Mohon tunggu...
Ulul Rosyad
Ulul Rosyad Mohon Tunggu... Wiraswasta - Jangan hanya melihat dan menilainya, hampiri dan ikut prosesnya, Dan kau akan tau bagaimana Rasanya

Seorang Pencari Susuhe Angin

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengintip..Ternyata Jauh Lebih Nikmat

9 Juni 2011   11:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:41 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mengintip itu sering-sering membuat deg-degan. Juga nikmat. Namun, tak sedikit yang penasaran. Mengintip gaji orang lain, misalnya, otak kontan mengkalkulasi dan menilai: “wong kinerjanya pas banderol dan sering ngrumpi, kok di gaji gede”. Bos pun dituding pilih kasih, tidak adil.

Memang, menakar pekerjaan orang lain itu lebih mudah ketimbang mengevaluasi diri sendiri. Eloknya, penafsiran minor itu dipelihara terus. Akibatnya, hati makin kemrungsung, dan mulut seenak udel menyebar isu. Begitulah buah dari mengintip sesuatu yang bukan hak.

Berbeda dengan “mengintip” orang pacaran ala petugas “awu-awu” (mungkin pemuda sekitar) di kota saya tinggal Tuban tepatnya, di sepanjangjalan deandless di sekitaran Terminal Baru Kambang Putih. Tempatnya memungkinkan memang untuk itu, dipenuhi pohon cemara dan bakau nan rindang. Pacaran itu bertingkat-tingkat. Ada yang cuma ngobrol, berpegangan tangan, atau bahkan lebih dari itu. Status sosialnya juga bisa disimak, jalan kaki, naik motor atau mobil.

Artinya, cara “mengintip” petugas awu-awu yang kebetulan sedang melakukan razia ini lebih “lihai”. Memang sejak dulu tempat tersebut memang seringkali di jumpai anak muda mudimaupun masyarakat sekitaran menikmati pantai.

Sikap “sigap” itu tercermin saat saya bersama keluarga sedang ditempat tersebut lebaran lalu. Ceritanya, waktu itu, kami menikmati suasana pantai sambil menanti matahari terbenam. Pasangan muda-mudi yang kebetulan mobilnya di samping tempat bermain anak saya. Tiba-tiba mobilnya di ketuk petugas PP. Pasangan tadi dituduh melanggar peraturan karena berpacaran! Ia kaget dan tak tahu harus berbuat apa.

Dalam keadaan kepepet itulah muda-mudi tadi ditawari jalan “damai” agar persoalan redam. “bisa diselesaikan secara kekeluargaan”. Oke, memang begitu “tradisi” di republik ini. Jangankan ditempat tersebut, di pengadilan pun bisa diatur. Di kejaksaan sami mawon. Apalagi di DPR/DPRD tempat ngumpul para wakil rakyat.

Petugas awu-awu tadi menjamin tak akan bikin ribut. Tidak akan membeberkan aib dan bikin malu di depan umum—kendati menyusahkan kantong orang. Terbukti ujung-ujungnya, mereka minta kompensasi “kekeluargaan”, sejumlah uang tentunya.

Mata boleh terbelalak, tapi sejumlah itu harus ada dan tidak bisa ditawar-tawar. Biarpun, misalnya, bersumpah: “saya kapok, Pak”. Alasannya, ruang terbuka nan indah itu bukan tempat berkasih-kasihan, bukan untuk bermesraan.

Dari kejadian diatas sebenarnya sangat mengetuk hati: “Apakah hanya dengan memeras itukah mencari sesuap nasi bagi keluarga? “Padahal uang tadi dikumpulkan secara halal, bukan memeras.

Pacaran tentu bukan hanya milik pasangan muda-mudi tadi, di taman-taman kota maupun mal-mal, banyak remaja berpacaran. Sekadar berpegangan tangan dianggap lumrah, ada pula yang berciuman. Yang melihat malah malu sendiri.

Cara berpacaran remaja kita memang mulai buka-bukaan, tidak main ngintip.Sebuah contoh kos-kosan adalah tempat paling aman, karena ada kecenderungan pola hubungan sosial yang renggang antara pemilik kos dan penghuni. Asal tidak melampaui jam kunjung pukul 21.00. beres! Walah-walah. Cinta memang penuh akal-akalan, khususnya di kota-kota besar semisal Surabaya, Jakarta, Jogja, maupun Malang adanya praktik seperti saya rasa masih ada. Walau, terus terang, meraka tidak bisa di gebyah uyah podo asine alias disamaratakan.

Jadi, seandainya suatu hari, para satpam, hansip, petugas ronda, ibu kos, penjaga taman mengintip dan melakukan penggerebekan serentak terhadap orang pacaran di lingkungannya, berapa ya ng tertangkap basah, ya? Saya miris membayangkan. Lebih ngeri jika mereka ramai-ramai minta “kompensasi” ala petugas awu-awu penjaga pantai tadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun