Mohon tunggu...
Ulul Rosyad
Ulul Rosyad Mohon Tunggu... Wiraswasta - Jangan hanya melihat dan menilainya, hampiri dan ikut prosesnya, Dan kau akan tau bagaimana Rasanya

Seorang Pencari Susuhe Angin

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Jakarta Tua Dalam Kepungan Modernisasi

23 November 2014   05:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:05 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu tempat wisata yang sudah saya incar sejak lama untuk dikunjungi adalah Wisata Kota Tua Jakarta. Untuk memulai jalan-jalan saya ke Kota Tua, pertama saya menginjakkan kaki di Stasiun Jakarta Kota. Pertimbangan saya kenapa Stasiun Jakarta Kota menjadi pijakan pertama saya? Pertama, karena stasiun ini merupakan bagian dari sejarah Kota Tua Jakarta dan inilah Stasiun yang saya pilih saat ke Jakarta.

Stasiun Jakarta Kota (googling) dulunya dikenal juga dengan nama Beos. Konon nama Beos berasal dari kata Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschapij (Maskapai Angkutan Kereta Api Batavia Timur) yaitu sebuah perusahaan swasta yang mengurusi angkutan kereta api di Batavia dan Jawa.
Namun, ada juga versi lain yang mengatakan bahwa Beos berasal dari kata Batavia En Omstreken yang artinya Batavia dan sekitarnya, dimana Beos menghubungkan antara Batavia dengan kota-kota seperti Bekassie (Bekasi), Buitenzorg (Bogor), Parijs van Java (Bandung), Karavam (Karawang), dan lain-lain.

14166697321554003078
14166697321554003078

Stasiun Beos dibangun pada tahun 1870 oleh arsitektur asal Belanda, Frans Johan Louwrens Ghijsels. Stasiun ini beroperasi selama kurang lebih 56 tahun hingga akhirnya ditutup pada tahun 1926. Sejak ditutup, Stasiun Beos mendapat renovasi yang berlangsung antara tahun 1926 hingga 1929 sehingga bangunannya seperti Stasiun Jakarta Kota yang bisa kita lihat sekarang. Selama renovasi tersebut, semua kegiatan hilir mudik kereta api menggunakan Stasiun Batavia Noord (Batavia Utara). Karena adanya Batavia Noord, Stasiun Beos juga pernah dikenal dengan sebutan Batavia Zuid (Batavia Selatan).

Menginjakknya kaki di Stasiun Jakarta Kota seperti membawa saya ke masa lalu. Bangunan stasiun memang cukup sederhana, namun sangat kental dengan gaya arsitektur modern a la Barat. Hal yang paling menonjol adalah bentuk atap yang berupa lengkungan panjang dan dipasang cukup tinggi memberi kesana bangunan stasiun sangat longgar dengan sirkulasi udara yang baik. Selain itu, pilar-pilar pada pintu masuk stasiun juga begitu cantik.

Alhamdulilah, pada kali ketiga ke Stasiun Jakarta Kota ini saya ada kesempatan mengunjungi Kota Tua Jakarta. Sebagai pengagum foto gedung-gedung tua berarsitektur kuno eropa, kawasan kota tua adalah ibarat surga buatku. Banyak sekali objek menarik disana yang bisa diabadikan dalam sebidang potret dua dimensi, mulai dari Stasiun Kota, Museum Fatahillah, Museum Bank Indonesia, Kantor Pos Kota Tua, Cafe Batavia, Museum Wayang, hingga Jembatan Kota Intan. Sayangnya Museum Fatahillah sedang di renovasi dan ke Jembatan Kota Intan tidak kesampaian karena terbentur jadwal keberangkatan kereta.

Meski hanya sebentar saja menikmati aroma kota tua Jakarta, tapi itu sudah cukup untuk membuat imajinasiku melayang ke masa-masa kolonialisme, masa-masa sebelum proklamasi 1945, dan lebih tepat lagi masa-masa sebelum kependudukan Jepang tahun 1942.

Dahulu, museum fatahillah inilah pusat kota dari Batavia. Sebelum menjadi museum sejarah jakarta sekarang ini, gedung tua yang dibangun sekitar tahun 1707 hingga tahun 1710 ini adalah balai kota Batavia. Jadi bisa dibayangkan, bagaimana ramainya kawasan ini dulunya. Banyak orang hilir mudik ke gedung ini, mulai dari pegawai hindia belanda, para utusan-utusan daerah dari seluruh wilayah kekuasaan hindia belanda hingga para warga dan bangsawan kerajaan belanda yang tengah berkunjung ke Batavia. Belum lagi para kolega ataupun rekan bisnis dagang VOC yang mungkin saja mengurus surat-suratnya di gedung ini.

Selain sebagai pusat pemerintahan, museum fatahillah juga mempunyai penjara bawah tanah yang kemungkinan besar penghuninya adalah para pejuang pribumi. Entahlah sudah berapa ratus atau bahkan ribu para pahlawan kemerdekaan Indonesia yang meregang nyawa di tempat ini. sayang sungguh sayang waktu kali ini tidak berpihak, Museum fatahillah sedang di renovasi.

Kecewa karena tidak kesampaian ke Museum Fatahillah tujuan saya selanjutnya adalah museum Seni Rupa dan Keramik. Museum ini terleltak tidak jauh dari museum Fatahillah atau museum Sejarah Jakarta. Dari luar,bangunan ini seperti bangunan di Kota Tua pada umumnya. Sangat tinggi dan tampak kokoh. Bangunan model Belanda memang selalu tinggi maka tidak terasa panas. Beda sekali dengan bangunan saat ini,pendek dan tentunya panas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun