Konflik Israel-Palestina merupakan konflik terpanjang di dunia yang masih belum ada penyelesaiannya. Baru-baru ini, konflik antara kedua pihak ini semakin parah dengan ledakan yang terdapat di rumah sakit di Gaza, Al-Ahli Arab Hosptial, pada Selasa lalu (17/10) yang mengakibatkan kerusakan 24 buah mobil di luar parkiran rumah sakit dan memakan ratusan korban jiwa Palestina. Penyebab dari ledakan ini masih menjadi perdebatan antara kedua belah pihak. Melansir dari Al-Jazeera, Kementerian Kesehatan Palestina mengatakan bahwa ada 470 korban jiwa dari ledakan ini. Sementara itu, klaim dari badan intelijen Amerika menyebutkan bahwa korban jiwa berkisar 100-300 korban jiwa. Adapun untuk penyebab ledakannya juga belum diketahui. Belum ada kejelasan apakah ledakan ini disebabkan oleh mortar atau sistem pertahanan udara Iron Dome milik militer Israel. Lantas, apakah yang menjadi latar belakang dari konflik yang brutal ini? Konflik antara Israel dan Palestina sudah terjadi jauh sebelum didirikannya Israel pada tahun 1948 dengan adanya Deklarasi Balfour yang diresmikan oleh Britania Raya pada tahun 1917.
Dari latar belakang Islam, sejarah Palestina berawal dari masa kehidupan Nabi Ibrahim a.s. yang lahir di wilayah Aur, Babilonia (sekarang wilayah negara Irak dan Suriah). Nabi Ibrahim a.s. bersama dengan kedua istrinya dan sepupunya, Nabi Luth a.s., hijrah ke tanah yang diberkati oleh Allah yang dikenal dengan Tanah Kan’an, yang tepatnya berada di Baitul Maqdis. Sebelum Nabi Ibrahim a.s. memasuki wilayah tersebut, penduduk daerah tersebut merupakan penyembah berhala. Nabi Ibrahim a.s. kemudian mengajak penduduk daerah tersebut untuk mengesakan Allah dan meninggalkan penyembahan terhadap berhala. Sebelum kaum Bani Israil datang ke tanah yang dijanjikan, mereka hidup di wilayah Mesir. Hidup mereka dipenuhi dengan kesengsaraan seperti perbudakan oleh Firaun dan pembunuhan bayi Yahudi laki-laki karena dianggap dapat membahayakan kekuasaan Firaun. Untuk menghindari penderitaan yang terus menerus dialami oleh mereka, Allah memberikan petunjuk kepada Nabi Musa a.s. untuk menuju ke tanah yang dijanjikan, yaitu tanah Kan’an yang sekarang adalah wilayah Palestina.
Bani Israil, bersama dengan Nabi Musa a.s., menyebrangi Laut Merah yang terbelah membentuk jalan bagi mereka atas izin Allah. Meskipun Allah telah memberikan keamanan dan berbagai kenikmatan untuk Bani Israil, mereka merupakan kaum yang tidak pernah bersyukur. Mereka bahkan tidak segan-segan untuk meminta kepada Nabi Musa a.s. untuk dibuatkan berhala anak sapi untuk mereka sembah. Setelah Nabi Musa a.s. pergi selama 40 hari untuk meminta petunjuk pada Allah swt., Bani Israil kembali menjadi kafir dan menghiraukan perintah untuk meninggalkan berhala. Tidak hanya sampai di situ, mereka pun terus membangkang kepada Nabi Musa a.s. Ketika mereka dijanjikan kemenangan dengan menuju tanah yang dijanjikan Allah yaitu Yerusalem, mereka malah menolak perintah itu dengan alasan mereka takut akan pemimpin yang sedang berkuasa di sana. Nabi Musa a.s. akhirnya sangat muak dengan pembangkangan yang terus-menerus mereka lakukan kepada beliau. Hal ini menyebabkan tanah Yerusalem diharamkan bagi mereka selama 40 tahun. Hukuman ini menyebabkan mereka tersesat selama 40 tahun tanpa bisa menemukan arah menuju Yerusalem. Ketika masa hukuman Allah telah habis terhadap kaum Bani Israil, mereka akhirnya dapat memasuki Yerusalem. Namun sayangnya, mereka kembali berbuat semena-mena dan melanggar perintah Allah. Walaupun mereka memiliki kelebihan akal yang cerdas, mereka tidak pernah mensyukurinya dan merasa selalu paling benar, termasuk perihal tanah yang dijanjikan kepada mereka.
Sikap mereka ini pun sampai ratusan tahun ke depannya tetap tidak berubah. Di masa Nabi Isa a.s., seorang Yahudi pengikut beliau yang bernama Yudas Iskariot berkhianat kepada Nabi Isa dan memberitahu tentara Romawi yang sedang mengejar beliau. Yudas ditawari oleh kaisar Romawi yang saat itu berkuasa di Yudea, yaitu Herodes, dengan harta jika berhasil menangkap Nabi Isa. Pada akhirnya, atas izin Allah, Nabi Isa a.s. diangkat ke langit oleh Allah dan wajah Yudas diubah menjadi mirip seperti Nabi Isa. Pada akhirnya, Yudas tertangkap oleh pasukan Romawi dan disalib. Yudas kemudian diarak oleh tentara-tentara Romawi di tengah kota dengan label Nabi Palsu. Pada masa Nabi Isa, wilayah Palestina yang dulu bernama Yudea, dianeksasi oleh Kekaisaran Romawi pada tahun 63 SM. Pemberontakkan Yahudi dipicu oleh sesorang yang menuangkan urine di depan sinagoga yang membuat orang-orang Yahudi marah besar. Kekuasaan Romawi di Yudea berhasil diakhiri oleh pemberontakkan besar-besaran pada tahun 68 M yang dilancarkan oleh Zelot, kumpulan militan, bandit dari Yerusalem, dan kumpulan pendeta Yahudi. Mereka berhasil menguasai kembali Kuil Jerusalem setelah pecahnya perang saudara yang terjadi pasca Pengepungan Yerusalem oleh Titus. Pada tahun 476 M, Kekaisaran Romawi Barat runtuh akibat adanya pemberontakan oleh klan Jermanik yang melengserkan kasiar Romawi Barat terakhir, Kaisar Romulus Augustulus. Hal ini menyisakan Kekaisaran Romawi Timur atau sering disebut Kekaisaran Bizantium. Berselang waktu 977 tahun ke depan, pada tahun 1453, Kekaisaran Romawi Timur dikepung oleh Sultan Muhammad Al-Fatih atau sering disebut Mehmed the Conqueror. Sultan Al-Fatih bersama dengan pasukannya berhasil menaklukan pasukan Romawi Timur dan memasuki ibu kota Romawi Timur, Konstantinopel. Setelah berhasil menaklukan Romawi Timur, Sultan Al-Fatih menjadikan Konstantinopel ibu kota dari Kesultanan Utsmaniyah. Di masa kekuasaan Utsmaniyah, tiga agama Abrahamik yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam secara damai hidup berdampingan. Dalam konteks kehidupan Yahudi di Kesultanan Utsmaniyah, mereka bahkan mendapatkan perlindungan oleh Sultan Bayezid II pada saat orang-orang Yahudi diusir dari Spanyol pada tahun 1492. Selain itu, mereka juga memiliki peran penting dalam berjalannya pemerintahan di kesultanan. Orang-orang Yahudi dapat menempati posisi-posisi penting dalam pemerintahan, seperti pada parlemen. Tidak sedikit pula orang-orang Yahudi yang mendapatkan jabatan sebagai kepala rabbi yang memiliki kemiripan dengan mufti. Sayangnya, kedamaian antara ketiga agama Abrahamik ini, terutama antara Islam dan Yahudi, harus hancur karena terlahirnya gerakan zionisme.
Berdasarkan informasi dari Britannica, zionisme merupakan gerakan nasionalis Yahudi yang tujuannya mendirikan negara Yahudi di wilayah Palestina yang mereka percayai sebagai tempat yang dijanjikan oleh Tuhan untuk mereka. Ide zionisme terbentuk dari ikatan emosional yang dirasakan orang-orang Yahudi dengan tanah yang dijanjikan selama berabad-abad lamanya. Ikatan batin inilah yang membuat zionisme semakin marak pada akhir abad ke-19. Nama gerakan ini diambil dari sebuah wilayah historis di Palestina yang bernama Bukit Zion atau Sion. Gerakan zionis ini diprakarsai oleh Theodor Herzl, jurnalis Yahudi asal Kekaisaran Austria-Hungaria. Ia merasa bahwa persatuan umat Yahudi merupakan solusi terbaik yang dapat dilakukan untuk kemaslahatan umat Yahudi. Pada tahun 1897, Herzl mengadakan Kongres Zionis pertama yang diadakan di Basel, Switzerland. Pada sidang ini, ia membahas tentang zionisme sebagai pelindung umat Yahudi untuk bertempat tinggal di Palestina dengan jaminan perlindungan internasional. Gerakan ini selanjutnya disebarluaskan oleh Herzl melalui korannya yang berjudul Die Welt yang berarti “Dunia” dari markas zionisme Herzl di Vienna. Herzl sempat meminta otonomi daerah Palestina kepada pemerintah Utsmaniyah, tetapi hal ini ditolak oleh Sultan Abdul Hamid II yang merupakan seorang anti-zionis yang kuat. Pada 1903, Herzl ditawarkan pemerintah Inggris 15.500 meter persegi daerah belum berpenghuni di Uganda untuk dijadikan pemukiman Yahudi, tetapi para zionis tetap bersikeras untuk tetap tinggal di “tanah yang dijanjikan” yaitu Palestina. Pada awalnya, zionisme hanya mewakili sekelompok kecil Yahudi yang kebanyakan berasal dari Rusia. Meskipun begitu, yang mengkoordinir adalah Yahudi asal Jerman dan Austria. Pada tahun 1905, terjadilah Revolusi Rusia yang mengalami kegagalan. Kegagalan dari revolusi ini berdampak langsung pada orang-orang Yahudi Rusia yang kemudian beremigrasi ke Palestina untuk menghindari pembantaian dan penindasan oleh pemerintah Kekaisaran Rusia. Sembilan tahun setelah Revolusi Rusia tahun 1905 yang gagal, Perang Dunia I pecah. Hal ini disebabkan oleh organisasi bernama Tangan Hitam yang merupakan organisasi nasionalis Serbia yang berusaha membebaskan Serbia dari belenggu Dinasti Habsburg dan Utsmaniyah. Pada 28 Juni 1914, seorang anggota Tangan Hitam bernama Gavrilo Princip menembak mati Archduke Franz Ferdinand bersama dengan istrinya, Sophie, di kota Sarajevo, Provinsi Bosnia dan Herzegovina, Austria-Hungaria dengan pistol FN M1910 miliknya. Peristiwa inilah yang menyebabkan pecahnya Perang Dunia I.
Semenjak terjadinya Perang Dunia I, gerakan zionis semakin marak. Tokoh zionis berkebangsaan Inggris, Chaim Weizmann dan Nahum Sokolow, merupakan tokoh yang vital dalam usaha pendirian Israel lewat Deklarasi Balfour. Deklarasi Balfour merupakan deklarasi yang dikeluarkan oleh Britania Raya pada 2 November 1917. Deklarasi ini berisi pernyataan dukungan Britania Raya untuk pendirian wilayah hunian Yahudi di Palestina. Deklarasi ini dibuat oleh Arthur James Balfour, menteri luar negeri Britania Raya saat itu. Dengan kalahnya Kesultanan Utsmaniyah pada Perang Dunia I atas Triple Entente yang terdiri dari Kekaisaran Rusia, Prancis, dan Britania Raya. Setelah Perang Dunia I selesai pada 11 November 1918, dibentuklah Liga Bangsa-Bangsa (League of Nations) yang dibentuk pada 10 Januari 1920 oleh Sekutu. Pada tahun 1922, Dewan Liga Bangsa-Bangsa menerima mandat Inggris atas Palestina. Akibat dari mandat ini, populasi Yahudi bertambah pesat di Palestina yang sebelumnya berjumlah 108.000 jiwa melonjak naik menjadi 238.000 jiwa pada tahun 1933. Dengan kemenangan Partai Nazi pada tahun 1933, sikap antisemitsme kian bertambah. Dengan dimulainya Perang Dunia II dan ekspansi Nazi Jerman yang sangat cepat, kekhawatiran Yahudi semakin meningkat. Pembantaian habis-habisan yang dilakukan oleh pasukan Nazi Jerman di Eropa, terutama di wilayah Uni Soviet membuat orang-orang Yahudi semakin marak untuk melakukan emigrasi ke Palestina. Penderitaan dan ketakutan ini membuat banyak orang Yahudi yang mulai menyetujui zionisme. Setelah Perang Dunia II berakhir, Yahudi Eropa mengadakan eksodus menuju Palestina. Pertambahan jumlah penduduk Yahudi ini menyebabkan ketegangan antara orang-orang Arab dan Yahudi. Pada 29 November 1947, Persatuan Bangsa-Bangsa (United Nations) setuju untuk membagi wilayah Palestina menjadi wilayah kekuasaan Arab dan kekuasaan Yahudi. Pembagian wilayah kekuasaan ini ditolak mentah-mentah oleh mufti Yerusalem, Amin Al-Husayni. Situasi di Palestina semakin memburuk dengan didirikannya Israel pada tahun 1948. Didirikannya Israel ini memicu invasi yang dilakukan oleh negara-negara Arab yaitu Mesir, Irak, Lebanon, Suriah, dan Transjordan (sekarang Yordania). Walaupun jumlah pasukan Arab banyak, berbagai macam kepentingan yang terselubung dan pelatihan pasukan yang kurang menyebabkan kalahnya negara-negara Arab dengan Israel. Kemenangan Israel atas negara-negara Arab ini menyebabkan orang-orang Arab Palestina dipindahkan secara paksa oleh militer Israel ke kamp-kamp tahanan di luar wilayah Israel. Pada tahun 1949-1953, ratusan orang Israel dibunuh oleh serangan Arab yang sebagian besar merupakan warga sipil. Berbagai macam masalah terus menegangkan antara pihak Arab dan pihak Israel yang menyebabkan terjadinya Perang Enam Hari. Perang ini diawali dengan meningkatnya pemberontakan Palestina terhadap Israel yang bermarkas di Suriah, Lebanon, dan Yordania. Pada November 1966, Israel melakukan pengeboman terhadap desa Al-Samu’ di Tepi Barat Yordania yang menyebabkan 18 orang meninggal dunia dan 54 orang terluka. Dengan alasan ini, Yordania, Mesir, dan Iraq mengadakan persetujuan untuk berperang melawan Israel. Ternyata rencana tidak berjalan semulus yang dibayangkan oleh koalisi ketiga negara Arab tersebut. Landasan pesawat angkatan udara Mesir dan Suriah diserang oleh Angkatan Udara Israel menyebabkan angkatan udara kedua negara tersebut lumpuh. Tanpa bantuan angkatan udara, pasukan Mesir kewalahan menghadapi serangan Israel. Alhasil, Israel berhasil merebut Sinai, Gaza, dan Terusan Suez.
Pada 5 Juni 1967, pasukan Yordania menyerang posisi Israel di barat Yerusalem tetapi berhasil dikalahkan oleh serangan balasan Israel. Pada 7 Juni 1967, pasukan Israel berhasil memukul mundur pasukan Yordania dari Tepi Barat. Setelah enam hari berperang dengan Israel, koalisi negara Arab mengalami kekalahan telak. Konflik ini menyebabkan 18.000 jiwa prajurit Arab gugur dan menjadikan Israel negara terkuat di wilayah Timur Tengah. Kemenangan Israel di Perang Enam Hari kian memperburuk nasib Palestina. Ekspansi wilayah yang terus dilakukan oleh IDF (Israel Defense Forces) ke wilayah-wilayah Palestina menciptakan kesengsaraan bagi warga Palestina yang tak kunjung berakhir. Pada pelaksanaan Olimpiade ke-20 di München yang digelar pada 1972, terjadi tragedi yang mengubah perspektif Barat terhadap terorisme. Tragedi yang dikenal dengan Pembantaian München ini disebabkan oleh militan yang menamai diri mereka September Hitam dari Palestina yang membantai 11 atlet Israel. Hal ini menyebabkan dunia Barat gempar dan membuat mereka semakin fokus dalam menangani terorisme. Hal ini kian memperburuk kondisi warga Palestina yang tidak bersalah. Tiga hari setelah tragedi di München, pesawat tempur Israel menyerang kamp Palestina di Lebanon dan Suriah. Selain itu 1350 tentara Israel dikerahkan ke Lebanon Selatan yang kemudian menembak mati 45 orang dan menyebabkan hancurnya ratusan rumah. Hal ini mereka lakukan sebagai balas dendam atas pembantaian oleh September Hitam. Walaupun begitu, proses perdamaian sempat berjalan. Pada masa jabatan perdana menteri Israel, Yitzhak Rabin, ia berusaha untuk memulai perdamaian dengan Palestina melalui Perjanjian Oslo. Perjanjian ini mengizinkan Palestina untuk menjalani otonomi daerah yang dipimpin oleh Yasser Arafat. Sayangnya, proses perdamaian ini tidak dapat berjalan lancar. Perjanjian Oslo II sebagai kelanjutan dari Perjanjian Oslo pertama tidak diterima dengan baik oleh Knesset, parlemen Israel. Rabin hanya mendapatkan 1 suara dari seluruh orang yang ada di Knesset. Saat Rabin pergi ke Tel Aviv untuk mencari suara pendukung dari kebijakannya, ia ditembak mati oleh ekstremis Yahudi yang tidak suka kebijakan Rabin tentang perdamaian antara Israel dan Palestina. Dengan dibunuhnya Rabin, masa depan dari perdamaian Israel-Palestina semakin suram. Saat perdana menteri Netanyahu menjabat, perdamaian Israel-Palestina semakin ringkih. Usaha perdamaian yang tak kunjung menghasilkan kesepakatan akhirnya menyebabkan berbagai masalah baru. Demo besar-besaran yang dilakukan oleh Arab Israel kian memperparah situasi ini. Situasi semakin kacau ketika anak kecil Arab berumur 12 tahun ditembak mati oleh tentara Israel di Gaza tertangkap oleh kamera. Tak lama setelah tragedi itu, dua tentara Israel dibunuh dengan brutal di Tepi Barat. Sejak saat itu, kekerasan di wilayah Palestina semakin parah. Pada tahun 2005, Israel setuju untuk melakukan gencatan senjata dan menarik pasukannya dari Jalur Gaza. Israel berniat untuk menetapkan batas wilayahnya secara permanen pada tahun 2010, namun karena kemenangan Hamas di pemilihan umum Palestina, Israel mulai khawatir akan perdamaian antara kedua belah pihak. Israel hanya mengakui Fatah sebagai pemerintahan Palestina yang sah. Sedangkan, wilayah yang dikuasai Hamas dicap sebagai wilayah teroris oleh Israel. Dari sinilah kemudian konflik antara Hamas dan Israel semakin memanas. Kondisi ini semakin diperparah oleh presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Militer Israel semakin brutal terhadap Palestina sejak Maret 2022 akibat dari serangan militan Palestina. Hal ini menyebabkan Israel melancarkan operasi melancarkan operasi penangkapan malam hari untuk menangkap militan Palestina. Operasi ini seringkali berujung dengan dibunuhnya orang Palestina yang tidak bersalah dengan dalih bekerja untuk Hamas atau grup militan Palestina lainnya. Pada bulan Ramadan tahun ini, Kepolisian Israel melakukan tindakan semena-mena dengan memukuli orang-orang yang sedang beribadah di dalam Masjid Al-Qibli di kompleks Masjid Al-Aqsa. Polisi Israel memukuli anak-anak dan perempuan dengan baton dan menembakinya dengan peluru baton tanpa alasan yang jelas. Banyak dari mereka yang ditahan tanpa sebab oleh pihak Israel. Mereka mengklaim bahwa di dalam masjid terdapat “perlawanan” dari orang-orang Arab yang melempari mereka batu dan menembakkan petasan ke arah polisi Israel. Tindakan seperti ini merupakan pembenaran Israel terhadap hak mereka atas “tanah yang dijanjikan” oleh Tuhan. Padahal, merekalah sendiri yang dahulu mencegah anak keturunannya bisa tinggal di wilayah Palestina tanpa larangan dari Allah. Pemukulan atau pembunuhan orang Palestina oleh militer ataupun sipil Israel yang bersenjata biasa dilakukan atas dasar mindset bahwa semua orang Palestina adalah “teroris yang harus dibasmi” atau “orang-orang yang mencemari elemen Yahudi dari Israel”.
Mindset ini tidak jarang membuat Israel melakukan kekejaman sesukanya. Baru-baru ini pada hari Rabu (11/10), Israel menghujani wilayah Gaza dengan fosfor putih. Fosfor putih dapat digunakan untuk memberi tanda ataupun memberikan isyarat terhadap suatu objek. Namun, fosfor juga dapat digunakan sebagai senjata yang dapat membakar manusia dan benda lain akibat dari sifatnya yang memicu kebakaran. Penggunaan fosfor putih dilarang di medan perang karena dapat membakar orang dan menghanguskan bangunan, fasilitas, ladang, ataupun objek lain milik warga sipil. Penggunaan ini sudah melanggar Hukum Humanitarian Internasional yang melarang untuk menempatkan rakyat sipil pada risiko yang tidak diperlukan. Selain penggunaan munisi fosfor putih terhadap Palestina, Israel juga melanggar Hukum Humanitarian Internasional lainnya tentang pemadaman listrik berkepanjangan dan pembatasan pasokan makanan, minuman, air, serta bensin ke Gaza. Israel juga melakukan pelanggaran paling parah selama masa penjajahannya terhadap Palestina, yaitu penyerangan terhadap rumah sakit yang berisi warga sipil. Penyerangan ini dilakukan Israel karena mereka yakin bahwa teroris akan menggunakan rumah sakit dan warga sipil sebagai tamengnya. Pada kenyataannya, serangan Israel terhadap banyak rumah sakit Palestina hanya menewaskan orang-orang tidak bersalah. Hal-hal ini membuktikan bahwa kejahatan Zionis Yahudi tidak jauh berbeda dengan kejahatan yang dilakukan Jerman pada masa Perang Dunia II. Dahulu, Yahudi ditindas oleh berbagai kekaisaran, kerajaan, maupun negara. Tetapi saat mereka mendapatkan kebebasan dari penindasnya, mereka melakukan hal yang sama dan bermain sebagai korban dari kejahatan penindas selama ribuan tahun. Ketika mereka membunuh orang Palestina, mereka berdalih bahwa orang Palestina adalah teroris yang dapat mengancam keamanan negara mereka. Padahal pada kenyataannya, banyak dari korban yang mereka bunuh tidaklah hanya orang tidak bersalah, bahkan anak-anak yang masih polos tidak mengerti apa-apa. Setelah sekian puluh tahun konflik ini berlangsung, akhirnya dunia mulai tersadar akan kejahatan dan kelicikan Israel yang dilakukan hampir 80 tahun. Negeri-negeri Islam seperti Suriah, Algeria, Tunisia, hingga negara-negara Barat seperti Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jerman, Yunani, Islandia, Irlandia, Italia, Belanda, Switzerland dan masih banyak lagi. Tinggal menunggu waktu sampai seluruh dunia mengetahui betapa kejinya pemerintahan zionis terhadap ribuan orang Palestina yang nyawanya terbuang secara sia-sia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H