Salah satu tempat wisata yang sudah saya incar sejak lama untuk dikunjungi adalah Wisata Kota Tua Jakarta. Untuk memulai jalan-jalan saya ke Kota Tua, pertama saya menginjakkan kaki di Stasiun Jakarta Kota. Pertimbangan saya kenapa Stasiun Jakarta Kota menjadi pijakan pertama saya? Pertama, karena stasiun ini merupakan bagian dari sejarah Kota Tua Jakarta dan inilah Stasiun yang saya pilih saat ke Jakarta.
Stasiun Jakarta Kota (googling) dulunya dikenal juga dengan nama Beos. Konon nama Beos berasal dari kata Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschapij (Maskapai Angkutan Kereta Api Batavia Timur) yaitu sebuah perusahaan swasta yang mengurusi angkutan kereta api di Batavia dan Jawa.
Namun, ada juga versi lain yang mengatakan bahwa Beos berasal dari kata Batavia En Omstreken yang artinya Batavia dan sekitarnya, dimana Beos menghubungkan antara Batavia dengan kota-kota seperti Bekassie (Bekasi), Buitenzorg (Bogor), Parijs van Java (Bandung), Karavam (Karawang), dan lain-lain.
Stasiun Beos dibangun pada tahun 1870 oleh arsitektur asal Belanda, Frans Johan Louwrens Ghijsels. Stasiun ini beroperasi selama kurang lebih 56 tahun hingga akhirnya ditutup pada tahun 1926. Sejak ditutup, Stasiun Beos mendapat renovasi yang berlangsung antara tahun 1926 hingga 1929 sehingga bangunannya seperti Stasiun Jakarta Kota yang bisa kita lihat sekarang. Selama renovasi tersebut, semua kegiatan hilir mudik kereta api menggunakan Stasiun Batavia Noord (Batavia Utara). Karena adanya Batavia Noord, Stasiun Beos juga pernah dikenal dengan sebutan Batavia Zuid (Batavia Selatan).
Menginjakknya kaki di Stasiun Jakarta Kota seperti membawa saya ke masa lalu. Bangunan stasiun memang cukup sederhana, namun sangat kental dengan gaya arsitektur modern a la Barat. Hal yang paling menonjol adalah bentuk atap yang berupa lengkungan panjang dan dipasang cukup tinggi memberi kesana bangunan stasiun sangat longgar dengan sirkulasi udara yang baik. Selain itu, pilar-pilar pada pintu masuk stasiun juga begitu cantik.
Alhamdulilah, pada kali ketiga ke Stasiun Jakarta Kota ini saya ada kesempatan mengunjungi Kota Tua Jakarta. Sebagai pengagum foto gedung-gedung tua berarsitektur kuno eropa, kawasan kota tua adalah ibarat surga buatku. Banyak sekali objek menarik disana yang bisa diabadikan dalam sebidang potret dua dimensi, mulai dari Stasiun Kota, Museum Fatahillah, Museum Bank Indonesia, Kantor Pos Kota Tua, Cafe Batavia, Museum Wayang, hingga Jembatan Kota Intan. Sayangnya Museum Fatahillah sedang di renovasi dan ke Jembatan Kota Intan tidak kesampaian karena terbentur jadwal keberangkatan kereta.
Meski hanya sebentar saja menikmati aroma kota tua Jakarta, tapi itu sudah cukup untuk membuat imajinasiku melayang ke masa-masa kolonialisme, masa-masa sebelum proklamasi 1945, dan lebih tepat lagi masa-masa sebelum kependudukan Jepang tahun 1942.
Dahulu, museum fatahillah inilah pusat kota dari Batavia. Sebelum menjadi museum sejarah jakarta sekarang ini, gedung tua yang dibangun sekitar tahun 1707 hingga tahun 1710 ini adalah balai kota Batavia. Jadi bisa dibayangkan, bagaimana ramainya kawasan ini dulunya. Banyak orang hilir mudik ke gedung ini, mulai dari pegawai hindia belanda, para utusan-utusan daerah dari seluruh wilayah kekuasaan hindia belanda hingga para warga dan bangsawan kerajaan belanda yang tengah berkunjung ke Batavia. Belum lagi para kolega ataupun rekan bisnis dagang VOC yang mungkin saja mengurus surat-suratnya di gedung ini.
Selain sebagai pusat pemerintahan, museum fatahillah juga mempunyai penjara bawah tanah yang kemungkinan besar penghuninya adalah para pejuang pribumi. Entahlah sudah berapa ratus atau bahkan ribu para pahlawan kemerdekaan Indonesia yang meregang nyawa di tempat ini. sayang sungguh sayang waktu kali ini tidak berpihak, Museum fatahillah sedang di renovasi.
Kecewa karena tidak kesampaian ke Museum Fatahillah tujuan saya selanjutnya adalah museum Seni Rupa dan Keramik. Museum ini terleltak tidak jauh dari museum Fatahillah atau museum Sejarah Jakarta. Dari luar,bangunan ini seperti bangunan di Kota Tua pada umumnya. Sangat tinggi dan tampak kokoh. Bangunan model Belanda memang selalu tinggi maka tidak terasa panas. Beda sekali dengan bangunan saat ini,pendek dan tentunya panas.
Bangunan berwarna putih ini dibangun pada tahun 1870. Mulanya, bangunan ini merupakan Lembaga Peradilan tertinggi Belanda (Raad van Justitie) . Namun, pada masa pendudukan Jepang dan masa perjuangan untuk merebut kemerdekaan Indonesia, bangunan ini dijadikan sebagai asrama militer. Setelah beralih manjadi beberapa fungsi,seperti menjadi kantor walikota, akhirnya pada tahun 1976 gedung ini diresmikan sebagai Gedung Balai Seni Rupa oleh alamarhum Soeharto yang saat itu menjabat sebagai presiden RI. Di dalam gedung yang di bagian depannya terdapat beberapa pilar kokoh ini juga terdapat museum keramik. Peresmian museum keramik dilakukan oleh gubernur Ali Sadikin pada tahun 1977. Karena terdapat museum keramik di dalamnya maka sejak tahun 1990 museum ini menjadi bernama Museum Seni Rupa dan Keramik.
Sesuai namanya,museum ini menyimpan koleksi senirupa dan keramik. Ruang pamer karya senirupa terpisah dengan ruang pamer keramik. Memasuki ruang pamer pertama, kita akan melihat sejarah gedung,lalu ruang selanjutnya mengenai definisi seni, dan ruang –ruang selanjutnya adalah tempat dipamerkannya lebih dari 500 karya seni rupa dari masa ke masa.
Karya seni tersebut dibuat dengan berbagai teknik dan dari bahan yang berbeda,misalnya patung,sketsa, totem,batik lukis,dan lain sebagainya. Bagi penyuka lukisan tentu paham betul dengan apa yang dipamerkan di sana. Sayangnya,saya kurang mengerti dunia seni rupa jadi datar saja perasaan saya saat itu. Kita bisa melihat patung yang bercirikan klasik tradisional dari Bali, totem kayu yang magis dan simbolis karya I Wayan Tjokot dan keluarga besarnya. Totem adalah hewan atau figur alam yang secara spiritual mewakili sebuah kelompok dari orang-orang yang berhubungan seperti suku (Wikipedia Indonesia).
Di museum ini juga terdapat lukisan lukisan karya Raden Saleh, Affandi, S.Sudjojono, Dullah, dan pelukis terkenal Indonesia lainnya. Semua karya seni lukis berbagai alisaran (realisme, romantis,dll) bisa kita saksikan di sini. Kalau Anda ingin melihat lukisan ‘Potret Diri’ karya Affandai atau “Bupati Cianjur” karya Raden Saleh, Anda bisa menemuinya di sini. Walaupun saya awam mengenai lukisan dan karya senirupa lainnya ,namun saya tahu itu bernilai seni tinggi apalagi dibuat oleh seniman-seniman hebat. Waktu membuyarkan imajinasiku. Aku harus kembali ke stasiun kota dan cek in tiket. Sekian dulu sampai jumpa pada kesempatan selanjutnya. Matur nuwun.
Sumber. wikipedia
saksi diam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H