Tantangan Bisnis Hulu: How to Survive?
Merosotnya harga minyak mentah sejak pertengahan tahun 2014, amat telak menghantam industri hulu migas (Brent spot: 108 US$/bbl di Juli 2014, terus turun hingga 49 US$/bbl di akhir Oktober 2015) - bandingkan dengan biaya produksi perusahaan minyak (major oil company) yang beroperasi di Indonesia, yaitu sekitar 20-25 US$/bbl. Dampak langsung dari merosotnya harga minyak mentah dan gejolak ekonomi dunia adalah anjloknya laba perusahaan-perusahaan minyak. Harga minyak mentah, mekanismenya ditentukan oleh dinamika pasar atas supply & demand, dan hal tersebut jauh di luar kendali perusahaan minyak itu sendiri. Respon perusahaan minyak menghadapi tekanan di atas adalah merumuskan strategi bagaimana perusahaan untuk tetap “survive” dengan tetap berupaya meningkatkan produksi dan langkah efisiensi seluruh kegiatan operasi. Beberapa kebijakan yang diambil beberapa perusahaan minyak, antara lain: BP memotong anggaran belanja modal sebanyak US$ 2 miliar, memangkas ribuan rencana kegiatan di seluruh dunia. Shell menunda proyek pembangunan kilang petrokimia senilai US$ 6 miliar di Qatar. Chevron menjual assetnya senilai US$ 15 milyar dan memangkas belanja modal sebesar US$ 35 milyar di tahun 2015.
Menghadapi tantangan tersebut, maka beberapa langkah “Survive Strategy” yang dapat dilakukanperusahaan minyak yang beroperasi di Indonesia, yaitu:
Production Optimization.Ketika harga minyak masih di level US$ 90-100/bbl, produksi minyak digenjot untuk mengejar laba, at any cost, karena harga jual minyak masih jauh di atas biaya produksi. Namun dengan harga minyak turun di level US$ 40-50/bbl, maka upaya optimasi produksi adalah prioritas utama yang bisa dikerjakan, sehingga produksi bisa di-setting pada level optimum dengan biaya produksi yang masih ekonomis. Perusahaan harus mereview secara detail, field by field, setiap zona lapisan produksi, untuk meng-identifikasi potensi subsurface, sekaligus menghitung biaya produksi setiap lapangan. Lapangan dengan biaya produksi yang besar dengan tingkat produksi marginal, bisa di-suspend untuk sementara, menunggu keekonomian lapangan positif. Lapangan produksi yang masih prospektif, diupayakan peningkatan produksi dengan infill drilling, kegiatan workover, maupun well services. Indikatornya adalah bagaimana menekan biaya produksi sehingga jauh di bawah biaya produksi.
Cost effectiveness.Menghadapi tekanan menurunnya harga minyak, salah satu strategi yang bisa dilakukan adalah mengendalikan biaya setiap kegiatan. Setiap mata anggaran, baik anggaran investasi (CAPEX) maupun anggaran operasi (OPEX), dilakukan identifikasi, yang berangkat dari pertanyaan mendasar, apakah kegiatan ini urgent untuk dilakukan atau masih bisa ditunda untuk tahun berikutnya. Selanjutnya, menentukan langkah yang harus dilakukan untuk memastikan semua biaya yang dikeluarkan adalah kritikal dan tepat sasaran (do the right things). Di dalamnya terdapat cost efficiency yang lazim dilakukan oleh perusahaan untuk meningkatkan keuntungan, dengan cara memangkas biaya yang tidak berdampak signifikan terhadap operasional. Langkah taktis yang dilakukan, yaitu: evaluasi keekonomian dan review rencana kegiatan dan biaya operasi (menunda atau membatalkan proyek-proyek dengan biaya investasi yang besar namun berisiko tinggi atau melanjutkan proyek tersebut dengan tingkat kepastian return maksimal), negosiasi kontrak services, peningkatan kinerja asset, efisiensi organisasi menjadi lebih ramping dan lincah.
Profit Driven. mengoptimalkan revenue dari bisnis gas, karena harga gas tidak diserahkan pada mekanisme pasar seperti harga minyak mentah, melainkan ditentukan oleh kesepakatan antara gas produsen dan gas buyer. Pemetaan opportunity untuk menambah revenue dari potensi gas di seluruh asset (masih banyak gas yang terpaksa di-flare karena low demand atau ketiadaan buyer), re-negosiasi kenaikan harga gas untuk kontrak gas yang akan berakhir, mempercepat komersialisasi gas yang sudah memiliki gas sales agreement (GSA), penyelesaian Place Into Services (sebagai syarat cost recovery), mempercepat persetujuan Plan of Development (POD)-khususnya lapangan gas, dengan tujuan percepatan pembangunan fasilitas produksi sehingga mempercepat on stream.
Untuk meng-endorse Added Value Creationatau menciptakan nilai tambah dalam setiap proses bisnis dan operasi kegiatan migas, haruslah memiliki cara pandang terintegrasi, bahwa setiap kegiatan migas tidaklah berdiri sendiri, melainkan satu rantai proses bisnis yang utuh dan saling terkait (exploration-development-production, transportation & storage, refining & marketing, gas processing & marketing, petrochemical) dan mampu meng-create “nilai tambah” dari setiap rantai bisnis tersebut3. Contohnya: sinergi antar KKKS, rig consortium, pengadaan bersama, material transfer agreement, POD terintegrasi, termasuk pengajuan perubahan fiscal term dari POD basis menjadi blok basis pada proyek dengan keekonomian yang marginal.
Indikator sejauh mana efektivitas “survive strategy”, dapat diukur dengan membandingkan biaya produksi sebelum dan setelah langkah-langkah tersebut dilakukan.
Meski anjloknya harga minyak mentah sudah terjadi beberapa kali, dan dianggap sebagai siklus bisnis yang normal untuk kemudian recovery kembali ke harga sebelumnya, namun sebagian besar kalangan perminyakan internasional menyebutkan bahwa merosotnya harga minyak setahun ini akan cukup lama untuk terkoreksi. Ada yang menyebut bisa sampai 2-3 tahun ke depan. Oleh karena itu, dengan memahami lanskap bisnis hulu migas saat ini yang sangat dinamis, iklim bisnis yang volatile, dan tak lagi mudah diprediksi, sektor hulu migas Indonesia diharapkan bergerak cepat mem-formulasi-kan strategi peningkatan produksi yang optimal, dikombinasikan dengan upaya-upaya “cost effectiveness”.