Toleransi berasal dari bahasa Latin; tolerare artinya menahan diri, bersikap sabar, membiarkan orang berpendapat lain, dan berhati lapang terhadap orang-orang yang memiliki pendapat berbeda. Sikap toleran tidak berarti membenarkan pandangan yang dibiarkan itu, tetapi mengakui kebebasan serta hak-hak asasi para penganutnya.
Toleransi sesungguhnya didasarkan pada sikap hormat terhadap martabat manusia, hati nurani dan keyakinan serta keikhlasan sesama tanpa melihat agama, suku, golongan, ideologi, atau pandangannya. Seorang yang toleran berani berdialog dengan sikap terbuka untuk mencari pengertian dan kebenaran dalam pengalaman orang lain, untuk memperkaya pengalaman sendiri dengan tidak mengorbankan prinsip-prinsip yang diyakini.
Ketika ada orang yang berpendapat bahwa mengucapkan selamat hari raya agama lain mengganggu prinsip prinsip yang diyakininya maka sudah selayaknya kita bertoleransi dengan pendapatnya itu. Karena tidak adanya ucapan selamat hari raya itu bukan merupakan sikap tidak toleran karena sama sekali tidak menghalangi orang lain untuk merayakan hari raya agamanya. Jika pun ada larangan kepada suatu umat untuk mengucapkan selamat hari raya kepada umat lain itu hanya berlaku bagi umat itu saja, tidak berlaku bagi umat yang lain dan tidak menghalangi umat yang lain itu untuk merayakan hari rayanya. Larangan itu seperti larangan seorang ayah kepada anaknya, berlaku hanya dalam keluarganya saja yang sangat tidak layak bagi tetangga untuk meributkannya.
Katakanlah: “Hai orang-orang yang kafir,
aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.
Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.
Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah.
Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.
Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku”.
QS AL KAAFIRUUN 1-6
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H