internasional, terutama bagi rival besar China, Amerika Serikat. Pada 2018, Wakil Presiden AS pada masa itu, Mike Pence, mengirimkan surat kepada Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen mengenai keresahannya terhadap eksistensi China di Kamboja yang semakin kuat. Amerika Serikat merasa bahwa dengan adanya kerja sama Belt Road Initiative, China akan semakin kuat dan semakin mampu untuk menegakkan klaim teritorial terhadap Laut China Selatan.Â
Kamboja segera membantah keresahan tersebut. Melalui kepala juru bicara Pemerintahan Kamboja, Phay Siphan, menyatakan bahwa China tidak mungkin melakukan atau memiliki kendali atas militer di Kamboja, mengingat hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap prinsip ASEAN dan juga konstitusi di negara Kamboja itu sendiri. Maka dari itu, Kamboja menegaskan bahwa kerja sama yang dilakukan antara Kamboja dan China hanya berupa kerja sama untuk meningkatkan kualitas pembangunan dan infrastruktur di Kamboja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H