Benua Eropa di mata mayoritas masyarakat Indonesia merupakan sebuah peradaban maju dengan berbagai keunggulannya. Teknologi yang canggih, etos kerja dan disiplin yang tinggi, dan pendidikan yang berkualitas menjadi daya tarik yang besar bagi masyarakat Indonesia untuk bisa "menaklukan" Eropa. Dalam tulisan ini saya akan memfokuskan pada sektor pendidikan.
Banyak anak muda Indonesia yang bermimpi bisa berkuliah di kampus-kampus ternama di Eropa. Tidak sedikit juga para orang tua yang berharap anaknya dapat menuntut ilmu dan membangun kualitas diri di kampus-kampus ternama di Eropa. Kampus-kampus di Eropa dianggap menyediakan tenaga-tenaga pengajar berkualitas, fasilitas pendidikan yang mutakhir, dan lingkungan belajar yang mendukung perkembangan diri seseorang. Menuntut ilmu di Eropa juga dianggap akan membuka pintu bagi mereka di masa yang akan datang dapat berkarir di benua biru tersebut. Karena hal-hal itulah banyak masyarakat Indonesia berbondong-bondong untuk bisa berkuliah di Eropa, baik dari jalur pedanaan pribadi ataupun beasiswa.
Namun ada satu hal yang juga biasanya ikut muncul dan terpikirkan oleh para orang tua saat harus membuat keputusan untuk memberikan ijin kepada anak mereka yang ingin berkualiah di Eropa. Ada kekhawatiran di dalam pemikiran para orang tua bahwa anak-anak mereka belum cukup dewasa untuk benar-benar "dilepas" di sebuah lingkungan yang sangat berbeda dengan Indonesia. Kedewasaan yang dimaksud di sini bukan hanya tentang kemandirian dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, tapi juga tentang kedewasaan dalam memilah dan memilih hal-hal baru mana yang harus diserap dan mana yang harus dibuang. Para orang tua memang menginginkan anak-anak mereka bisa menuntut ilmu di Eropa dan menyerap hal-hal baik yang ada di sana, tapi para orang tua juga tidak ingin anak-anak mereka menjadi "terlalu Eropa" dalam konteks yang negatif ataupun hal-hal buruk lain yang timbul karena kurangnya tingkat kedewasaan anak dalam berpikir dan memtuskan sesuatu.
Kekhawatiran pada orang tua tersebut bukanlah tanpa alasan, terutama bila terjadi pada orang tua yang dari anak yang baru lulus SMA dan ingin melanjutkan pendidikan di Universitas di Eropa. Usia anak yang baru luls SMA berkisar pada usia 17 tahun. Sebuah usia yang masih sangat muda, senang mencoba-coba, dan masih dalam masa pencarian jati diri. Mungkin akan sedikit berbeda pertimbangannya bila anak yang akan melanjutkan kuliah di Eropa adalah calon mahasiswa pascasarjana yang lebih matang secara kepribadian. Â Ini semua menjadi sebuah dilema bagi para orang tua dalam membuat keputusan tentang kelanjutan pendidikan anak mereka.
Permasalahan dan dilema yang dialami para orang tua tersebut sebenarnya sekarang sudah bisa teratasi. Indonesia sudah memiliki universitas dalam negeri dengan kurikulum Eropa, nuansa belajar internasional, dan memiliki program yang akan mempersiapkan para mahasiswa untuk kemudian bisa menaklukan Eropa di waktu yang tepat dan kualitas diri yang cukup. Universitas yang menjadi pelopor kampus dengan kurikulum dan program-program berstandar internasional adalah Swiss German University, atau biasa disebut SGU.
SGU tidak secara sembarang melabelkan diri sebagai kampus internasional. SGU tidak seperti beberapa lembaga pendidikan lain yang hanya karena kegiatan belajar mengajarnya menggunakan bahasa Inggris, lalu mengaku sebagai lembaga pendidikan internasional. Di saat kampus-kampus lain hanya menerapkan kurikulum nasional dengan sistem SKS, maka SGU menerapkan dua sistem kurikulum yang berjalan secara simultan, yaitu kurikulum nasional dengan sistem SKS dan kurikulum Eropa dengan sistem ECTS. Bagi para pembaca yang berkecimpung di dunia universitas tentu sangat mengetahui bagaimana repotnya dan besarnya usaha yang harus dikeluarkan saat kampus sedang berurusan dengan masalah akreditasi. SGU ini pasti repotnya berkali-kali lipat karena juga harus rutin mengurus semacam akreditasi kurikulum Eropa-nya, bukan hanya akreditasi nasionalnya.
Tidak hanya sebatas itu, di SGU bukan hanya menggunakan bahasa Inggris dalam kegiatan belajar mengajar setiap hari, SGU juga menjadikan pelajaran bahasa Inggris sebagai pelajaran wajib yang akan selalu ada di setiap semester sampai mahasiswa lulus. Setiap minggunya mahasiswa akan diajarkan oleh native speaker dengan beban waktu sebesar 3 SKS, atau selama 150 menit per minggu.
Selain pelajaran bahasa Inggris, pelajaran yang juga menjadi mata kuliah wajib yang akan selalu ada dari semester 1 hingga semester 6 adalah pelajaran bahasa Jerman. Hal ini dilakukan sebagai langkah SGU untuk mempersiapkan mahasiswa-mahasiswanya. SGU juga mempersiapkan jiwa nasionalisme para mahasiswa dengan berbagai kegiatan dan program-program, seperti pelatihan bela negara, upacara bendera, ataupun berbagai ekstra kurikuler yang berbasis tradisional Indonesia. Ini dilakukan untuk membentengi para mahasiswa agar tidak kehilangan identitas-identitas luhur yang menjadi ciri positif bangsa Indonesia, meskipun nantinya mereka terpapar oleh hal-hal baru di Eropa.
Para mahasiswa akan melakukan perkuliahan di Eropa, tepatnya di kampus yang menjadi partner dari SGU. Biasanya perkuliahan akan dilakukan selama kurang lebih 1 bulan, kemudian para mahasiswa akan magang atau bekerja di perusahaan-perusahaan di Jerman. Di Jerman atau Swiss, mereka benar-benar berstatus sebagai pekerja profesional, dan diperlakukan seperti pekerja lainnya. Hal ini tentu akan benar-benar membentuk karakter dan kualitas diri dari para mahasiswa. Biasanya mereka mendapatkan bayaran yang cukup besar, tergantung kualitas diri mereka. Kalau mereka punya kualitas, dan bisa meyakinkan perusahaan besar untuk menerima mereka magang, maka mereka mungkin bisa mendapatkan bayaran hingga lebih dari 1000 euro, atau sekitar lebih dari Rp. 15.000.000.Â