Mohon tunggu...
Ulul Rosyad
Ulul Rosyad Mohon Tunggu... Wiraswasta - Jangan hanya melihat dan menilainya, hampiri dan ikut prosesnya, Dan kau akan tau bagaimana Rasanya

Seorang Pencari Susuhe Angin

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mulai dari sekarang mari kita belajar untuk marah

12 September 2014   00:55 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:57 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belajar Marah, Anda tidak salah membaca judul tulisan. Mungkin tulisan ini mengandung arogansi dan sifat egois dari saya penulisnya sehingga sangat memungkinkan adanya penilaian subjektif dari pembaca semua terhadap tulisan ini. Marah mungkin sesuatu yang sebenarnya tak perlu untuk dipelajari karena marah merupakan sebuah tindakan yang lumrah terjadi pada seorang individu yang sedang kesal karena suatu hal. Tapi ini sedikit berbeda pada diri saya.

Saya sendiri maupun setiap kita selagi masih disebut manusia biasa saya yakin tentunya pernah merasakan rasa sedih, marah, ataupun bahagia. Tapi saya selalu berusaha sekuat mungkin agar saya tidak marah karena hal apapun. Bagi saya marah adalah alternatif untuk meluapkan emosi, ya alternatif karena menurut saya banyak hal lain yang bisa dilakukan untuk meluapkan emosi tanpa harus marah. Misalnya, karaoke-an, makan, tidur, yoga dll. Pokoknya marah adalah alternatif meluapkan emosi bukan pelampisan utama.

Kenapa menahan amarah? saya tahu sebetulnya ini merupakan hal yang buruk untuk kondisi psikis kita bila terus memaksakan diri untuk menahan amarah. Tapi saya merupakan orang yang pelupa jadi bila saya menahan rasa kesal itu untuk beberapa waktu, pasti kemudian hari saya akan lupa. Tapi yang menjadi alasan utama mengapa saya selalu memaksakan diri untuk tidak marah adalah “Marah itu tak ada gunanya!! selain meluapkan emosi sesaat” ya setidaknya itu untuk saya sendiri, karena jikalau saya marah maka orang yang ada disekitar saya hanya akan berpikir “Sewot banget!”, “Apa sih gitu aja kok marah, dll. Dan marah tentunya tidak akan mendatangkan solusi untuk permasalahan yang ada.

Setelah saya telaah lebih jauh, ternyata ini semua merupakan konsekuensi dari prinsip “Hidup untuk melayani” yang saya jalani sehingga mau tak mau, suka tak suka maka saya tetap harus terus menerus menahan rasa amarah ini. Jujur saya rela terus menerus menahan rasa kesal, rasa amarah dan rasanya ingin meledak namun saya tahan terus demi kerukunan. Tapi, setelah saya berpikir kembali jika saya terus menerus menahan amarah saya terhadap apa yang saya alami, maka hal ini akan terus berulang tanpa adanya perbaikan dari lingkungan saya. Karena mulai sekarang saya akan belajar untuk marah.

Adakalanya kita memang tak perlu toleransi terhadap apa yang nanti akan kita lakukan, jika itu merupakan kesalahan, bilang SALAH!! Bisa jadi kita bukanlah prioritas, sisi yang lain keberadaan kita seakan tidak pernah ada atau mungkin juga memang tidak pernah ada yang mengerti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun